Cara Mengkritik

Masih jam kantor. Gw usap-usap ujung jejari tangan gw. Jari gw pada lecet-lecet dan nyut-nyutan gara-gara motongin (setengah meteran) satu rol kabel CAT-5, trus di krempling satu-satu ke RJ45. Kalo satu rol ada sekitar 50 meter, gw ngerjain 100 kabel LAN berarti, duh.

Well, sebenernya asyik juga sih, secara gw terkadang suka mendadak autis. Sekalian lah dalam rangka nostalgia juga, ngerjain tugas prakarya kayak jaman SD.

Gw usap lagi pelan-pelan. Yah ujung jari gw jadi.. kasar. Hm, gw berpikir gila sejenak, amatlah sungguh malang laki-laki yang nanti seumur hidup menggandeng tangan gw, yang gw raba wajahnya saat dia lagi demam atau meriang, yang gw sentuh bahunya perlahan dengan maksut menguatkan untuk bangkit lalu menjalani hidup.

Ya tentu karena apa yang dia harapkan dari kecil (believe me, men always do), dapet seorang putri jelita yang tangannya halus putih gemulai bak sutra, eh ini malah dapet tangan gw: kasar-kasar dan rada gelap lagi. Hahaha.

Lagi asik-asik becanda ama pikiran gw sendiri, eh ponsel gw jumpalitan. Satu message di inbox. Hm, gw senyum senyum aja bacanya. Dari seorang teman, teman menggila gw (sebut saja mas Alang). Oh, rupanya mas Alang rada protes soal penilaian gw terhadap foto beliau di salah satu situs fotografi tanah air.

Sambil nyengir, gw taro lagi ponsel gw disamping tumpukan configurasi file yang sudah selesai gw kerjakan. .

Hidup ini tercermin dalam lingkaran dualisme, baik secara kebendaan ataupun secara sifat. Namun, manusia cenderung hanya mau menerima separuh dari lingkaran tersebut. Menerima kelahiran, tapi tidak kematian, menerima kemenangan tanpa menoleh pada kegagalan, meraih glamoritas dunia, bukan akhirat. Padahal the true liberation itself comes from appreciating the whole cycle (fully!). Dan bukan hanya sekedar berpegang pada separuh bagian, dimana kita merasa cocok dan nyaman disitu.

Jadi inget, sekitar hampir seminggu lalu, gw pernah bersitegang dengan seorang om-om, karena umurnya 44 tahun katanya. Gara-gara debat pada salah satu forum diskusi. Dia marah sekali dengan kritikan gw. Sampai dia perlu repot-repot mengirim mail dan menjelaskan panjang lebar tentang dirinya. Berasa HRD aja gw, pakek nerima CV segala. Hehehe.

Beliau menjelaskan nama, asal-usul, umur, profesi, tempat bekerja, jabatan, banyak anak buah yang dimiliki untuk saat ini, keadaan keluarga, anak, istri, serta nana dan nini yang lain. Gw cuma mengelus dada. Sambil nyengir tentunya.

Heran aja gw. Ternyata selama ini seorang manusia belum boleh dinilai dari cara berpikirnya tanpa melibatkan atribut yang melekat didirinya, dihargai dari ketenangan dan kebijaksanaan jiwanya bukan dari jabatan serta banyak anak buat yang dia miliki. Well, it¡¦s so much oldies sekali man! (bukan konservatif, karena ada kalanya konservatif itu baik).

Emosi timbul ketika seseorang mengkritik kita, mengacuhkan kita, menyepelekan kita atas sesuatu hal yang kita peroleh, dan diluar itu, sebenarnya kita nggak setuju, kita malah dengan angkuhnya beranggapan jika kita berhak mendapatkan lebih dari itu. Dan parahnya, orang kadang suke ketlisep (misuderstand) tentang pengertian mengkritik dan menghujat. Mengkritik itu walaupun pahit tapi tetap berbuah solusi. Tapi kalau menghujat, ya hanya berkoar-koar tanpa solusi, bahkan tanpa mengikuti norma-norma serta etika yang jelas.

