Materi dan Kehinaan Manusia

Hantaran cahaya lemah milik gedung sebelah menyapa sendu seolah-olah rindu. Rambut yang ikal memanjang ini gw ikat kencang-kencang. Walaupun nggak semirip poni tail, tapi angin dingin musim gugur yang lumayan sinis mengiris, bisa numpang lewat ke tengkuk belakang tanpa harus berucap sayang.

Cangkir kopi dari giok ini masih gw pegang tanpa niat. Gw mulai lupa bagaimana rasa kopi ini, karena setengah jam yang lalu gw sengaja biarkan aromanya berlomba moksha ke angkasa.
Balkon tempat gw berdiri nggak kalah manis sama balkon The Mayflower Marriott Executive Apartments, di Jakarta. Bedanya mungkin, ketinggian gedung di Jakarta nggak ada apa-apanya dibanding disini.

Kadang gw berpikir, apa jadinya gw tanpa hari ini? Apa jadinya gw tanpa bulatan cinta penuh disetiap seduhan kopi yang sedari tadi enggan gw cicipi? Ah it doesn’t matter. Gw tetap orang yang sama. Nggak ada yang beda. Seberapapun cepatnya waktu berlari, gw masih jejak ada disini.
Beberapa waktu lalu ada seorang kawan lama (sebut saja Fay) ber-say hi lewat media chat. Dia tanya “Lo dah punya apa sekarang, yum?”.

Well, entahlah, tapi pertanyaan sederhana itu mengusik sekali. Hm.. seperti apa ya? Sampai-sampai gw harus memikirkan beribu kali tentang perihal bagaimana dia bisa bertanya hal nista kayak gitu.
Kata mas Emha: ada kesombongan orang berkuasa, ada kesombongan orang kaya, ada kesombongan orang pandai juga ada kesombongan orang saleh. Nah mungkin masalah tadi bisa jadi salah satunya.

Seperti ada justifikasi inklusif bahwasanya jika semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin menumbuhkan perasaan lebih unggul dan lebih tinggi derajatnya sebagai manusia.
Dari situ kita semua dapat menilai bahwa pendidikan menjadi sama sekali nggak punya concern mendasar atau memiliki efek signifikan terhadap nilai kedewasaan sosial, kerendahan hati kemanusiaan, kematangan jiwa atau demokrasi kebudayaan.

Sebenarnya jika ditelaah lebih dalam, semakin hina dan rendah jiwa seseorang, makan akan semakin tinggilah kebutuhan mereka untuk memperhinakan sesamanya. (Katanya sih, secara psikologis memang demikian formula survival kejiwaannya). Amit-amit (lantas ketok-ketok meja).
Waahhhh sepertinya pemerintah beserta departemen pendikan serta dinas pengaturan SDM (kalo ada dan berfungsi) perlu rekonsiliasi ulang, kalo perlu rapat besar-besaran (asal jangan korupsi besar-besaran) untuk mensikapi bahwa kita membutuhkan SDM yang nggak hanya pintar mengolah kekayaan alam tapi mengelolanya dengan satu tujuan yakni demi kemajuan bersama dan kesejahteraan bangsa indonesia.

Outputnya jangan hanya SDM yang cuma bisa tanya ke temannya:
“Woy mobil lo apa sekarang?”
“rumah lu di estate mana?”
“Lo keluar negeri dah kemana aja?:
“Gaji, tunjangan, dan facility yang lo dapet apa dan berapa?”

Kata “berbakti¡” (atau bahasa jawanya BEKTI) pada saat sekarang memang sudah punah. Dipunahkan oleh kata dignity, harga diri, serta harta, tahta, dan neraka. Ampunilah dosa kami, ya Tuhanku.[]

Selingkuhan

The angel voices milik George Michael masih mendayu-dayu memanggil-manggil ‘Roxanne’ yang seharusnya milik Sting. Cafe ini tutup lebih lama dari cafe-cafe malam lain di Jakarta. Tempatnyapun nggak terlalu jauh dari kantor gw.

Maya masih menggenggam cairan bening berbau lembut yang sumpah, rasanya pasti menyengat ke otak lamat-lamat. Single malt scotch. Sudah tiga sloki, ini yang ke empat. Mata bulatnya bergerak-gerak, setengah sembab dan hampa tertutup gumpalan asap.

Belum lagi hembusan Mild Seven yang baunya asli, bikin gw ngiler setengah mati. Tapi mau gimana lagi, gw pasrah aja pas mulut ini seenaknya mengatakan “Nggak, makasih, gw nggak ngerokok.”
Unfortunatelly (or could be fortunatelly) semenjak November 2001, I decided to quit and done with all those stuff. Walhasil gw cuma bisa mingkem ngaduk-ngaduk lite-macchiato tanpa gula yang wanginya diperkirakan dapat menghapus segala lara di gua (kalo ada).

“Hey, ndut.. If a friend envies you, then she is not your true friend anymore”. Kalo udah mulai setengah-setengah gini, Maya emang suka manggil gw seenaknya. “And Y’know what? I’m so damn envy you”. Lanjut Maya patah-patah.

Gw cuma bisa lekat-lekat memandangi wajah putih Maya. Warna matanya merah, semerah mata jagoan gw waktu SD, Megaloman. Rambutnya yang terurai ringan, berwarna nggak jelas yang kadang hitam kadang pirang, membuat gw makin yakin, kalo Maya itu fans beratnya Megaloman.
“The sound of our feeling is no longer heard”. Tatapan Maya terpaku beku dalam beningnya sloki kristal yang sedari tadi bermain lincah didalam genggamannya. Seperti biasa gw cuma bisa diam.
Butiran air matanya satu satu mulai jatuh.

Ponsel gw bergetar. “May, gw harus pulang”. Ungkap gw pelan.

“Om Tatoo?”. (Bokap gw). Gw ngangguk pelan. “It’s okay, just give me a big hug like usual”.

Gw memeluk Maya.

Emang nggak gampang buat seorang Maya untuk ada diposisi: WIL, Wanita Idaman Lain, atau gampangnya wanita simpanan seorang laki-laki beristri. Maya nggak deserve aja untuk dapetin itu semua. Dia pintar, cantik pula. Dan dunia ada didalam genggamannya. Tapi gw juga nggak ngerti, kenapa dia musti milih jalan yang kayak gini.

Sebelumnya, dari dulu, dulu-dulu banget, sebelum semuanya jadi kayak gini, gw udah berkali-kali bilang ke Maya “Better don’t start that fire..”. Tapi jawaban simple dan percaya diri Maya ngeluluhin gw, “Yoem, jangan terlalu serius gitu ah, gw ama dia cuman seneng hang out bareng aja kok. It’s just about having fun, I’m not taking it as my personal things.”

Maya mengkodekan tanda kutip dengan jari-jarinya yang lentik. Lalu tertawa berbangga.
But look who’s laughing last.

Gw rasa emang nggak segampang yang gw kira. It’s so damn near impossible to find a good man who will gonna leave his wife, after you, which is a dessert, hidangan pencuci mulut.
Dan setelah semua api itu terbakar, Maya cuma malu-malu memutar ragu, “I dont want you to forgive me, but I want you to understand, I simply can’t live without him”. Saat itu gw pengen banget teriak “But HE’S NOT YOURS”.

Prinsip gw: Don’t ever get whatever things that is not yours!! It’s called STEALING! Since we’e a good people, we’re not STEALING!

Tapi mau gimana lagi, cinta itu buta. Kadang kalo udah badung dan kadung (alias telat, bahasa bokap gw), yang dimajukan bukan hati ataupun rasionalitas, melainkan nafsu setan alas (bahasa bokap gw lagi). Tau deh bener apa kagaknya.

Gw jadi inget juga tentang suatu percakapan antara gw sama my beloved Abby:

Gw: Bi, kata bokap gw, dalam budaya Djawa, pria itu memimpin, dan wanita mengikuti.

Abby: Lalu kalau gitu, pria bisa memimpin seenaknya dong? Asiiik, yang penting kan pokoknya wanita harus mengikuti. Tuh Lu harusnya nyadar…

Gw: Weh nggak gitu bi. Maksutnya tuh gini, pria menawarkan langkah, dan wanita akan setuju dengan mengikuti.. dasar bolot..

Abby: Hmm…

Gw: Kok Ragu gitu? Jangan Salah bi, bagaimanapun, mengikuti juga butuh kekuatan yang sama dengan memimpin..

Abby: Berarti keputusannya tetap di wanita ya?

Gw: Iya dong!

Dada gw sesak, teringat Maya. Why did she choose to be so? Tapi gw tetap berusaha objektif (sesuatu disebut objektif jika ia bebas dari pengaruh perasaan, emosi atau pandangan sebelumnya).

Dan seperti apa yang dikatakan Rowena (Perfect stranger): Secret is great, until you get caught. Dan bisa ditebak, yang rugi tetap yang mengikuti, Maya. Untuk si pria sendiri (sebut saja Pak direktur Bejo), setelah semua terjadi, masih ada kemungkinan sang istri mau memaafkan segala kekhilafan Pak direktur Bejo.

Tapi coba lihat disisi lain, misalnya Maya memaksa Pak direktur Bejo untuk tetap menceraikan istrinya dan menikahi Maya, trus ternyata Pak direktur Bejo nggak mau. Semakin Maya maksa, semakin benci ajeh Pak direktur Bejo sama Maya. Dan konsekuensi lebih lanjutnya bisa ditebak lah. Maya nggak akan dapat apa-apa.

There are two ways of live: with regret or without it.[]

Sebayang Pilihan

Kopi lampung dalam genggaman pria berbahu seksi ini masih penuh mengepul. Nggak heran lah, karena baru lima menit yang lalu, bubuk hitam (yang gw campur dengan sedikit gula saja) gw tuangin air super mendidih. Teringat wejangan emak gw: “Kopi lo nggak akan berasa sempurna, tanpa tempaan air mendidih yang sangar dan bergolak dengan keras..”

I’m not a good Barista though, karenanya setiap baris berselang, gw selalu menanyakan hal yang sama kepada pria ini: “kopinya NGGAK enak ya?”. Pria tampan ini cuma mengurai sedikit senyum jahil dan memberi anggukan tanda setuju, walaupun gw tau, Re selalu menikmati kopi jadi-jadian buatan gw itu.

Biasanya kalo kangen, Re memang suka tiba-tiba datang ke rumah, tanpa berita dan pemberitahuan apa-apa. Yang bikin gw takjub adalah bahwa ternyata Re masih juga hobby memasang tampang polos sambil berseloroh nggak jelas: “Tau ga? Gw sebenernya males ketemu lo, tapi anehnya, dari kemaren gw ngerasa kalo lo ngerasanin gw, ya daripada lo nanti kenapa-kenapa, gw terpaksa deh bela-belain kemarih, takut lu kangen gituh sama guah…”

Biasanya gw cuma ngacak-ngacak rambut keritingnya sambil bilang: “Onyon…”.
Malam itu Re masih memakai kemeja kerjanya. Celana stright black pipe dipadu dengan setelan kemeja lengan panjang junkies dominasi hitam, yang dibalut garis-garis tipis vertikal warna bronze, silver, dan orange. Terlihat manis dan so much sophisticated. I always like him when he being like this. He simply like a chocolate candy bar: delicious, melty sweet but strong and can be the best healer you can get, ever!. Hmm.. he is so much like a tree, he shelters me, and I lie in his shade.

