Kebaikan dan Kebenaran


Minggu pagi. Sekeluarga besar gw (besar dari Hong Kong! :p orang cuman bertiga!) sedang asik di teras rumah.

Bokap gw lagi asyik nguras kolam ikan. Disebelah, arah berlawanan, ada nyokap gw yang duduk pake dingklik sambil nyemangatin bokap. Dan di depan pintu ruang tamu, gw lagi asyik ungkang-ungkang kaki sambil megang buku lama yang menceritakan tentang Roofstaat (kerja paksa) yang merompak Jawa hingga 800juta gulden.

Lalu Emak gw nyuruh bokap mindahin ikan Sepat yang masih kecil-kecil, karena takut dimakan ikan-ikan Lele yang nggragasnya bukan main. Tapi bokap gw bilang “Nasipnya si ikan lah kalo sampe dimakan sama para Lele” sambil ketawa-ketawa jail. Gw cuman ngelirik sambil ngrepus krupuk bawang dari toples kaleng biskuit.

Nggak beberapa lama, ada suara kegaduhan. Ributnya bukan main. Gw sampe setengah loncat.

Wah ada orang berantem!!!!

Rupanya ada dua tetangga gw yang berantem, sebut saja Bu Tarigan dan Pak Joko. Pak Joko marah-marah karena ada bau bangkai disekitar rumahnya, ternyata bau bangkai itu disebabkan oleh ayam sang Bu Tarigan yang sudah mati berhari-hari di got depan rumah Pak Joko. Karena posisi matinya si ayam nlisep (halah bahasanya, nlisep means nyempil dan unreachable), maka keberadaan sang bangkai ayam tiada diketahui.

Sangat sulit melerai pertikaian ini, Pak Joko mengaku benar, Bu Tarigan juga mengaku benar.

“Ayam ibu ini mati mendadak, bisa jadi flu burung kan..!!! Ini sangat meresahkan saya! Harusnya punya piaraan itu diopeni, bu!!” Sahut Pak Joko ketus.

“Lah, mana saya tau lah, ayam saya mati kenapa pak. Memangnya ayam saya harus saya pasangi GPS satu per satu???!” Teriak Bu Tarigan nggak kalah jengkel.

Gw pikir dua orang ini ada benarnya, dua-duanya sama-sama punya kebenaran.

Malamnya, setelah akhirnya ‘jenazah’ ayam itu dibakar, gw lalu tergelitik dan ngajak diskusi bokap tentang menyingkapi sebuah kebenaran. Kalau disederhanakan ada tiga model kebenaran yang berlaku dan dialami manusia. Pertama, benere dhewe (benarnya sendiri). Kedua, benere wong akeh (benarnya orang banyak). Dan, ketiga bener kang sejati (kebenaran hakiki).

Jika kebenaran itu berjalur banyak begitu, maka gw menyimpulkan bahwa kebenaran itu tidak satu. Lho piye to? Kebenaran itu harus satu definisinya, yaitu B-E-N-A-R yang BENAR. Jika memang semisal ada banyak ‘benar’, ada kemungkinan kebenaran yang satu bisa kres (cross) dengan kebenaran yang lain.

Sambil memeluk kaleng bekas biskuit yang berisikan kerupuk bawang made in pasar Ciputat, gw mencoba berfikir lebih tajam. Gw menahan laju nafas dan menyipitkan kedua mata gw, alih-alih berharap semoga pencerahan itu segera tiba (padahal seret).

Sambil nyumet rokok, bokap gw masih asik mikir. Gw pun masih asik dengan krupuk ditangan. Mata gw terus menatap, mengajak bercakap. Bokap gw mengelempuskan asap rokok ke udara, beliau paham, namun diam.

“Iyh dina shirotol mustaqim..” Bokap gw kembali menghisap rokoknya.

Jidat gw bekerut. “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus?” Balas gw dengan intonasi bingung.

Bokap gw melanjutkan, “iya, lalu, kenapa bukan Tunjukkanlah kami jalan yang benar?, hayoooo.. ?”.

Gw menggeleng tolol.

Bokap lalu bercerita soal kejadian tadi pagi. Beliau menjelaskan jika kebenaran itu HANYA ada satu, dan kebenaran yang satu itu milik Tuhan. Jadi, tidak ada yang namanya bener-nya manusia a, benarnya manusia b, benarnya manusia c, dst.

“Lalu bagaimana kita mencari kebenaran yang satu itu, pops?” tanya gw semrawut.

“Dalam kehidupan ini, manusia selalu menemukan keruwetan hidup, kesulitan hidup, karena mencari kebenaran atas satu sama lain.”

Jidat gw tambah berkerut nggak karu-karuan.

Bokap melanjutkan: “ya gini deh, kamu misalnya, bersengketa sama orang lain. Sebaiknya yang kamu cari ya jangan kebenaran”.

“heuu??? lah kok gitu???” gw memotong ngeyel tanpa ‘sendhiko dawuh’.

“Lho iyo, nek kamu cari kebenaran, bakal njlimet. Kamu punya sebuah kebenaran, orang lainpun punya kebenaran. Padahal kebenaran itu cuma ada satu.”

Bokap gw menunjuk langit-langit rumah tepat saat menyebutkan kata SATU. Tanpa sadar mata gw mengikuti.

“Dalam bermasyarakat, sebaiknya yang kamu cari itu BUKAN kebenaran, nduk.. melainkan kebaikan.”

“Maksutnya?” akhirnya gw meggeser tempat duduk dan menaruh toples krupuk di meja. Supaya lebih konsentrasi.

“Nek kowe, nggolek benere dhewe, yo rak bakal ketemu. Lah wong maksute wis bedho, garise jugak wis bedho. Mulakno, tadi aku bilang, jika bersengketa, yang dicari itu KEBAIKAN, bukan kebenaran..”

Cengiran gw semakin lebar.

“Nah, seperti yang tadi kubilang, setiap kamu sholat kan kamu sebut itu ‘iyh dina sirothol mustaqim – tunjukkanlah kami jalan yang lurus’, ya to? Kenapa bukan tunjukkan kepada jalan yang benar? Hayo? Weeee ojo main-main mbek ayat kuwi, nduk. Jika kamu, melakukan sesuatu apapun dengan lurus, itu berarti kamu sudah baik. Dan kebenaran itu akan datang sendiri, seiring sejalan, jika kamu dan hidupmu sudah berada pada lingkaran kebaikan.”

Gw mendapatkan sebuah pelajaran berharga lagi. Pelajaran yang tidak lahir dari perpustakaan, referensi atau buku-buku, melainkan bersumber dari pengalaman otentik, dari keringat dan airmata realitas, dari nurani yang jujur dan pikiran yang jernih. Kalo kata guru ngaji gw, itu ilmu sejati. Mutu dan pahalanya sepuluh kali lipat dibanding dosen yang mentransfer kalimat-kalimat dari buku ke diktat para mahasiswanya.

Well, hidup bukanlah impian, melainkan kenyataan-kenyataan yang dingin dan telanjang, tapi kenyataan itu pun tak perlu buruk jika orang tiada menghendakinya. Dia tidak buruk, dia indah, selama ada keindahan di dalam bathin kita.

Begitu juga dengan pemaknaan dari sebuah kebenaran itu sendiri. Malam itu gw tidur pulas, diiringi senyum puas atas semua jawaban bokap yang terasa sangat pas.[]

——–

Answer less. Question more.
Comply less. Question more.
Believe less. Question more.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*