Dari semula, kita memang bermasyarakat namun kurang memperhatikan estetika, karena kita tak pernah dididik untuk memiliki taste yang baik dalam bergaul, tidak dididik untuk beradab, tidak dididik untuk memperhatikan martabat, derajat, serta kemuliaan sebagai manusia.

Memang sih, gw akui, within each emotion there is always an element of judgement. Selalu tetap ada yang dinilai. Misalnya ada seseorang yang berpendapat: “gw kan temen lo, maka lo nggak boleh ngeritik gw”. Nggak gitu brur.

Suatu hari, gw juga pernah berantem sama Zikhry di subway. Gara-gara menurut Zik, gw selalu berkelakuan baik sama orang karena ada ekpektasi lebih. Maksutnya gini, gw baik sama orang, dan (gw berekspektasi) orang lain juga harus baik sama gw, tapi kalo pada kenyataannya orang itu nggak baik sama gw, ya gw bakal kecewa, dan itu menurut Zik nggak worthed aja, mending cuek, orang mau ngapain juga terserah.

Trus pada end line kalimatnya, klise, kata-kata yang sangat typical keluar dari seorag Zikhry, sebuah iklan: “kalo gw sih..”. I don’t care kalo elu. This is me, this is who I am.

Akhirnya saat itu dengan marah gw tereak “Lo sinis banget ya jadi orang?!”. Walaupun padahal tadinya gw hampir menerima kritikan Zik. Kalo aja dia nggak iklan.

Ah, mungkin Tuhan nggak (atu belum) mengizinkan gw untuk jadi orang cuek kayak Zik. Kami berdua sama-sama Aries, mungkin karena itu kerasnya sama. Yah tapi walaupun besoknya tetep biasa lagi, gosip-gosip lagi. Namanya kawan. Yasyuddu ba’dhuhum ba’dho, saling memperkuat satu sama lain. Kalau kata Recto Verso-nya Dee, ada keindahan di balik penderitaan, ada kegembiraan di balik penderitaan, semuanya ada dua sisi. Secara cuman Zik juga temen gw disini ya akhirnya ujung-ujungnya, walau manyun-manyun gw tetep baekan sama dia.

Balik lagi ke urusan emosi dan kritik tadi. Intinya, adalah diri kita sendiri sebagai makhluk, hanya sebatas makhluk, yang menciptakan ketakutan itu sendiri. Ketakutan terhadap neraka, surga, kekalahan, umur, kekecewaan, sakit hati, kebenaran, kejujuran. Seperti yang pernah gw diskusikan kepada seorang guru yang gw anggap ayah, bahwa jujur itu sulit, tapi menerima sebuah kejujuran itu jauh lebih sulit.

Apapun yang terjadi, kalau kita menciptakan destruksi, artinya jika kita melakukan perbuatan yang kita yakini benar, tapi dengan toriqoh, kafiyah, siasah, atau cara, yang ternyata menciptakan destruksi, itu tetap tidak lulus dalam teori kesalehan sosial. Menimbang definisi dari DR.H.Mohammad Sobary, kesalehan sosial adalah ketika perbuatan baik didalam ide dan gagasan kita itu baik serta diaplikasikan secara tidak menimbulkan masalah sosial.

Jadi jika kita baik, tapi dalam penerapannya menimbulkan satu masalah, ada orang yang menderita karena kebaikan kita, menjadi tidak sholeh. Sholeh adalah kita kebaikan kita lulus menjadi kemaslahatan sosial, rahmatan lil alamin untuk orang banyak.