Tapi cerita ini bukan romansa cinta recehan. Beneran, bukan!

Gw jadi kangen gaya bicara and tampang jeleknya Mas Lilik (senior LPM kampus) jaman masih suka memprovokasi gw untuk jadi ‘pemberontak’ di kampus (kebetulan waktu itu gw masih mahasiswa nan junior lagi polos yang gampang banget dikibulin).
Hmm.. (sedikit menyunggingkan bibir) segala diskusi kami, biasanya, memang jadi inspirasi menarik buat gw untuk berimajinasi dibawah rintik hujan malam yang menjadi satu-satunya pengantar gw pulang (ke kostan..).

Tapi malam itu kami nggak ngebahas soal kampus, kami malah ngebahas suatu kalimat pendek (atau tepatnya retorika) seputar: menjadi yang sempurna dalam suatu kesederhanaan dan menjadi yang sederhana dalam satu kesempurnaan.

Sampe sekarang gw masih berpikir dan membandingkan, manakah yang sesungguhnya lebih baik?
menjadi yang sempurna dalam suatu kesederhanaan atau menjadi yang sederhana dalam satu kesempurnaan?

Menurut pendapat orang-orang (terutama wanita), Re adalah sosok pria yang luar biasa (mendekati) sempurna. Tampan, pintar, lucu, dan sangat menggemaskan. Jujur aja, boong banget kalo gw nggak sampe suka sama Re. But I felt so wrong, so much in psychotic and weird feeling: I might like him (very much), but I just don’t fall for him. No love. At all.

Re yang tampan ini nggak bisa bikin gw singit bak layangan kobat kabit dilangit saat gw diam-diam menikmati senyumannya dari jauh. Re yang pintar dan cerdas ini juga nggak bisa bikin gw ngerasa mlompong saat hari-hari gw kosong. Re yang lucu dan kocak ini boro-boro bisa bikin gw memutar otak kiri untuk keep nyuri atensi.

Well intinya, Re yang (nyaris) sempurna, nggak bisa bikin gw.. ingin memiliki dia selamanya, sampe-sampe yang kalo kata chairil anwar: “dengan cerminpun ku enggan berbagi”.

Berjuta perasaan kosong dan aneh ini betul-betul menyekap dan menyengat imaji. Namun, saat batas terjauh nurani gw mengembara, menjadi sejingga, sewarna, bak Bunglon, then I found a reason: ketertarikan adalah bukan bentukan dari cinta.

Bukan semata-mata kesempurnaan rupa ataupun raga (pada dirinya) yang membuat gw jatuh cinta. Gw rasa ada misteri lain. Misteri lain ini sangat sederhana, bahkan kita sendiri nggak tau apa dan bagaimana itu. Namun se-absurd apapun rasanya, tetap dapat membuat kita merasa sempuna (because, he needs me). Hingga, gw yang sederhana, menjadi penyempurna buat Re. Yang sempurna dalam suatu kesederhanaan.

Tetapi pada masa antah berantah, gw juga pernah jatuh cinta sama pria biasa. Pria bertampang sederhana, lempeng, dan nggak begitu tampan. Garing, mengibur, kadang-kadang nggak gitu lucu. Orangnya walaupun pintar, tapi dia konservatif, kaku, stright, kacrud sumicrud, dsb dsb. Yet again, yang sederhana dalam satu kesempurnaan.

See? Keduanya sama-sama punya kata sederhana dan sempurna. So, is it still called a choice? Of course you still can choose, but not among choices.

Choices is a matter of good and bad. Sama halnya dengan sebuah impresionis instan, yang bahkan, kita bisa saja mengalami ketersesatan intelektual, kultural, spiritual, bahkan ketersesatan teknis untuk hal-hal yang sangat sederhana.

Well, we simply can choose our destination, and the destination itself is not a choice, it¡¦s our way through life. Jadi? Bagaimana? menjadi yang sempurna dalam suatu kesederhanaan atau menjadi yang sederhana dalam satu kesempurnaan? []

Another Broken Story

Bola mata gw nggak bergerak, terpancang jarak. Udah dua menit ini gw nggak mecahin rekor this skimming stone (lempar batu di air). The best rekor masih dipegang Abby, enam kali pantulan diatas air. Amazing!

Sebenarnya dari tadi gw dan Abby sama-sama lama terdiam, hanya menabung dan menimbun arogansi kami yang dibatasi oleh himpitan ruang rindu yang tersembunyi.

“Look Yoem, cinta itu universal. Hanya saja.. kita mungkin mencarinya dengan cara yang berbeda”.

Abby membuka kesunyian tak berujung itu.

“I am who I am, and I’ll suffer for that”. Bola mata gw tetap nggak bergerak, memandangi gumpalan awan senja yang pulang berarak-arak. “I love you so much ’till it hurts, Bi. You always know it”. Lanjut gw pelan dan ragu-ragu.

“Then why you wanna leave me?!”. Abby mulai nggak sabar menanggapi gw dan segala tembok kekakuan yang sengaja banget gw bangun.

“I really don’t know I can hold it.. or not.. I’m loosing you”. Gw mulai nggak bisa benahan buncahan rasa itu. Sayang kalimat terakhir tadi cuma ada didalem hati gw aja. Di depan Abby gw cuma bisa sedingin es.

Pipi gw basah, sebasah mata Abby saat dia cuma bisa mengumpat sekuat-kuatnya dan menendangi alang-alang rendah yang nggak bersalah. He’s so demolish.

But.. so am I.

Dan bisa ditebak, kami cuma diam disepanjang dua setengah jam perjalanan pulang kembali ke Ibu kota. The silence is deafening. Believe me, it felt like forever.

Caramel Macchiato, perpaduan halus antara pahit ekspreso dan kelembutan wangi susu yang ringan namun kuat, sekuat keyakinan membuat mimpi menjadi sebuah manifesto yang selalu nyata dan ada, sekuat keyakinan gw untuk mengenyahkan Abby dan cintanya dihati gw.

Tiga hari berselang sejak the skimming stone day. Hari dimana keputusan gw menjadi sesuatu hal yang sangat elusive (sukar dipahami) dan extravagant buat Abby. Tapi itu gw dan dunia gw. Gw cuma bersikap sedikit lebih protektif ke diri gw, ke hati gw.

But you know what? Actually, you cannot get your real love if you won’t surrender into it. Pasrah itu sebenarnya jalan keluar yang paling pas. Tapi buat gw, sulit banget untuk kehilangan orang yang bener-bener berharga buat lo. Memang, kenyataannya nggak semua perempuan sepengecut gw. Mungkin ini salah satu fakta kenapa icha selalu bilang “lu kan bukan cewe rum?!”.

Emansipasi, tidak berarti melakukan segala kegiatan yang “mirip” dengan yang dilakukan pria. Emansipasi bisa juga berarti: bisa menjaga diri sendiri. Mungkin, bisa jadi gw terlalu over dalam hal menjaga diri gw sendiri, sampai nggak sadar, sudah sedemikian dalamnya menyakiti orang lain. Tapi gw bukan batu, gw juga masih punya some tears to shed.

Happy Salma: Menurut Anda, perempuan itu yang penting cantik atau pintar?
Pramudya: Bagaimana dia membentuk dirinya saja. Belajar hidup.

Angan gw terus melayang, membayangkan jawaban sederhana Pramudya yang membelit paru-paru sekaligus memaksa gw untuk mengendapkan pikiran.[]

Tikus dan Kemanusiaan

Kemaren gw baru aja bete setengah mati. Gara-gara ngeliat ada orang yang nangkep tikus, trus tu tikus dibakar hidup-hidup, bakarnya pake kertas lagi. Anjrit! Kebayang dong nyiksanya kayak apa?? Andai aja gw saat itu bisa berhenti dan ngeplak kepala si blegug itu.

Alhasil, gw cuma bisa nggrundel (misuh-misuh).

Gw kebetulan pergi sama bokap n temen gw, sebut aja Jacky. Ditengah rentetan protes guah, Jacky dengan oncomnya bilang: “Please deh rum, it¡’s JUST a RAT!” Cannot excuse, setiap tanggapan orang atas perikemanusiaan merupakan suatu ciri sampai dimana manusia itu dengan segala perikemanusiaannya.

Dan entah gw lagi PMS atau emang kesurupan, gw spontan noyor palanya Jacky. Sampe akhirnya kita saling berkeplak-keplakan kepala, dan nggak lama cakar-cakaran beneran.

“Damn you, it’s just a raaaaaaaaaat!!!” Jacky terus berusaha ngelepasin tangan gw yang narik paksa rambut ikal panjangnya yang barusan aja di creambath. Kayaknya itu peak of limitation gw deh. Coz gw jadi ikut nggak beradab n brutal juga ngehadapinnya.

Untung bokap gw turun tangan.

Well, sebenernya udah beberapa waktu ini gw capek banget ngeliat penyakit apatis dan “perikemanusiaan limited” yang gilanya terus terjadi disekitar gw and bener-bener spreading bak silent epidemic.

Semua tindakan heartless itu asli bikin gerah gw. Imajinasi gw yang berenang liar seakan-akan berontak, “Woy ncom, it’s gotta be more than this.”

Gw dulu pernah menjawab pertanyaan di salah satu bulbo FS (yang gw isi kadang serius kadang kagak) tentang bentuk-bentuk tindakan yg dapat merusak moral manusia. Kalo nggak salah dulu gw jawabnya kurang lebih gini:

Tindakan yg dapat merusak moral manusia adalah tindakan-tindakan tak bermartabat, yang dilakukan tanpa berpedoman pada kehalusan budi pekerti serta tanpa dilandasi kesadaran individual yang tinggi.”

Ada tiga kata kunci disitu: tindakan bermartabat, kehalusan budi pekerti, dan kesadaran individual yang tinggi. Semuanya memberi perspektif keteladanan, nilai kritis, harmonis, produktif dan demokratis.

Sekarang ini, lo liat deh, di Indonesia banyak orang yang berpendidikan tinggi tapi cenderung reaktif, defensif, bahkan dogmatis. Typical orang tertutup yang sama sekali nggak adaptif (boro-boro mau sensitif). Pertama, mereka ini amat resisten sama hal-hal baru, kedua, jelas cenderung ingin menyerang, menyangkal dan gak welcome. Padahal katanya bangsa kita ini bangsa beradab yang demokratis, yang tingkatan toleransinya tinggi.

(Numpang mengumpat) Beradab? Demokratis? toleransi tinggi? Pret dut cuih!!

Asal lo tau, gw masih lho, punya temen yang bangga setengah mati sama ke-apatisan yang dia punya. Bukannya dibenerin, malah bangga. Seolah-olah itu ciri moderisme yang harus dipunyai orang-orang dikota besar kayak Jakarta. Bullshit!