Semoga lain kali kita semua dianugerahkan kesolehan serta kearifan budaya, sehingga kita mampu untuk mengkritik orang secara baik, lalu orang yang dikritik malah akan berterimakasih dan minta nambah (demi kebaikan dirinya sendiri). Amin.[]

Lelaki dan Kedangkalan Pikiran

Beberapa waktu kemarin gw mulai berani untuk membuka diri perihal memulai sebuah relationship. Tapi berangsur-angsur (untuk sekarang) keterbukaan itu kok rasanya pengen gw tutup lagi. Gw jadi parno ajeh gara-gara si Zikhry.

Kemarin di subway, Zikhry cerita, katanya kalo mau nikah itu, kita harus cek kesehatan. Gw cuma diem aja, gw yakin pasti cerita si Zikhry ini kelanjutannya aneh-aneh. Akhirnya bener dugaan gw, Zik cerita kalo temennya dia (sebut saja Bang Udel) nyaranin, kalo misalnya elo mau nikah, supaya nggak ada rasa was-was, penyesalan, penasaran, atau apa lah sebelum nikah, harus diadakan dialog terbuka untuk saling jujur.

Paling nggak alur dialognya ya seputar si cewek masih perawan atau nggak, si cowok udah pernah begituan belum, punya sejarah penyakit apa aja. Ya intinya, demi masa depan cemerlang gitu loh. Gw menganggap semua itu merupakan hal yang wajar, secara emang hidup gw lurus dan normal-normal aja, ya dialog kayak gini nggak jadi masalah buat gw. Ya ngga?

Tapi yang jadi concern mendasar gw (bahasa simple: bikin gw senewen) adalah sewaktu Bang Udel berstatement:

“Semisal dialog itu nggak berhasil, dan you masih belum percaya apakah tu calon bini lo jujur apa kaga, ya lo harus cek langsung, kalo perlu (ekstrimnya) lo suruh dia bugil (tuing tuing tuing). Supaya lo kagak kaya beli kucing dalem karung. Siapa tau bini lo toketnya gede sebelah atau bulu ketekan. Wajarlah, hanya sebatas cek up ala militer gitu. Ibaratnya kan, lo mau beli barang buat dipake seumur hidup, kalo tau-tau lo dapet barang apkiran hayo?! ntar bakal nyesel dah lu.”

Anjrit. Gw beneran tersinggung kali ini. For God’s sake, apa maksutnya barang apkiran? Barang second grade? Barang kw-2? Apa kabarnya kalo cewek itu juga manusia? Punya perasaan, nalar, naluri dan juga emosi. Edan cowok-cowok jaman sekarang!

“Tapi lo pikir lagi deh rum, bener juga kan? Loe realistis aja deh, kalo misalnya calon lo itu nggak perfect, gimana?” Kalimat terakhir dari Zikhry itu bener-bener nampol. Weh, dunia kayanya kejam banget terhadap kaum perempuan. Kenapa jadi kami yang musti telanjang? Kenapa juga jadi kami yang harus dites dan dibuktikan?

Kalo misalnya abis disuruh bugil ternyata nggak cocok? Tetep direject? Atau nggak jadi beli? Muke gile. Serius dah, sakit tau nggak mendengar kenyataan kalo ternyata jenis cowok kayak Bang Udel masih berkeliaran dimana-mana. Nyali gw jadi ciut lagi. Secara gw emang kagak percayaan ama cowok anaknya. Hilang deh semua khayalan gila gw about how we still can fall in love, but in a free way, even without any fear of being rejected.

Trus gw tanya ke Zikhry, kalo misalnya pacarnya dia sekarang memang apkir, alias kaga perawan, gimana? Zikhry njawab sambil cengar-cengir: “ya kan dia udah berani jujur. Mending jujur kayak gitu, setidaknya ya gw masih bisa terima, gw anggap itu karma gw ajah.”

Gw potong: “Kok gitu?”

“Ya iyalah, daripada gw menemukan ketidaksempurnaan itu sendiri? Hayoh, lebih sakit ati lah gw. Kalo udah gitu mah, paling ekstrimnya, gw.. kawin lagi..”

Hm, jadi kangen Zuber, laki-laki ini dulu selalu mensemangati gw kalo gw lagi mellow, dan selalu protes kalo gw selalu ngedumel soal kelakuan cowok yang nana dan nini. Kalo udah mentok, si zuber biasanya bilang: “kalo mau diterima apa adanya, ya harus bisa menerima apa adanya”. Dalem banget tuh kalimat.

Hm, hari dimana Zikhry ketawa-ketawa menceritakan semua hal tadi emang dah lama lewat. Tapi masih ada berasa pilu aja gw. Daripada manyun puasa-puasa, gw memutuskan untuk jalan-jalan sendiri pas wiken. Eh pas banget baru berapa meter dari kosan, hujan, mana gw nggak bawa payung, yah nasip.

Udah hampir seperempat jam gw berdiri mandangin hujan. Hujan kali ini terlalu basah untuk ditambah air mata. Yet for a serious seeker seperti gw, inspiration is everything. Jadi, mau bagaimanapun berasa gundah hati ini, tetap harus ada hikmah yang diambil.

Well, reality is not necessarily lethal, tetapi (at least) kudu mampu membuat kita berpikir satu dua kali untuk lebih waspada terhadap hidup dan tetep kembali pada jalur shirotol mustaqim (jalan yang lurus). Toh sekalipun misalnya jalan kita nggak lurus, Tuhan yang Maha Baik pasti akan tetap mengizinkan kita untuk berputar.

Kesempurnaan itu sendiri merupakan suatu identitas. Dan identitas tidak boleh dibentuk, identitas harus selalu terbentuk dari dalam. Karena ketika identitas hanya merupakan susunan orisinalitas yang notabenenya dibentuk maka kesempurnaan hanya akan menjadi kosmetik.

Lain halnya jika kesempurnaan itu terbentuk dari dalam, hal itu akan menjadi identitas yang matang. Dan identitas yang matang adalah identitas yang berguna bagi penyandangnya.

Like Buddha ever said once: Do not mingle (bercampur, bergaul), because you have different intentions, therefore your views are different and your actions will of course be different. Walah, mbuh lah. Ila allahi marji’ukum – Kepada Allah kembalimu semuanya.

Well, thinking that someone is beautiful is only a concept. But have you ever thought: what is beauty? We may say that it is in the eye of the beholder. Nah makanya didalam geraian rintik hujan, gw sedikitnya mulai dapet pencerahan, jika mungkin, someday, somehow, gw bakal nemu cowok yang cinta dan nerima apa adanya gw, tanpa harus nyuruh gw bugil. Jadi gw semestinya nggak boleh jiper cuman gara-gara Zikhry cerita hal konyol beginian.

These kind of problems are just like the sky, which has no end in space. Bisa jadi ini Cuma sekedar perihal yang ingin disampaikan Tuhan melalui bala tentara langitnya ke gw, bahwa sesungguhnya the real source of fear is ‘not knowing’. Kalo kata bokap gw: “Wes nrimo ae nduk, jo keakehan mikir, uwong ki wes ono dalane masing-masing”.[]

Tentang Sedekah

Semenjak puasa, gw jadi Narkoleptik (suka ngantuk berlebih kalo siang), dan percayalah, saat itu gw pengen bet bales dendam, jadi nanti abis teraweh gw bertekad mau langsung molor. Tapi pas udah jam abis teraweh, ngantuknya malah ilang. Asem. Ngajak berantem banget kan??

Tapi memang kalau malam, gw jadi jarang ngantuk. Mungkin karena pikiran gw suka mengambang kemana-mana, terlalu liar..! (Jangan mesum loh).

Coba deh lo bayangin, gimana gw kaga mikir? Ternyata masih aja ada orang macem gini. Orang yang dengan sangat entengnya mampu ngasih tips 50 dollar ke doorman untuk ngebukain pintu, sementara diwaktu yang lain orang ini masih maksa nawar kaos dipedagang kaki lima sampe abis-abisan, padahal kaos itu harganya cuma 15 dollar. Gila man! Itu seorang pedagang kaki lima yang ibaratnya banting tulang siang malem buat ngasih makan anak dan keluarganya gitu loh.