Kartini dulu pernah berkata pada teman bersuratnya di Belanda, “Saya begitu ingin berkenalan dengan gadis modern”. Hmm.. Bila suara Kartini menyatakan kekaguman pada fajarnya abad modern, Pramudya justru menyuarakan kekecewaan yang mendalam tentang arti modernisme. Gw bilang, untuk masa sekarang, Pram bisa jadi benar.

Meskipun era modern membawa kebaikan untuk manusia, namun secara paradoks, umat manusia itu sendiri berada dalam “highly ultimate danger” selama ada orang yang masih hidup tidak sebagai manusia, tetapi sebagai binatang.

Gw percaya, bangsa kita memang kena kutuk. Kena kutuk akibat terlalu banyak perilaku kebinatangan yang dilakukan oleh sang manusia yang notabenenya makhluk tuhan yang digembar-gemborkan paling mulia.

Contoh globalnya gini deh, liat aja reaksi dan bentukan sikap egois nan brutal suatu golongan atau masyarakat manusia yang sedang berhadapan dengan golongan atau masyarakat manusia yang lain, yang asing, yang belum dikenalnya, atau yang mana ia tak mau (atau malas) mengenalnya. Mirip halnya dengan seekor ANJING yang mengambil sikap terhadap ANJING lain yang tidak pernah dikenalnya.

Sikap demikian, sama sekali nggak patut dijadikan contoh oleh suatu bangsa atau individu (bahkan OKNUM) manapun juga.

Sepele aja, nggak usah jauh bicara tentang perikemanusiaan. Bicara tentang toleransi aja lama-lama bisa dicap “pendosa”.

(Mungkin paragraf ini agak sarkasme) Saat ini, banyak orang yang merasa membela Tuhan, mengimani sedalam-dalamnya, tetapi dalam prakteknya, NGGAK! Sama sekali nggak mencerminkan sebagai orang yang beriman. Perilakunya rusak, kriminal! Hawa nafsu dituruti, keadilah hidup dikhianati.

Suatu kesia-siaan yang mungkin menggelikan, bahkan mungkin menyedihkan. Anyway, balik lagi ke topik perikemanusiaan llimited tadi.

Kalo gw nonton tipi-tipi (yang Alhamdulillahnya produk kapitalis juga), buset, orang-orang barat kalo nolong orang lain yang susah, nggak nanggung-nanggung. Boro-boro manusia, nolong hewan a.k.a binatang aja sampe sebegitu dibela-belainnya. Rasa penghargaan terhadap kemanusiaan yang luar biasa!

Kalo di Indonesia? Wah Madesu, Suram!

Kegelapan yang ada di Indonesia dipastikan berasal dari dan hanya disebabkan oleh sistem dan struktur sosial yang memberi peluang bagi beragamnya tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan.
Kata bokap gw, perikemanusiaan, atau kasih (compassion), atau apalah namanya, memang sepintas tampak lemah, tapi kalau kita bisa memanfaatkan energi yang tersimpan dibaliknya, kelemahan itu bisa berevolusi dan njadiin kita individu yang sangat kuat.

Ingat, sempurnanya tubuh nggak pernah menjadikan jaminan atas sempurnanya jiwa. Namun, bagaimana kita mau menyempurnakan jiwa kalo nggak tertinggal sedikitpun rasa perikemanusiaan didalamnya??? Well, ada yang mampu menjawab tantangan ini?[]

Kedewasaan dalam Beragama

Siang hari, setelah makan siang. Gw, Icha, Cokor naik ke atas, deket Helipad. kami ngeliat-liat koneksi microwave yang selalu bermasalah setiap kali mati lampu. abis itu duduk-duduk di tangga. ketawa-ketawa, cerita-cerita garing.

Gw: Gyahahaha iyh enak ya kayak gini bertiga ketawa-ketawa, sama sekali nggak kerasa kalo kita beda.

Icha: Iya beda, Tuhan gw ganteng, sementara Tuhan lu nggak keliatan.

Cokor: And Tuhan gw banyak..

Kami bertiga: [ngakak bersama]

Memang benar kata mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Syafii Maarif: “Kedewasaan dalam beragama itu terwujud dalam sikap toleransi dan menghargai”.[]

Menulis: Mengasah Ketinggian Jiwa

There’s something undescribed excitement about writing the first words of a story. you can never quiet tell where they’ll take you. Gw teringat, Imam Ali menegaskan agar kita mengikat ilmu dengan menuliskannya. Karena itu, menulis merupakan kegiatan hidup yang amat bernilai tinggi dan mulia. Sebab dengan menulis, hidup kita akan terasa lebih berarti.

Bagaimana nggak berarti??? untuk menulis dengan baik, kita memerlukan kemampuan untuk bisa menambahkan a more value into the life itself lalu nggak lupa menganalisa: bagaimana awal terjadinya, bagaimana pola frekuensi kejadiannya, garis merah/hikmah apa yang bisa kita ambil dari sana dsb dsb.

Tanpa kita sadari, menulis (selain berbuah bacaan yang sukur-sukur menginspirasi orang lain) akan menimbulkan sebuah kesadaran diri, juga keberanian berfikir yang dapat menajamkan intuisi serta memberi ruang (seizing the gap) untuk mengasah ketinggian jiwa kita. Maka menuliskan kebermaknaan hidup, bagi gw, menjadi hal utama sebelum kita nantinya nggak mampu lagi menjalani hari sama sekali (baca: mati!). Yeah walaupun sedikit, hidup setidaknya harus memiliki nilai dan arti, at least buat diri lo sendiri.

Lagian nyenengin juga kalee, kalo ada stranger yang baca tulisan lo, dan pada akhirnya bisa menginspirasi mereka untuk berbuat baik.

Well pokoknya, when you see something unusual, just not content to look at it. You must capture it. Inget kata Om Liang Gie, “Semua akan sirna, hilang, kecuali yang ditulis”. Bagi gw, menulis adalah sesuatu hal yang indah (beauty) and beauty is really worth preserving.[]

Mati Muda

Hhmm.. Masa muda.. penuh dengan kecemerlangan berpikir dan mekarnya kesadaran intelektual.

Gw masih ingat ceritanya Ali syari’ati bahwa yang namanya jati diri dan kesadaran berpikir di hari-hari yang kebodohannya begitu menggejala (baca: masa muda) adalah suatu “kejahatan”.

Orang yang dianugrahi ketinggian berpikir pada masa mudanya jelas akan mendapat pemberitaan tentang segala sesuatu, tanpa dia sendiri akan merasa takut, tentang apapun yang melintas didalam kalbunya. dan dalam situasi seperti itu, seorang pemikir muda hanya akan menjadi alat kedzaliman dan penindasan yang harus dihadapi oleh kesadaran intelektualnya sendiri.

Maka, diapun akan mengalami nasib yang sama yang bakal dijalani oleh siapa saja yang menempuh jalan itu: MATI DALAM USIA MUDA.

Well, None of us knows which path will lead us to God.

Mungkin Tuhan terlalu mencintai kaum muda yang openness to experiences, yang bisa melihat something beyond what others can’t see. (bukan berarti harus mistik, agamis, atau klenik, namun bisa juga hal-hal yang sifatnya kebih kepada kesadaran pribadi.)

Y’know? sometimes I wonder, will god ever forgive us, the youngster, for what we’ve done?
God will. Karena Dia yang Maha Mulia, dan Maha mengetahui segala rahasia.[]

a Work Attitude

Semoga menjadi inspirasi untuk para engineer indonesia.

Belakangan ini Boss gw kasian sama gw, katanya makin hari, makin banyak kerjaan yang dibebankan ke gw, dan semuanya itu menuntut gw untuk bisa lebih pintar memotong-motong konsentrasi gw seperti puzzle, lalu merangkainya kembali secara tepat di detik-detik terakhir.

Tapi anehnya, gw kok malah berasa makin enteng, nggak ada kerjaan. Gw nggak ngerasa ribet ataupun pusing kayak dulu-dulu lagi. Gw pun ngerjain semua kerjaan itu (mengutip kata Will: Those Hell Jobs) lebih santai, tapi tepat waktu dan semua pihak senang. Gak ada tekanan sama sekali, kayaknya fun-fun aja gitu.

Hahaha (sembari berdiri dengan dua kaki terbuka lebar, tangan di pinggang lalu tertawa puas, mirip adegan di film-film kartun), Gw berkata dalam hati: “Makin keren aja gw ini!”. Abis ini dilempar bola bowling sama icha kayaknya. Hehehehe.

Dalam kondisi yang luar biasa ruwet gini, entahlah, gw malah menemukan suatu kelegaan tersendiri. Gw makin merasa berjalan ke arah titik terang dalam mencari some way out to chase a freedom to liberate my own self.

Ya tapi kan nggak dalam waktu sedetik, ting, lantas gw bisa secara otomatis beradaptasi dengan demikian cepat. Freedom isn’t free it self! you have to work hard to free your freedom, dude.
Dalam perjalanan hidup, gw selalu mencoba meraba peta implisit yang dibisikkan Tuhan melalui barisan tentara langit-Nya. Sehingga apapun kondisinya, gw sepertinya harus menemukan “the thin red line” alias pemaknaan yang bergolak didalamnya terlebih dulu, sehingga apapun yang terjadi, mau itu baik ataupun buruk, gw bisa lebih mensyukurinya aja.

Begitu juga gw dalam hal memaknai arti “pekerjaan”.

Kita harus bisa bekerja berdasarkan PASSION. Maksutnya ya.. being happy dengan apa yang kita kerjakan plus (kalo bisa) punya lingkungan yang juga mendukung. Pokoknya kata mbah gw, just don’t waste your time, pokoke make your works meaningful deh! (Haiiyah, mbah yang mana neh???.)

Mengutip dari blog gw sebelumnya bahwa: perbedaan mendasar antara pola pikir pekerja Indonesia dan pekerja yang bukan made in Indonesia, jelas terlihat pada cara dan apresiasi mereka mempertanggungjawabkan pekerjaan secara moral, terutama untuk dirinya sendiri. Yang gw amati, kebanyakan orang Indonesia lemah pada sisi Management, terutama Self Management (walah MADESU). Selain itu kita juga lemah dalam hal mengkombinasikan analisa dan intuisi.

Lalu nggak ketinggalan masalah keterampilan multibahasa, coz secara nggak langsung bahasa terkait dengan how to maintain your own personal communication (to make a good relationship). Kan kita jadi bisa iseng-iseng ngajak mereka berdialog cuma buat nyuri work attitude mereka yang menurut gw top markotop bin jos markojos buanget. (Ini untungnya kerja di perusahaan asing internasional).

Pada suatu sore, Si Ricky bilang ke gw, “Arum, you should deeply understand one basic thing before you do any kind of hell works: Technical skill can be gone, but one thing would never gone.. it’s attitude (work attitude maksutnya), coz it’s the only way to tackle the world and help you to make a better life”.

Well, emang sih not in-a-hell-of-a-life you can reach any greatest achievement in your life before you can form and keep developing your work attitude. Dan dua hal yang punya “very significant role” terhadap pembentukan dan pengembangan work attitude, yaitu: Self Esteem (Rasa Percaya Diri) dan Good Habit (Kebiasaan Baik).