Well, gw tau, semua orang itu nggak sama. Tapi mbok ya’o.

Gw tanya sama temen sekantor gw, dengan harapan, mungkin cuma orang tadi aja yang begitu, “elo kalo ada orang minta-minta, lo kasih duit nggak dul”. Temen gw njawab “ya nggak lah, kebiasaan, duit tuh nyarinya pake keringet, pake kerja keras, enak aje”.

Lalu beberapa hari selanjutnya, gw tanya lagi, “kalo misalnya dia nggak ada kerjaan lain selain ngemis, lo masih nggak mau ngasih juga?”. Bisa ditebak, temen gw jawab “nggak lah!”.

Lalu beberapa hari setelah hari yang tadi, gw tanya lagi, “kalo misalnya dia bener-bener butuh, lo masih nggak mau ngasih juga?”. Temen gw jawab “nggak”.

Jika kita ingin pintu rezeki atas kita terbuka, maka kita harus membuka pintu rezeki dahulu bagi orang lain. Itu pepatah paling kuno yang selalu gw pegang. Bagaimana kamu mau memuliakan dirimu sendiri, jika kamu belum mampu untuk ikhlas bersedekah demi memuliakan orang lain?

Waktu kapan hari, di suatu ceramah, ustad gw cerita, sebut saja ada dua orang bernama Joni dan Paino. Dua orang ini ketemu sama pengamen jalanan, masih anak-anak. Karena kasihan, Joni merogoh sakunya, tapi Paino menahan tangan Joni.

Paino: “Aduh Jon, Plis deh, jangan daaah dikasih duit anak kecil itu. Nggak mendidik tauk!”

Joni: ” (menghela nafas sebel) Saya ndak bisa mendidik, bisanya ngasih!” Joni lantas memberikan uang kepada pengemis tadi, sembari melirik Paino, “Daripada ngasih enggak, mendidik juga enggak….”. Horotoyokono![]

Kesamaan Sosial

Weekend minggu lalu, seperti biasa, gw menjelajahi kota saat pagi menjelang siang. Ini nggak sekali-dua kali gw mampir ke bioskop paling rame di Mongkok (bukan Mangkok lho ya?). Tapi ya, waduw, baru sekali ini gw kedapetan apes. Haha A-P-E-S.

Pas lagi antri masuk ke bioskop (disini beli tiket diluar, nanti baru masuk ke dalem untuk nyari studionya). Tiba tiba aja gituh, ada pria tua, mungkin umurnya sekitar 45-50 taun lah. Ngeliatin gw, sinis banged (pake ‘d’ biar mantebh), dari ujung jempol kaki sampe ujung jidat. Trus tiba-tiba aja, dia marah-marah.

Karena marah-marahnya pake bahasa alien, ya gw lempeng dot kom. Mana gw tau artinya apa. Rupanya, semakin gw lempeng, dia makin marah. Lama-lama do’i sadar, gw kagak ngaruh kalo dimarahin pake bahasa die, lah emang gw ngga ngerti siy. So, akhirnya, dia marah-marah pake bahasa Inggris.

“Look people, look at her (nunjuk ke gw), is she not feeling hot? This summer! What a moron!”. MORON. Gw cuman diem bin mingkem. Ngeliat respon gw yang datar, dia makin heboh dong.

“Get cat over your tongue, kun yant? You are not supposed to scare people with your clothing style!”. KUN YANT = PEMBOKAT. Gw baru sadar, dia nggak suka liat gw panas-panas gini (summer) pake jilbab. Gw mah tetep cuek. Ndablegh aja.

Nah puncaknya pas mau masuk kedalem ruangan bioskop, dia (sengaja) nabrak pundak kanan gw dari belakang, kenceng banget sambil bilang: “Get move on!! You’re fvcking freak!!”. FVCKING FREAK. Masya Alloh. Mulai gerah juga gw.

Gw menghentikan langkah gw. Entahlah, yang bisa gw lakukan cuma istighfar. Berasa pasrah aja.

Gw sempet nangis pas udah duduk di korsi bioskop. Well, belakangan ini beban dipundak gw lagi banyak emang sih. Temen-temen gw lagi pada menjauh, disini gw sendiri, dan nggak ada satu orangpun yang tanya kabar gw. Yah jadi tambah mellow gituh. Saat itu gw sempet mbatin: “Apa dosa gw dah?”.

Tapi trus gw berasa di TAMPAR lagi. Gw keingetan ama nasehat temen gw, Isro: “Kalau sedang diuji, janganlah menguji”. Gw ini lagi diuji, ngapain juga gw nantangin Tuhan balik: “Apa dosa gw ya, Tuhan”.

Lah, dosa gw kan emang udah banyak. Ngapain pake nanya? Sungguh Dodol. Makanya begitu inget lagi diuji, sedikit demi sedikit, gw mulai terhibur dan nggak nangis lagi.

(Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’in – Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan).

Trus nggak lama, mungkin 1-2 hari setelah kejadian itu, gw dapet pesen dari teman, sebut aja Mas’ud. Mas’ud curhat: “Yum, gw baru dapet treatment gak enak dari temen seruangan, ini orang yg sama yang memperlakukan gw sebagai second grade creature, just because I am ugly..”

Hm..Terserah lo mau percaya apa nggak, tapi bagi gw, Mas’ud ini nggak jelek. He’s a very special and unique human being. So special that I always admire how he’s speaking, they way he’s thinking. Well, his ideas is always been amazed me!

Why most people that have a different way of style, have different way of how they see, listen and understand about something were always considered as a freak?. We are so running out the appreciation of others for being special.

Lo liat deh, liat semua orang. Semua orang sekarang berusaha keras untuk sama. Labeled by Kenzo, LV, Gucci, Armani.

Kalo tetangga punya sejumlah x benda, lo harus punya, al least, x+1 benda seperti mereka.

Kalo temen lu berkata A, at least lo harus punya tendensi 75% setuju akan A (or else lo akan di marginalisasi, dikacangin, dianggep aneh, nggak ditegor lagi, baik langsung ataupun lewat YM).

Kalo sekarang summer and semua orang pake baju kurang bahan, lo juga harus pake bikini?? Atau? Lo akan dibilang Moron a.k.a Fvcking freak kaya gw.

Kalo lo nggak rapih, necis, bergaya borjuis kaya komunitas lo, lo bakal dibilang secondary creature, dibilang ugly. Kaya si Mas’ud.

Plis people, Lo melakukan sesuatu hal, bukan karena hal tersebut menyenangkan buat Lo, ataupun bukan karena secara politis memang lo harus gitu. Apa sih? Cuma demi sebait kata: S-A-M-A? Lalu lo nggak boleh being unique, dan lo nggak boleh look special.

WTF?

Ini semua simbol kesombongan. Dignity yang gw rasa nggak perlu ditonjolkan.

Kenapa sih orang nggak boleh berbeda? Kenapa kita harus meributkan perbedaan? Kenapa orang selalu gatel kalo ngeliat sesuatu yang beda? Kenapa orang jadi emosi kalo ada golongan yang lain yang nggak sama ama dia? Kenapa semua harus sama?

KENAPA?

Gw rasa bloody-crusade war which costing thousands of lives, juga terjadi karena adanya enforcing for the different visions of morality. Nah tetepkan? Gara-gara PERBEDAAN.

(sigh)

May God have mercy on us.

Gw pernah dengerin ceramah pendeta Buddha, pendeta itu punya cerita sederhana tentang teh. Katanya: Bagi kita, Tea is only leaves in a hot water. Tapi bagi pecinta teh yang betul-betul fanatik, ada teh yang dibuat dengan komposisi campuran khusus dan diolah dengan sangat special. Campuran special itu dikasih label: Iron Dragon. Trus dijual dengan harga menggila untuk sebungkus kecil saja. So, bagi para fanatik teh Iron Dragon, tea is not about a leaves in a hot water.