Self Esteem. Rasa percaya diri disini bukan berarti sama dan semakna dengan kePEDEan para Ababil (ABG Labil), melainkan lebih kepada: rasa percaya diri pada keunggulan pemikiran kita dan pada kemampuan kita untuk berpikir. Sehingga kita juga memiliki rasa percaya diri tentang mampu atau tidaknya kita menanggulangi tantangan dasar kehidupan, yang berdampak juga pada timbulnya kemampuan dari dalam diri kita untuk merasa bahagia dan menghargai diri sendiri (adanya peningkatan emotional quotion-kecerdasan emosi).

Atau secara mudahnya gw gambarkan sebagai: kepercayaan diri bahwa kita MAMPU untuk belajar, membuat pilihan dan keputusan, dan mengelola suatu perubahan.

Pekerja lokal jarang mau berpikir filosof kayak gitu. (Well jujur aja, gw kalo nggak ketemu Ricky juga pasti NGGAK akan tau bagaimana mengembangkan self esteem ini dari core terdalam diri gw). Pekerja kita cenderung nggak perduli terhadap segala perkembangan self esteem mereka karena dibutakan oleh materi. Money Rules, money rules, dan money rules melulu.

Tapi bagi gw, gimanapun, idealisme kerja akan TETEP sebanding sama materi. Pekerja yang memiliki kebebasan untuk bersikap kreatif, sisi baiknya akan muncul. Dan dalam naungan company yang terbuka dan adil, pekerja tersebut akan mempunyai nilai tersendiri. Secara otomatis, pencapaian itu AKAN diberi imbalan dalam hal keuangan. Dan nggak lupa sekaligus bonus bagi jiwa si pekerja tadi, karena apresiasi yang diberikan perusahaan atas nilainya itu. (Nilai bersifat abstrak dan nggak bisa dicairkan dengan uang.)

Habit (Kebiasaan). Berikut adalah beberapa kebiasaan yang gw liat emang fundamental banget dalam usaha pembentukan work attitude:

Pertama: Kebiasaan hidup dengan sadar. Mengambil kutipan Jack Welch of GE Company: “Rasa percaya diri, berterus terang, dan kemauan sungguh-sungguh untuk menghadapi kenyataan, meskipun hal tersebut sangat menyakitkan adalah inti dari hidup dengan sadar.”

Kedua: Kebiasaan menerima apa adanya. Dengan menerima diri kita apa adanya, kita akan lebih cooperative dan down to earth (semua perasaan defensif dan keinginan untuk tidak mau menerima kritik ataupun ide-ide yang berbeda akan jauh lebih berkurang). Sehingga kita bisa menerima banyak hal baru (yang ternyata tanpa kita sadari positif) tanpa menimbulkan konflik.

Ketiga: Kebiasaan bertanggung jawab terhadap diri kita sendiri. Kita adalah penentu pilihan dan tindakan kita sendiri. Untuk itu kita juga bertanggung jawab atas kehidupan, ketentraman dan pencapaian tujuan kita; dan jikapun kita membutuhkan bantuan orang lain untuk mencapai tujuan itu, kita harus memberikan sebuah “Nilai” sebagai imbalannya. Itu bentuk tanggung jawab kita. (Secara gamblang gini: gw mau hidup cukup, dan untuk mencapai tujuan gw itu, gw butuh kerja, otomatis ada imbalan yang harus gw kasih ke perusahaan yaitu: a value atau sebuah nilai dari diri gw.)

Keempat: Kebiasaan mempertahankan hak. Gw rasa ini lebih merupakan sikap kita untuk membela keyakinan dan pendirian kita menurut cara-cara yang memadai dan, jangan lupa, dilakukan pada situasi yang tepat.

Kelima: Kebiasaan hidup dengan tujuan. Hidup dengan tujuan itu sangat penting dan nggak mudah. Kita harus mampu mengidentifikasi sasaran (baik jangka pendek dan jangka panjang), lalu memprediksi tindakan yang diperlukan untuk mencapainya, belum lagi usaha buat ngatur perilaku kita untuk memperoleh sasaran ini (disiplin oy!), ditambah lagi perlunya memantau tindakan-tindakan yang udah kita lakukan untuk meyakinkan bahwa apakah kita udah berada pada “track’ yang benar apa nggak, dan terakhir, jangan lupa untuk memperhatikan hasilnya apakah udah sesuai sama goal kita atau belum (semoga aja udah, karena kalo belum, lo harus feedback lagi keatas.. Capeee deyyh).

Keenam: Kebiasaan memiliki integritas pribadi. Jadi gini, integritas pribadi adalah hidup sesuai dengan apa yang kita ketahui, apa yang kita nyatakan, dan apa yang kita lakukan; berkata benar, menepati janji, memberi teladan tentang apa yang kita yakini, dan memperlakukan orang lain dengan adil dan murah hati adalah beberapa langkah kongkritnya.

Anjrit, banyak amat sih gw nulis? Hahaha kesurupan lagi kayaknya.

Ya terlepas dari kesurupan atau nggak, pokoknya, gw cuma ngingetin, Lo melakukan sesuatu hal, bukan karena hal tersebut menyenangkan buat Lo (meskipun memang demikian). Dan Lo melakukan sesuatu hal, bukan karena secara politis memang benar. Tapi Lo melakukan sesuatu hal tersebut karena Lo harus sangat percaya dan meyakini bahwa antara ekspresi kreatif seorang pegawai dengan suksesnya suatu perusahaan (diucapkan dengan penuh intensitas) sangat-amat-terkait-erat.

Dan untuk mencapai kebesaran diri lo sendiri, mulailah dari tempat dimana lo berada sekarang, gunakan apa yang lo punya, dan lakukan apa yang lo bisa. Just remember, when you’re high on a mountain you cannot be anything but what you are.[]

Idealisme dan Sebuah Kontroversi Realitas

Weekend days. Tadinya gw niat mau makan-makan di Solaria Plaza Semanggi karena BJ, Senior Manager Finance gw, ultah. Tapi rencana itu gagal. Gw “diculik” Ricky (Boss gw), buat ngobrol seputar kerjaan. Katanya sih cuman 5 menit, tapi buset.. (jangan tanya deh..).

Ricky tuh best friend gw di kantor, walaupun beda negara, bahasa dan budaya, dia concern banget sama gw, secara emang dia dulu yang interview gw waktu recruitment gitcuu. Intinya gw sama Ricky diskusi masalah “work idealism and reality controversion”.

Why? Karena untuk mencari pekerjaan yang fit pada kondisi apapun, kita selalu dijejelin sama dua pilihan yang paling common: Money (Reality) atau Work Passion (Idealism).

Money. Nggak mungkiri, kita sebagai manusia cenderung ingin pemuasan materi, yang kalo kata Lia: “Realistis aja nyet, semuanya tuch dibeli pake uang, Money rules! Belom lagi kalo ntar lo udah jadi nyokap-nyokap, kebutuhan banyak, ini itu, iya kalo suami lo ntar pejabat negara yang suka korupsi, lo tinggal sante. Makanya rum, mumpung masih muda, kita harus bisa terus naikin rate sallary kita.”

So??

Kita pasti nggak akan berenti nyari kerjaan yang ngasih gaji pualing gede, kalo bisa: sekian (3 digit) juta perak tanpa dipotong pajak. Haiyyah.

Work Passion. Kadang, ada orang yang nggak ngerasa fit atau cocok sama kerjaan dia sekarang, ConSo (Contoh Soal) kayak temen gw si Riza. Riza kerja di salah satu Bank milik negara yang ngasih gaji & tunjangan gila-gilaan. Tapi apa? Dia nggak puas!! Lha wong dia anak teknik bergelar engineer, tapi kok kerjaannya dealing sama finance (kalo kata gw sih why not?). Yaa ada semacam sesuatu yang ketahan dan undescribed didalam diri dia yang nggak terima kalo dia harus kerja di Bank.

Terakhir ketemu, Riza bilang ke guah, “Yoem, gw mau resign aja deh dari sini, gw nggak betah kerja di Bank. Gw tuh Engineer IT, kalo gw tetep kayak gini terus-terusan gw ngerasa ada puzzle pencarian diri gw yang missing.”

NAH! Bingung kan lo?

Ya walaupun kadang, gw juga menemukan ada beberapa orang naif yang dengan sangat tololnya bilang (yang ini gw nggak mau nyebut nama): “Ya elah Rum, plis deh, kenapa nggak cari kerjaan yang cocok trus ngasih gaji gede? Kayak susah aja nyari kerjaan, Jangan dibikin ribet deh..” (Gw sih waktu dia ngomong gitu cuman cengar-cengir aja, sambil dalem hati mbatin: “Ampuni aku Tuhanku, wahai yang maha pengasih, maha penyayang lagi maha pengampun, jika sampai terucap ataupun terdesir sumpah serapah dan harapan dalam dadaku tentang seburuk-buruk keburukan akan datang kepada orang ini..”

Woy!! Balik lagi dungs ke gw & Ricky tentang masalah idealisme dan sebuah Kontroversi realitas.
Di perbincangan itu, gw bilang ke Ricky kalo selama pengamatan gw setahun ini, ternyata ada dua type pekerja. Ada beberapa orang yang bekerja untuk kepuasan diri, tetapi ada juga orang yang bekerja demi uang.

Yang gw liat, sepertinya ini bukan masalah pilihan untuk menjadi type yang mana, tapi lebih ke: Mampu nggak sih orang itu memproyeksikan rasio ability yang dia punya terhadap jumlah uang yang dia anggap worthed atas level performansi yang dia capai?

People just don’t care. Pokoknya dengan performansi rendah, nggak bekerja sungguh-sungguh, tapi gaji harus setinggi langit.

Well, bagi gw pribadi (ini cuma opini lho), apapun yang kita perbuat, semua ada tanggung jawab horizontal dan vertikalnya. Horizontal salah satunya yah sama sesama rekan kerja (at least kalopun suatu saat lo sukses, orang nggak akan mencibir sinis tentang pencapaian lo itu). Dan kalo yang vertikal, bisa ditebaklah, itu tanggung jawab lo sama Tuhan. Walaupun ada beberapa orang yang bilang, “Nggak ada lah relevansinya, Rum”. Tapi gw insist, bekerja itu bagian dari ibadah, so pasti ada yang dipertanggung jawabkan secara vertikal.

Gw inget, si Dodi, temen gw pernah bilang: “Makan tuh idealisme lu, ngapain lo kerja ampe mampus-mampus, tapi yang lain pada santai gajinya juga sama aja, tuh liat sekarang lagi pada ketawa-ketawa maen tenis meja.”

NAH! Gw bilang sih itu pemaknaan yang keliru. Keliru pertama: Dengan melakukan pencapaian idealisme kerja, gw nggak berarti harus kerja keras banting tulang sampe mampus (jaman sekarang, otak mendominasi otot, bung!). Keliru kedua: Kita nggak perlu ikut-ikut orang yang punya work attitude santai dan nggak bertanggungjawab seperti contoh tadi (kalo santai, tapi bertanggung jawab penuh¡ atas pekerjaannya, ya nggak masalah).