Kesimpulan: It is not the appearance that binds you, it’s the attachment to the appearance that binds you.

Jadi, janganlah menilai seseorang sebelah mata hanya karena dia berbeda. Pahamilah, mungkin dia punya alasan untuk berbeda. Bukan lantas kita menjadi apatis dengan nggak perduli atau lantas nggak protes akan perbedaan dia, bukan. Tapi justru karena kita menghargai perbedaan itu.

Pendeta itu juga bilang: When the self is full of pride, it manifests in countless ways: a narrow-mindedness, racism, fragility, fear of rejection, fear of getting hurt, insensitivity, etc. Semua keburukan itu bersumber dari ketidakpedulian.

Dan dengan diam dan berusaha mengerti, bukan berarti tak perduli. Karena ignorance is simply about not knowing the real facts, having the facts wrong or having incomplete knowledge.

Pendeta ini bijak banget. Gw ampe nggak perduli gw diliatin orang-orang karena gw satu-satunya muslim disitu.

Gw suka duduk aja sendirian di taman, memikirkan banyak hal. Ada kalanya gw berpikir, secara fundamental, people really like to have freedom only for theirselves but not for others. Padahal teorinya, as we liberate from our own fear, our presence will automatically liberate others. Yah namun, bagaimanapun, halah, namanya juga manusia.

Sebagai contoh, kita bisa aja marah, sangat marah, hanya karena: kita marah sedangkan orang lain nggak. Dan lo berpikir, orang lain itu harusnya marah juga.

Atau contoh lain, ada yang berpikir: “Arum tuh susah banget sih dibilangin, dasar kepala batu”. Sementara disisi lain, sebenernya gw bukan susah dibilangin, tapi gw lagi benar-benar berpikir, apakah dengan mengikuti pendapat lo, gw akan menyenangkan hati lo, padahal gw sendiri berbohong tentang apa yang sebenernya gw rasain.

Gw nggak mau lah jadi pembohong hanya demi kata: SAMA, Se-ide, nurut, dll. Called me: EXTREMELY impatient, selfish, short fuse, egotistical or whatever! (kata ramalan zodiak sih, gw gituh :p)

See? Orang lebih mau nerima kebohongan (atau hal yang SAMA ama pikiran dia) dibanding menerima kenyataan yang sebenarnya.

I am laughing so hard. Bukan menertawakan orang lain itu. Tapi I found that it’s really true, that emotions sometimes can be very childish. (I give another example: you might be upset one day because your partner is too possesive and the next day because he¡¦s not possesive enough. See? It just damn confusing, right?)

Gw berusaha keras menemukan integritas pribadi gw, karena melalui penelusuran karakter asli kita (lets called it integritas pribadi), kita bakal mampu untuk hidup sesuai dengan apa yang kita ketahui, apa yang kita nyatakan, dan apa yang kita lakukan.

Berkata benar, menepati janji, memberi teladan tentang apa yang kita yakini, dan memperlakukan orang lain dengan adil dan murah hati adalah beberapa langkah kongkritnya. Mungkin gw belum bisa sesempurna itu, setidaknya gw berusaha (sedang berusaha).

Mengambil kutipan Jack Welch: “Rasa percaya diri, berterus terang, dan kemauan sungguh-sungguh untuk menghadapi kenyataan, meskipun hal tersebut sangat menyakitkan adalah inti dari hidup dengan sadar”.[]

Menikah dan Keuzuran

Gw punya best friend (temen SMP), cewek, namanya Dara. Si Dara ini sering berkeluh kesah di status YM soal LDR (Long Distance Relationship)-nya dia. Gw liat Dara khawatir gitu sama hubungan dia ama pacarnya, padahal si pangeran ganteng dan baik hati itu udah minta Dara untuk nunggu 3 tahun lagi aja, karena si cowok ini masih ada di New York sekarang.