Hmm.. gw jadi teringat kata-katanya Jerry Hung, temen gw yang lain: “The chance only given to the one who well-prepared!”. Gw lantas berpikir, mungkin itu bedanya engineer Indonesia sama engineer yang bukan indonesia. Perbedaan mendasarnya jelas terlihat pada cara dan apresiasi mereka mempertanggungjawabkan pekerjaannya secara moral, terutama untuk dirinya sendiri, sehingga aura tersebut berimpact keluar dari dirinya dan menghasilkan performansi kerja yang luar biasa baik (lalu otomatis lah, yang namanya duit juga bakal ngalir sendiri karena prestasi kerja yang kayak gitu).

Jadi, intinya (balik lagi), gw dan Ricky menyimpulkan bahwa Idealisme dan realitas (tuntutan hidup = money) bukanlah bagian yang terpisah. Idealisme kerja harus kongkrit sama realitas yang ada. Well, tapi nggak semudah itu, untuk mewujudkannya kita butuh pondasi yang kuat, yaitu Work Attitude.

Hahaha.. nggak pake Bahasa Indonesia atau bahasa apa, bisa ditebak: Gw selalu mendominasi pembicaraan. Tapi memang, saat ini yang bisa gw lakukan hanya berdialog, toh hanya melalui dialog seperti inilah kita nggak akan merasa asing, ataupun diasingkan.

Ricky pun malam itu pulang dengan membawa kebanggaan. Coz dia menutup malam itu dengan kalimat:”It’s really an honour to meet you, you are really smart, independent and mature woman. Your character is very strong, and I can see what you will be in the next few years.”

Dan pada malam yang sama, gw pun pulang dengan sejuta tanda tanya, tadi gw kesurupan apa yak… sampe bisa ngomong gitu? Hadeuh.[]

Perempuan dalam Bingkai Modern dan Masa Lalu

Beberapa waktu lalu, menjelang perayaan hari kartini, gw memutuskan untuk menulis. Isinya menurut gw biasa-biasa aja, ulasan tentang bagaimana membuat kehidupan wanita menjadi lebih baik, dan tentunya nggak lupa gw jabarin dua faktor utama yang saling mendukung dan terkait dalam ulasan itu. Pertama: faktor internal berupa kecerdasan si perempuan itu sendiri dan yang kedua: faktor external berupa keterlibatan pasangan dalam menciptakan lingkungan yang mendukung peran masing-masing agar nggak terjadi ketimpangan ataupun ketidakadilan buat si perempuan.

Well, niat gw sih sebenarnya nggak sampe sejauh itu. Gw cuma mau ngebuka dikiiiit aja, tentang realita perselingkuhan, yang sebenernya terjadi karena kesalahan dua belah pihak (baik laki-laki dan perempuan). Tapi karena konteksnya: ditulis pada perayaan hari kartini, gw yang badung ini agak-agak nyolot buat menambahkan sedikit hiperbolisme kedalam bahasa-bahasa gw (biar lebih nampol dan hot maksutnya).

Tapi entahlah, tulisan itu sepertinya menimbulkan suatu super-chemical-reaction pada masing-masing orang yang mbaca, sehingga diluar prediksi gw, buanyak banget yang kasih komentar, baik langsung di blog ataupun di imel.

Yah, yang komen bagus dan seiring sejalan sih nggak papa, membuat gw tambah cengar-cengir ke-GR-an, nah yang ngasih komen sadis-sadis dan menghujat ini yang bikin gw puyeng (masa tulisan gw dibilang hipokratik, sarkasme, dsb dsb??).

Emosi neh!

Zachrie, yang juga pengamat sosial gw, menyadari hal itu. Dan dia cuma ketawa ringan sambil berpesan: “Sabar.. sabar.. kamu harusnya bangga, Rum! kamu punya ekspresi dan sense buat ngebebasin dirimu. At least kamu bisa nulis apa yang orang selama ini hanya bisa membayangkannya aja. Itu kelebihanmu! Ya.. kalo kamu nggak bisa berlari sambil teriak, kan kamu masih bisa merayap sambil berbisik, pelan pelan aja.. itu baru namanya merendahkan diri meninggikan mutu”

Walaupun wejangan itu terdengar sangat bijak, reaksi gw tetep aja-aja manyun manyun nggak jelas. Mengetahui hal itu, Zach melanjutkan: “Ini jaman dimana semua orang sudah mengalami tingkat edukasi dan literate yang sangat tinggi, sehingga sudah selayaknya buku dihadapi dengan buku, gagasan ditarungkan dengan gagasan, dan tulisan dihadapi dengan tulisan, sudahlah.. mending kamu bikin tulisan lagi untuk menjelaskan inti persoalan yang kamu sampaikan di tulisanmu kemarin melalui perspektif yang lebih objektif lagi..”

(Tapi sayangnya, gw udah cukup males buat ngebahas-bahas yang kemaren)

Namun, dari situ, kami malah jadi punya bahan baru dan seru buat diskusi, seputar: bagaimana menjadi perempuan yang mandiri dan modern tetapi tetap menjunjung hal-hal yang berbau norma-norma tradisi konservatif, seperti: menyadari posisi dan perannya sebagai perempuan, memiliki kesabaran tingkat tinggi, menghargai orang lain, mau mendengar, bekerja keras dan membiasakan tepat waktu.

Garis merah yang dapat kami tarik adalah: bahwa citra feminism yang selama ini diteriakkan oleh kaum perempuan, kayaknya sudah mulai melenceng, baik dari kaidah logis maupun agamis. Dari situ, gw menemukan satu teori baru, bahwa sebagai perempuan yang cerdas, kita juga harus dapat mendefinisikan variabel kesetimbangan tertentu sebagai tolak ukur (atau bahasa tekniknya: threshold) untuk menentukan apakah kita sedang berada di low level atau bahkan malah over threshold.

Gunanya ya sudah pasti, kita jadi lebih pintar untuk memutuskan kapan mempercepat dan melambatkan langkah agar segala sesuatunya berjalan secara seimbang. Nah dengan begitu, otomatis, kita bisa jadi kekasih sekaligus partner yang klop buat pasangan (ini pake kondisi ideal sih, tau realitanya ada apa nggak)

Disitulah letak arti kesabaran buat seorang wanita. Kesabaran dalam menahan ego.
Waaaah… gw jadi ngerasa berhutang banyak sama buku-buku, blog-blog, infotainmen, dan (yang utama) berhutang banyak kepada orang-orang yang ngajak gw berpikir.

Kalau kita masuk ke dalam paradigma kebebasan wanita yang salah kaprah, bisa-bisa nanti terbawa arus. Wadooh kacau nih!! Tapi gw yakin, kita masih bisa mengubah. Masa kita kalah sama ikan laut? Ikan laut hidup di laut yang airnya asin, tapi toh dalam kondisi environtment yang seperti itu (asin), nggak merubah si ikan menjadi asin. Makanya jangan ndeso! Introspeksi dong. Gw idem deh ama katanya om Socrates kalo “hidup yg tidak diperiksa ulang tidak pantas untuk dihidupi”

NAH! sekarang untuk menjadi modern, sophisticated, intelligent but humble and lovable women, pertanyaannya bukan: bisa atau nggak? tetapi: mau atau nggak?
Well, life isn’t fair but that doesn’t mean we have to be unfair.[]

Perempuan Terjebak Pasungan

Andaikata aku jatuh ditengah-tengah perjalananku,
aku akan mati bahagia, Sebab bagaimanapun jalan telah terbuka.
[Habis gelap terbitlah terang, Door duisternis tot licht – April 1911]

Selamat Hari Kartini, Wahai para wanita..
berbahagialah kita atas 96 tahun pelepasan rantai dan “pasung” perbedaan Gender yang sempat menghimpit arah, ruang gerak dan visionari kita sebagai Perempuan..

_________________________________________________

“Hoaaahhh………..” Udah 6 kali lebih sedikit gw menguap. Dan udah 2 jam lebih 5 menit gw cuma ketap-ketip. Ada perputaran misterius dikepala gw yang berebut minta dihapus. Seribu pertanyaan gw tentang “Perempuan” yang telah banyak terjawab, tiba-tiba menimbulkan sebuntel masalah baru yang membuat gw KEMBALI terjebak.

Gila!! Ini Labirin tak berujung! Seperti ada yang aneh dan PALSU disitu.

Hmm, secara TEORI (yaitu menurut KONSEP “Kartini”), harusnya gw sebagai perempuan, telah MERDEKA sekarang, tapi menilik kejadian yang sudah-sudah, justru realisasi ‘konsep Kartini’, kini menjadi semakin blur and absurd buat gw. Gw tetap merasa kalo para perempuan masih “terpasung” dalam teori kebebasan ini! Masih terjajah oleh laki-laki.

Terpasung dari sisi luar berupa ‘siksaan’ mantap egosentris lelaki, ataupun terjajah dari dalam berupa pembatasan dan creativity congest akibat kata-kata sakti: KODRAT PEREMPUAN yang membuat kami stuck sehingga takut untuk bergerak mengikuti visi dan nurani kami sendiri. Akibatnya? mau mundur salah, mau maju juga akan tetap jadi masalah. Dengan kata lain, apa yang diharapkan, dengan bagaimana kenyataannya, SUNGGUH jauh bergeser dari titik awal tujuan konsep Kartini bermula.

Wacana ini timbul hanya dari hal sepele. Bermula dari diskusi singkat dengan Zachrie, seorang kawan, tentang “Mengapa Perselingkuhan di Indonesia kian marak terjadi.”

Sebagai statement pembuka, Zach berasumsi bahwa sebenarnya. Istri juga turut mengambil peran penting dalam menentukan tinggi rendahnya probabilitas perselingkuhan yang dilakukan suami.
Then my question is: “WHY?”

Apakah karena Istri mengalami perubahan secara fisik seiring waktu?
Apakah karena karena Suaminya bosan?
Apakah karena kebutuhan seks semata?
Apakah karena kenaikan pangkat suami?
Apakah karena gelimang harta dan tahta?
Apakah karena karena prestige?
Zach menjawab sendiri pertanyaan itu: “YA! TENTU SAJA! Itu manusiawi”
Gw cuma cengar-cengir blo’on, namun secara serius gw merasa ada ketimpangan disitu. But my next question is: “HOW? Bagaimana itu bisa terjadi?”

Secara diplomatis Zach menjawab: “Wajar lah sweetheart, dalam dunia pekerjaan beserta tantangannya, Suami mampu terus mengupayakan dirinya untuk lebih maju, lebih kompleks, lebih majemuk, lebih survived dsb dsb sehingga secara automatic, seiring bertambahnya waktu, pencapaian sang suami terhadap kualitas hidupnya dapat terus meningkat secara significant!”
Gw cuma bertopang dagu.

Zach melanjutkan: “Well, as you may know, Istri itu lebih banyak dirumah, dan perubahan kualitas hidupnya nggak berjalan begitu cepat, dunia istri berjalan jauh dan jauh dan jauh lebih lambat dari sang suami.. dan akibatnya bisa kamu prediksi kan? sang suami akan merasa nggak puas, lantas mencari sosok wanita ‘baru’ yang dapat berimbang dengan dirinya, yang selevel dengan pencapaian kualitas dia..”

Gw menarik nafas, mencoba berargumen, “Why that husband just don’t give his wife a chance? Maksutku, biarkan Istrinya bekerja.. atau yeah at least, let her does some activities untuk menjadikan dirinya juga bisa maju, bisa menjadi lebih kompleks, lebih majemuk, juga lebih survived seperti sang suami.. Kalo memang suaminya mengerti, lantas kenapa tidak memberikan hak dan kesempatan yang sama? the solution is so simple..”

Zach bersikap moderat, optimis, mendukung serta mengamini jawaban gw. Pria ini benar-benar pintar dan tau cara mengambil hati gw. ‘Old school’ trick. Hehehehe.

Namun dari situ, tatanan konspirasi murni di otak gw bergejolak, jangan-jangan, pembodohan ‘konsep Kartini’ yang kayak gini masih berlanjut pada banyak perempuan yang nggak punya “Zach” kayak gw.

ANJRIT!!

Gila banget kalo diluaran sana ada lelaki bodoh dan apatis ingin berlari kencang guna mencapai segala kesempurnaan hidup seorang diri (padahal menikah itu berarti ada dua orang, bukan?) lalu setelah semua pencapaian dan kesempurnaan itu dalam genggaman, si lelaki bodoh ini merasa Istrinya nggak “selevel” dia dan tidak patut mendampinginya lagi, sehingga dia tinggalkan si Istri dan mencari wanita lain yang dirasa mampu mengimbangi kesempurnaan hidup si lelaki hebat ini.
Sementara itu, bisa jadi, si Istri menjadi “congest” (melambat) bukan karena emang secara lahiriyah bodoh, melainkan karena rayuan busuk sang suami: “Sayang, Biar saya yang melakukan semuanya untuk kamu, Kodrat istri (maaf) dirumah saja ya?”

SINTING!

Ini namanya Azas manfaat, pertamnya memanfaatkan keluguan dan kepatuhan perempuan,dan beberapa waktu setelah kepatuhan itu, laki-laki berkata: “Buset, perempuanku ini terlalu lambat, nggak sesuai jaman, buang saja!”

Ini Gila namanya!

Pria ber-euforia dengan kondisi yang ada, sehingga dalam diri mereka nggak ada sense of crisis yang mampu membangkitkan kesadaran moral mereka akan adanya kompleksitas dan kekuatan terdalam seorang perempuan. Kebayang deh pada masa dimana kondisi pencapaian kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan masih berimbang, lelaki itu akan berkata:

“Neng, Lelaki adalah kepala keluarga dan harus bertanggung jawab terhadap keluarga yang dimilikinya, Well, sebenernya Abang sangat setuju kalo kamu harus menjadi wanita yang memahami dunia kehidupan dan memiliki pengalaman yang segudang..
Abang dukung kamu untuk memiliki berbagai kesibukan, tapi neng, sampai kapan? apakah ketika sudah menikah.. dirimu akan tetep jd wanita super? Kamu harus bisa mengurangi kesuperanmu karena kamu harus melayani keluarga, itu kodrat perempuan”
NAH! ini yang namanya terjebak dalam pasungan! IT’S NOT FAIR!

Apanya yang harus dikurangi? Tingkat keSUPERan seorang wanita? Bullshit!
Dengan berkeluarga harusnya lelaki berharap para wanitanya menjadi semakin cerdas! Ngurus rumah tangga, ngurus anak, ngurus suami, ngurus kerjaan, membutuhkan kesabaran dan kecerdasan tingkat tinggi, Bung!

Gw ribed banget mikirin pola pikir cowok bodo kayak gini (tolong dimaafkan, ini cuma sekedar luapan emosi tak terduga aja..).

kita perhatikan disini,
1. Lelaki cenderung nggak sadar telah memulai proses pelambatan pada perempuan,
2. Perempuan cenderung ‘manut’, nurut, dan luluh cuma gara-gara kata: “Kodrat”. (tuh! Kurang apa pengorbanan perempuan???)

Bener kan? jika posisinya seperti itu, perempuan pasti berada dalam kondisi terhimpit seperti sandwich, mau mundur salah, mau maju, tetap akan bermasalah. Mau mundur, laki lo cari ‘mistress’ baru, mau maju dibilang melawan kodrat.

EMANSIPASI MBAHMU!

Gw jadi inget, gw pernah terlibat dalam sebuah diskusi seru tentang “perempuan”..
Awalnya kita lebih membahas tentang bagaimana orang-orang selalu memandang perempuan sebagi objek, titik. Well, anggap saja itu benar. Tapi sebagai objek, perempuan nggak statis gitu aja perempuan juga merupakan substansi yang bisa berfikir dan ada kemungkinan.. LEBIH cerdas dari laki-laki.

Fakta itu merupakan saah satu produk emansipasi. Karena emansipasi untuk masa sekarang, juga berarti: “pemberi inspirasi”. Kebayang kan pribahasa: “Behind great man lies a great woman”? Lalu Kebayang juga nggak, gimana majunya bangsa kita kalo kualitas dari segi mental dan psikis seorang perempuan meningkat lebih baik?

Hahaha.. lewat tulisan-tulisan gw seputar feminism, gw pernah dicap wanita nggak tau diri yang merasa paling superior, yang nggak butuh lelaki dan nggak mengindahkan “kodrat” gw sebagai seorang perempuan. Halah mental manusia jajahan! kebiasaan nggak mau mengkaji lebih dahulu, tetapi langsung memvonis!

Ini bukan masalah butuh atau nggaknya gw sama lelaki, ini cuma memberikan pandangan bahwa nggak boleh ada penciptaan “pasung” jenis baru yang menghambat kemajuan seorang wanita dalam menata kehidupannya. Lelaki juga harus bersikap lebih cerdas untuk mesikapinya, jangan hanya berkata sepakat, tapi dibelakang mengumpat.

Bagaimanapun peran lelaki suangat penting untuk mengupayakan penghilangan pasung-pasung penjerat kebebasan wanita ini. Kita butuh lelaki yang semakin cerdas dan mampu melihat what’s beyond. Lelaki yang dapat mengesampingkan ego dan mampu memberikan dukungan penuh agar konsep ‘Kartini’ nggak sekedar berada dalam garis teori.

Kita butuh lelaki yang “bermoral”. Dimana kearifan moral itu nggak murni dari otak (pemikiran) mereka, tetapi lebih bersumber dari hati. Kita nggak hanya perlu meningkatkan kecerdasan berpikir seorang perempuan, tapi kita butuh penciptaan kondisi sinergis dan kondusif disekitarnya, dimana keterlibatan seorang pria yang bijak, cerdas, dan memiliki nurani menjadi main ingridient dalam resep “pembebasan pasungan” ini.

Sempat sih, gw berfikir mau mengadakan mass revolution, untuk ngebongkar skandal “pasungan” perempuan ini. Tapi teori “mass revolution” itu runtuh gitu aja. Mau gimana lagi?? gw cuma perempuan biasa-biasa aja, sendirian pula. Revolusi kan ibarat memformat ulang hardisk secara keseluruhan, jadi memang HARUS sadis dan tanpa ampun. Well, masalahnya, elemen masyarakat kita terlalu majemuk, dan sangat sulit menyamakan persepsi.

Lagipula, tak ada yang tega berevolusi sampai mati (se-gila ataupun se-idealis apapun orang itu..). Karena wacana revolusi sampe mati ini terlalu imajinatif untuk direalisasikan.

So, ada ide untuk keluar dari labirin setan ini?

Yah seperti apa kata Barack Obama, kita harus percaya adanya “audacity of hope” (kekuatan dari harapan) (Pasti gw diketawain mbak Mel gara-gara cinta banget sama bapak satu ini). Sekali lagi Selamat Hari Kartini, Wahai para wanita. Semoga belenggu, rantai dan “pasung” itu benar-benar lepas sekarang.

Jadilah lebih cerdas, wanita Indonesia! Demi masa depan anak-anakmu![]

Laki-laki dibawah Hujan

Suatu sore, sambil sesekali memetik dan memeluk Kalyani, gitar tua gw, gw menerawang. Hari ini sekitar jam 12:16 pagi, gw menerima imel dari seorang kawan lama, Mas Tirta. Subjek imel masih sama, ngebahas ulang tahun gw, tapi isinya luar biasa merisaukan hati. Masih tergambar jelas bait terakhir di imel yang ditulis mas Tirta itu.

Ultimus bukanlah soal heroisme atau kontroversi, jangan tanya apa yang terjadi di sana. Ada buku-buku di sana yang menunggu untuk dibaca dan kita perbincangkan bersama. Ada tanggung jawab bagaimana buku-buku itu bisa lebih berharga dari secangkir kopi dan sebatang roti di kafe.

Intinya ya, bercerita seputar Toko buku Ultimus dan pembubaran sebuah diskusi tentang Marxisme ditempat yang sama. Yang turut disertai aksi anarkis dan diakhiri dengan penyegelan toko buku tersebut. Tapi bukan itu yang bikin hati gw kebat-kebit. Sudah terlalu sering nama itu disebut.
Disebut lagi.. lagi.. dan selalu lagi-lagi disebut, dalam setiap artikel yang gw baca dan disetiap perbincangan yang gw denger tentang insiden Ultimus. Bilven. Betapa nama itu begitu familiar di kepala gw. Di imel itu pula, terdapat potongan wawancara Mulyani Hasan (kontributor sindikasi Pantau di Bandung) dengan Bilven,

Pada 16 Desember 2006, saya menemui Bilven Rivaldo Gultom di sebuah kafe. Lelaki berkulit kuning langsat ini belum genap 30 tahun. Ia berusaha gembira, meski hatinya gelisah.

“Saya belum merasa bebas. Berdasarkan informasi dari orang-orang terdekat saya, ada banyak orang tak dikenal mencari-cari saya,” katanya. Sebentar-sebentar ia melihat layar telepon selulernya. Bunyi pesan yang masuk menyaingi suara hujan.

“Saya tidak mengerti tuduhan mereka. Mungkin saya dituduh komunis karena saya miskin,” katanya, lagi.
Secangkir kopi panas pesanannya tiba.

“Saya dan kawan- kawan hanya ingin mengembalikan filsafat Marx pada posisi terhormat sebagai ilmu filsafat yang layak dipelajari. Karena ilmu-ilmu sosial yang ada tidak bisa menjawab beberapa persoalan yang pokok yang berhubungan dengan kehidupan,” ujar Bilven.

“Selama ini, ajaran Marx banyak digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk merebut kekuasaan. Itu yang tidak saya sepakat. Karena itu akhirnya ajaran Marx juga ikut diberangus.” Ia terus bicara.

“Revolusi itu akan terjadi pada tingkat pemikiran. Indikatornya, tidak ada lagi pemberangusan, tidak ada korupsi dan orang-orang akan menggunakan akal pikirannya berdasarkan logika bukan lagi menggunakan hal-hal yang abstrak,” lanjutnya.

Bilven lolos saat Permak (Persatuan Masyarakat Antikomunis ) melancarkan penangkapan. Sejak saat itu ia tinggal berpindah-pindah. Namun, ia ternyata belum tenang. Selama tak ada jaminan dari polisi, anarki model Permak bisa terulang sewaktu-waktu.

Ah, Bilven. Freedom is like money, some other people might have it more than other. Bilven, dulu, selalu menyapa gw dalam kalimat sama: Apa kabar, Nona? Sambil akhirnya berlalu. Masih dengan topi panser hijau (gw menyebutnya begitu) dan jaket hitam kesayangannya yang lusuh dimakan waktu.

Gw nggak ingat pasti kapan mulai kenal dia. Yang pasti, wajahnya selalu ada disetiap diskusi yang gw datengin. Waktu warung rawon bude di kampus kami belum pindah ke sisi timur kantin, gw, mas Bintang, mas Wahyu, dan Bilven sering berbagi lembaran koran bersama disitu, berusaha memanfaatkan waktu luang, sambil menunggu jam kuliah. Terkadang bertukar joke seputar berita koran yang bikin kami ngikik setengah mati sendiri.

Bahkan dulu, saat Bilven masih ditengah usaha meraih gelar masternya dari ITB, dia masih suka nongol di kantin gw, melakukan hal sama, memesan secangkir kopi, masih ditemani topi panser dan jaket hitamnya, pernah sekali itu, saat senja bergerimis, gw ngeliat Bilven dari jauh.Menggenggam sebuah koran, dan sedang berpikir untuk menerobos hujan.

Hal yang dia lakukan benar-benar diluar dugaan gw, bukannya menjadikan koran itu sebagai “payung” agar air hujan sedikitnya tidak membasahi kepala, eh, malah koran itu diselipkan dibalik jaketnya, dan dibiarkan air hujan yang dingin itu memeluknya dalam diam.

Damn, dia lebih mencintai koran dibanding dirinya sendiri, Sinting!

Terakhir ketemu, awal tahun 2006. Waktu itu gw, Icha, Firza, Mas Lilik, dan Mas Tirta mampir ke Ultimus. Entahlah.. saat itu gw merasa itu kali terakhir gw bakal ngeliat Bilven. Gw sempat ngambil foto mas Lilik dan Bilven yang berangkulan dengan akrab. Sayang, waktu itu gw nggak punya nyali lebih banyak untuk ngajak Bilven foto bersama.

Gw masih ingat, sebelum itu, kami juga pernah ketemu, waktu itu ada acara diskusi tentang puisi dan kesenian. Kalo nggak salah, di pusat kebudayaan Perancis, Bandung. Usai acara, gw ngeliat, eh ada Bilven, dia juga ngeliat gw. Dan dengan gaya yang persis sama seperti yang lalu-lalu, dia tersenyum, “Apa kabar, Nona?” Katanya singkat.

What a deadly smile on earth, ever!

Gw selalu mengagumi semua ciptaan Tuhan. Tapi gw sangat bersyukur jika gw bisa, setidaknya sempat, bertemu dengan orang-orang kayak Bilven. Muda dan Idealis, berkarakter, cerdas, pekerja keras, cinta pembaharuan, jujur, penuh semangat, ramah, dan dapat memandang hidup dari sisi yang berbeda.

Gw selalu memuja para aktivis yang nggak pernah mau disebut sebagai aktivis itu. Bagi gw, mereka
adalah manusia yang berguna buat pembaharuan. Karena ide mereka nggak pernah berhenti ataupun mati. Kalaupun gw diberi kesempatan untuk memberikan cindera mata, Gw mau kasih potongan puisi Widji Tukul (Tujuan Kita Satu Ibu) buat Bilven:

Kita tidak sendirian
Kita satu jalan
Tujuan kita satu ibu: pembebasan!

“Ding!!!”.

Ada SMS masuk di ponsel gw. Lamunan gw buyar, meretas seperti air hujan yang membasahi Bilven hari itu. Gw bangkit meraih ponsel. Ternyata dari seorang mantan aktivis lain,

“Lagi dimana? Sedang apa? Sama siapa? Kepalaku pusing, baru pulang. Dari tadi pagi ikut training partai. Aku mau berangkat ke Norway.”

Gw letakkan ponsel gw tanpa membalas SMS-nya.[]

Serpihan Kaca

Minggu-minggu, pas banget hari hujan. Wuih jelas bikin ngantuk. Dan nggak kerasa, bener ketiduran. Bangun-bangun, masih ngulet-ngulet malas, tenggorokan kering banget. Gw ke dapur, ngambil gelas. Nggak sengaja tangan gw kena pecahan beling kaca. Lalu berdarah.

Lah, ini gimana cerita bisa ada beling? Gw telusuri ke tempat sampah, ada gelas pecah!! HAH?!
Secara nggak sadar, gw lari kedepan. Rumah gw kosong, gw panik. Seratus persen panik. Tiba-tiba aja gw sadar. Sadar sendiri, Kalo ini udah tahun 2007. Rupanya gw masih trauma ngeliat kaca pecah.

Lima tahun lalu, gw harus menghadapi realita kalo gw hampir jadi broken homers. Gw masih inget detik-detik awal gw tau semuanya. Dan justru gw tau karena bokap nyokap gw ngunjungin gw yang kuls di Bandung secara khusus cuma buat klarifikasi/update ke gw: “Listen ndut, our family got problems.”

Hari itu, gw lama melongo didepan kostan. Dibilang shocked, nggak juga. Dibilang kaget, ya agak-agak sih. Abis bokap njelasinnya tenang banget, kayak bercanda. Gw pun baru menanggapi masalah ini serius, saat pada suatu malam, gw dapet tilpun dari bokap.

Ada kegundahan yang luar biasa dalem gw rasakan disana. Ada getar-getar keputus-asaan menginterferensi frekuensi suara bokap. “I can’t find your mom anywhere.. ” Katanya terbata.
Detik itu juga gw berangkat ke jakarta. Masih pake seragam kuliah, cuma bawa dompet, HP, dan sendal jepit kamar. Gw sempet tarik-tarikan sama Een dan Mbak Otik (temen kost), karena hari itu sudah terlalu malam. Kedua Sahabat gw itu nggak tega ngelepas gw gitu aja. But I have to see my father. I have to go.

Sampai di rumah bokap, gw nggak menemukan satu orangpun! Yang gw temuin cuma pecahan kaca dimana-mana. Gw nggak tau, dan nggak bisa bedain, pecahan beling itu dari piring, gelas, kaca, atau dari mana. Semua tajam, semua ngiris-ngiris hati gw.

Gara-gara masalah itu, gw hampir nggak mau pulang ke Jakarta lagi. Bandung seketika itu juga, jadi tempat paling aman buat gw untuk lari dari kenyataan pahit itu. Gw masih inget banget kata-kata Een sahabat gw, (Een ini seorang survival yang sukses di dunia broken homers),

“Yum, kamu kalo mau nangis, nangis aja. Kamu tau kan, aku ngerti banget gimana rasanya? Kamu jangan diem gitu aja, please. Aku tau pasti kamu bingung banget sekarang.”

Tapi gw tetap membatu, tetep nggak bisa nangis. Sampe akhirnya gw nongkrong sama Zukri, temen gw yang lain. Si Zukri ini sama sekali nggak tau kalo gw lagi ngalamin masalah berat. Gw inget banget, waktu itu jam 2 pagi, kami berdua nyari teh panas di warung burjo dekat kampus. Zukri curhat tentang cewek yang sekarang dia taksir. Namanya Rina.

“Kamu tau Rum, aku kalo cinta banget sama cewek, aku nggak mungkin bikin dia sedih.. “
Rupanya Zukri emang cinta mentok sama si Rina ini. Gw cuma diem, memandangi Zukri ditengah kebul teh panas kami.

“Kalo aku nikah sama siapapun nanti, aku berjanji nggak mau ninggalin dia, kayak bapakku ninggalin ibuku..”

Gw dengan spontan keselek. Zukri tampak nggak sadar. Sambil nyeruput teh panasnya, Zukri nyoba mengingat masa lalu.

“Bapakku udah meninggal sih.. dan kamu tau gak? Bapakku itu meninggal pas dirumah istri mudanya, dan gilanya, ibuku masih aja mau kesana ngelayat. kalo aku sih jelas nggak mau…”
Gw bener-bener tersentuh sama ceritanya Zukri. Tanpa dia sadari, dia membuat gw kembali menemukan jalan gw pulang. Sambil menggenggam cangkir teh yang mulai dingin gara-gara angin, gw berdoa, semoga nyokap gw, mau maafin ke khilafan bokap gw.

Karena gw tau, kondisi keluarga gw saat itu nggak separah kondisi keluarganya Zukri, karena bokap gw masih mau mengakui segala kekhilafannya, dan bokap setengah mampus berharap agar nyokap gw mau maafin dia.

Sekarang masalah itu udah lewat. Hampir 3 tahun ini, keluarga gw baik-baik aja. Seperti nggak ada apa-apa yang pernah terjadi. We’re doing perfectly fine. Semua kejadian itu secara nggak langsung membuat gw jadi wanita yang ‘sedikit’ lebih kuat.

Gw belajar banyak tentang arti meminta maaf dari bokap dan gw belajar juga tentang bagaimana harus menerima kejujuran dari Nyokap gw. Jika kita mau berbesar hati menerima, lalu mengikhlaskan masa lalu, sambil kembali menata kembali harapan kedepan, ternyata nggak ada sesuatu yang NGGAK mungkin. Asal kita yakin bahwa Tuhan akan memberikan jalan, semuanya ternyata bisa terlewati.

“Assalamualaikum!!!”

Lamunan gw buyar.

Bokap Nyokap gw baru aja balik. Mereka baru main Voli dengan para tetangga di lapangan belakang. Gw merhatiin mereka berdua yang cekikikan kayak temen. Gw ngeliatin mereka yang dorong-dorongan berebutan botol aqua. Gw cuman geleng-geleng kepala.
Ah, mungkin itu cuma cinta. Karena cinta nggak butuh aksara.[]

Perempuan di Sudut Waktu

Sore-sore, dikantor. Gw lagi riweuh banget ngedit tabel performance management di server unix ‘favourite’ gw. Baru ngetik beberapa baris, mata gw tiba-tiba ngeblur. Senja datang. Angin mendesau parau. Pasir-pasir beterbangan, berputar-putar.

Serasa kayak butterfly effect, gw balik ke masa lalu. Hari dimana gw nerima mail dari sobat gw, Gilang:

Yum,
setelah membaca blog lo,
gue makin yakin kalo gue harus ketemu sama lo..

secara gue sekarang lagi berada dalam hubungan yang bikin gue nggak tenang.
nggak gue banget deh yoem, hehe..

udah gitu kata-katanya sama banget sama (blog) lo lagi,
dia bilang ‘kamu kok maksa? aku nggak suka dipaksa’
ah bajingan..

gue berasa restless selain berasa sendirian..
tapi gue ngerasa baik baik aja,

karna kata lo kan”lebih baik galau daripada menyerah dalam kemunafikan”
ah gila lo, gue kangen berat sama lo..

gue harus cerita banyak nih sama lo,
secara banyak hal yang patut gue pertanyakan di hidup gue..
ah panjang lebar deh ceritanya..

banyak banget nih yang gue rasain,
lo tengokin gue ke surabaya dong yoem, weekend gitu,
ntar nginep di kos aja..

sebenernya lately gue agak agak desperate sih,
kangen banget nih sama lo..
ayo ayo lo kesini ya..

-Glg-

Nggak kerasa mata gw berkaca-kaca. Anjrit, Gw juga kangen banget ama ni orang.

Dalam dunia kami yang bergerak begitu cepat dan tanpa maaf. Gw dan Gilang sangat merindukan kebekuan abadi. Dimana kita bergulat dalam sepi sendiri dan berangkulan dengan malam yg tenang, ditemani segelas kopi, duduk berpelukan dan sama-sama menjelajah bintang.

Kami berdua, typical manusia modern yang terikat dunia konservatif masa lalu. Kami memang dua wanita sophisticated yang dihadapkan pada pilihan ruwet. Saat ini, hampir semua realitas yang ada, bisa dengan mudah kami raih, tetapi realitas itu melahirkan anomali tatkala tekanan lain mematikan rasionalitas.

Terdengar sedikit utopis but that’s why we’re so simple but keep sophisticated.

Semua laki-laki yang pernah “mengarungi” hidup bersama kami. Terlalu menganggap kami superior, pemberontak, dan tak mau diatur. Padahal kenyataannya, dalam setiap hubungan yang pernah kami jalin. Semua orang menganggap gw dan Gilang adalah dua wanita gila yang mau melakukan apapun demi cinta.

Kami berdua berdarah Jawa (tanpa bermaksut untuk rasialis). Sehingga aliran “dewi sembada” dalam diri kami sudah begitu kental. Mungkin memang sudah digariskan begitu. Tapi kenapa semua laki-laki itu (yang pernah melalui waktu bersama kami), dengan mudahnya selalu berkata tentang segala busuknya superioritas kami?

Ada apa dengan dunia? Dunia tiba-tiba saja menjadi tempat paling sunyi dan asing buat kami.
Masih terngiang beberapa laki-laki melayangkan statement: “Perempuan modern adalah sesuatu yang outwords. Kami sebagai laki-laki tidak mau diinjak-injak begitu saja.”
Miris bergerimis dengernya.

Dalam emosi kami yang begitu rungkut dan padat. Kami cuma mau berkata jika celah perspektif feminisme bukan dilihat dari tempat. Lalu apa salahnya menjadi sesuatu yang berbeda? Apa salahnya menjadi seorang perempuan seperti gw dan Gilang? Toh modernisme itu nggak akan begitu saja mematikan kodrat kami sebagai seorang perempuan.

Itu semua hanya sebuah pencapaian kami. Pencapaian energi maskulin kami para perempuan untuk keluar dari typicalitas. Dalam batas emosi itu, gw ditarik kembali lagi ke masa sekarang, menemani beberapa baris command unix yang tadi gw ketik. Namun, bersama garis cursor yang berkedap kedip menunggu. Gw masih termangu dan menggugu.

Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:

Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan,
dan Jika Anda mempersiapkannya dengan baik,
Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik.

Ah, gw nggak sabar ingin menjadi seorang ibu. So I can tell a bed time story to my future son. Anakku Lelakiku tersayang, Cintailah wanita karena Allah, jemput dia di tempat yang Allah sukai, nikahilah dia yang tegar yang berbakti. Berusahalah sekuat tenaga untuk tidak melihat segala kekurangannya. Berusahalah pula untuk membahagiakannya. Cintai dia karena Allah, hanya karena Allah. Tak ada yang lain.[]

Kopi Pahit

Hidup adalah tentang secangkir kopi pahit
Semakin pahit semakin enak rasanya,
Jika manis maka hambar jadinya..

Hidup adalah tentang secangkir kopi pahit
Memang pahit, dan hanya dapat kamu nikmati sendiri..[]

LPM: Masyarakat Jurnalistik

Beberapa malam kemarin, gw termenung. Lumayan lama, bahkan butiran detiknya bergulir tanpa gw ingat. Tau-tau, udah pagi aja. Malemnya gw baru chat sama Firza, temen Masjur (LPM kampus) dulu. Kata-kata dia malem itu bener-bener ngajak gw bernostalgila. Dari sekedar iseng nge BUzz, Nanya kabar, nanya koleksi Jazz Chill atau Lounge yang dia punya, eh, malah jadi ngobrolin masa lalu.
Masa lalu yang gila-gilaan banget di kampus.

Dari hanya sekedar nongkrong di gedung I. Melirik Pujaan hati, para senior aktivis kampus yang tiap detail kata-kata mereka gw catat dan gw rangkum dengan baik di note murahan gw. Lalu dijejali romantika murahan (puisi-puisi) senior LPM yang memendam cinta pada anak UKM sebelah. Belum lagi acara-acara diskusi malam (yang mirip rapat PKI) sambil keroncongan pake bass betot super gedenya Mas Ari.

Miara anjing putih lucu bersama Mas Kru yang kalo nggak salah nama anjingnya Rasyim, persis kaya nama puket III kami waktu itu. Pernah juga gw terpaksa jadi penyiar siaran Radio Revolta yang bikin kaki gw keseleo gara-gara buru-buru mo ngejar schedule.

Atau melakukan aktifitas dan kreasi malam hari di gedung kuliah kalo kita ingin protes atau sekedar bersuara. Paginya sudah pasti bikin stress orang-orang yang lalu lalang. Atau kadang juga ngebahas resensi Buku dan Film sama Mas Wahyu yang disudahi dengan latihan biola bareng sama Jimbo. Sampai pernah juga bikin acara nonton film indie gratis sama Firza. Atau bikin film beneran sama Icha, Bimo n mas Tirta.

Yang paling berkesan adalah acara ritual memandangi matahari senja diatas student centre (yang ini sendirian saja.. terkadang ditemani my Fariz).

Ah, Masjur.

Masjur yang kental dengan filosofi kopinya jauh sebelum dewi lestari menerbitkan novel berjudul sama. Masjur.. dengan iringan denting piano mas ody dan mas klentheng yang menghibur gw saat transisi identitas gw kambuh. Masjur.. dengan puisi-puisi mas Lilik dan mas Tirta yang bikin gw gemes dan bersemangat untuk nendangin mereka.

Gara-gara itu, gw yang biasa-biasa ini dibilang fenomenal tanpa harus menciptakan goyang ngebor ala inul. Gw jadi senyum-senyum sendiri waktu gw di kejar-kejar pake golok ama anak ’97, gara-gara sebait tulisan ekstrim. Atau gw juga pernah dimusuhin ama Bang Eddy, senior di himpunan, gara-gara karikatur-karikatur gw yang bikin gatel. Atau gw pernah diancam bakal dipreteli gara-gara mau ngebongkar skandal terselubung antara mahasiswi kampus gw dengan staff gedung dewa di kampus. Atau pernah juga di hujat sama anak masjid kampus, gara-gara bikin tulisan tentang betapa overactingnya mereka dalam hal mengurusi kehidupan pribadi kader-kadernya, bahkan sampai urusan pakai baru, ritual jodoh, sampai cara bergaul.

Gw kangen sama semua orang gila itu. Orang-orang gila yang bikin hidup gw jadi nggak datar, flat, dan absurd seperti perkiraan Bimo. Kami memang udah misah-misah. Kadang masih suka ngumpul di Plasa Semanggi. Cuma sekedar minum kopi, dan bercerita basa-basi tentang kilas hidup yang dijalani saat ini.[]

My Kanjeng Pops

Gw punya bokap, Orangnya rada nyentrik. Gw belajar banyak hal dari bokap. Dari mulai ngaji (semua aliran, dari Muawiyyah, Sunni, Syiah), filsafat baik yang jawa ataupun mistik. Misalnya aja ya, gw pernah semaleman mbahas arti kata: khusuk. Kata bokap, khusuk itu melihat tapi buta. Mendengar tapi tidak mendengar, dan membiarkan raga lebur menjadi serpihan energi. In a more sophisticated words: being not exist but full of concious. Gw sumpah dah, kaga begitu paham. Tapi gw ngerti jika kata-kata itu penuh kebaikan. Dan sarat dengan ilmu.

Tapi bukan itu inti ceritanya.

Pada suatu hari, bokap-nya temen gw, Yudi, meninggal. Nggak lama, nggak sampe sebulan, Ibunya Yudi juga meninggal. Tragic. Well, that’s life.
Sebusuk-busuknya masalah. Kagak ada yang lebih busuk dari keilangan orang tua. Paitnya lagi, Yudi itu anak tunggal, sama kaya gw. Woanjrit! berarti gw, someday, bakal ngalamin apa yang dia alamin sekarang.

(_ _);

Kebetulan malemnya, abis pulang ngantor, gw nongkrong dulu ama bokap gw di seputaran Hang Lekir. Biasa, bokap suka kepengen ngerokok. Kaga tau kenapa, gw dengan polos (atau goblok) bilang ke bokap: “Papa, aku nggak mau papa mati..”

Gw sama bokap emang udah kaya pren. Kita emang terbuka banget satu sama lain. Jadi gw nggak pernah ngejaga omongan untuk curhat atau nggak enakeun ke bokap. Ditanya kayak gitu, bokap gw cuma ngisep rokok dalem-dalem, sambil senyum-senyum.

“Mati.. mati.. emang aku kucing piaraanmu..”

Ngeliat gelagat bokap yang nggak serius, gw berusahan negesin sekali lagi ke bokap, “Pa.. aku bener-bener nggak mau papa mati..”

Bokap gw dengan santai cuma ngelirik. “Kematian itu hal yang pasti, nduk, Ngga ada yang bisa ngelawan.”

A common answer: singkat, padat, cermat.

Nggak lama, bokap matiin rokoknya yang emang dah abis itu, “Kalau kamu yakin kamu beriman sekaligus percaya sama semua ketentuan Tuhan, kamu HARUS mulai belajar menerima hal yang PASTI itu, mulai dari SEKARANG.” Dan cerita itupun diakhiri oleh jari telunjuk bokap (yang dipake buat negesin kata “SEKARANG”) mendarat dengan mulus dijidat gw.

Itulah bokap gw. Bokap yang setiap malem gw doain jadi immortal kayak si “highlander” jagoan gw jaman SD itu. Gw gila?! Emberan.

Death is a certain thing, kematian adalah hal yang pasti, dan kagak bisa ditawar lagi. Emang iya sih, nggak hanya bokap, semua pasti punya masa dan punya umur masing-masing. Well, kayaknya bakalan sulit banget buat gw untuk nerima kenyataan itu. Ya gw berharap, semoga saat itu tiba, ada seseorang yang menguatkan gw untuk menerima, bahwa orang tua gw dipanggil karena memang disayang Allah SWT.[]