Well, segala sesuatu emang nggak pasti sih, tapi bagi gw, status si Dara udah lebih dari cukup. Kategori AMAN-lah. Nggak kayak gw, udah jomblo, kronis pula. Harusnya gw yang kebat kebit. Hahaha.

Ngomongin soal kawin gini, semalem gw yang sedang homesick dan sensitip serta suka marah-marah ini, ngakak sejeder-jedernya, gara-gara disuruh kawin.

Jadi ada temen, namanya Ipung. Nah nggak ada angin nggak ada ujan, si Ipung tiba-tiba aja nyuruh gw kawin, dengan alasan: ‘umur lo udah uzur!’

Jah, gw dibilang uzur. (~..~)v

Gw sih nimpalin sambil ngegaring aja, sampe pada satu moment si Ipung bilang, “Cepetan nikah lah yum. Hm, kalo berkenan, gw mau kok. Untuk menghindari lumuran DOSA yang tidak diinginkan. Karena pada hakikatnya, semakin lo uzur, ntar dosanya nambah kalo nggak nikah-nikah.”

BAH!

Asli, bukan lamarannya yang penting, tapi kata DOSAnya yang lebih nemplok di muka gw. Berasa pendosa banget kalo seumuran gw belon kawin. (sigh).

Even though we are perfect, but really, no one or nobody around us is perfect. Tetap aja, kerasa claustrophobic, kalo semakin banyak orang-orang (bahkan yang lo nggak kenal sekalipun) nyuru-nyuru lo nikah.

Baik sih, niatnya ngingetin, tapi kalo akhirnya bergunjing, nah ini yang gw kaga demen. Gw sendiri yang jalanin aja super santai trus kenapa orang-orang musti repot nana dan nini tentang ke-uzuran gw?

Tapi ini bukan ngebahas gw dan segala keuzuran gw kok. Gw cuma pengen ngasih tau para cowok aja, besok-besok kalo ngelamar cewek, yang jujur, apa adanya, nggak usah pake alasan pengen ngehindarin dosa.

Kalo ceweknya normal, ya kaga papa. Masalahnya cewek sekarang pinter-pinter, jadi rayuan lo musti dibikin lebih sadis, apalagi kalo ceweknya rada sableng kaya si Kanya temen gw ini, beuh, ati-ati aja yak?

————

“I can’t understand people who married for sex. Sex is not purpose but BONUS! Anything you shared with your beloved people is great, moreover, with S-E-X. Sex with unbeloved people can be FUN, but just.. NOT great”

Gw cuma mengangguk-angguk tanda mengerti. Gw ambil serauk kacang tanah gurih lagi asin favourit gw. Gw kupas dan kunyah-kunyah sambil terus konsentrasi mendengarkan ocehan si Kanya. Tanpa menyela.

“Gw jadi bisa ngerti, kenapa orang jaman sekarang jadi gampang banget memutuskan untuk cerai..” Kanya menghentikan kalimatnya, memberi kode dan mempersilahkan gw untuk menyanggah.

Gw cuma geleng-geleng kepala, menunjuk mulut gw yang penuh dengan kacang sambil naik-naikin alis yang secara implisit berarti meminta Kanya sendiri yang meneruskan kalimatnya.

“Kenapa coba? Kenapa orang cerai? KENAPA? That’s because they are not really falling in love at the beginning, Mereka pasti menikah karena sex, dan alasan paling KLISEnya: for AVOID sins. Gosh! It’s silly and stupid!”

Dan gw hampir keselek kacang bangkok (karena gendut banget kacangnya), saat Kanya memegang kedua pipi gw (setengah menampar kalo boleh curhat (T_T)v ) sambil bilang:

“So! My dearly friend, when a man comes to you and ask you for marriage and the reason is to AVOID sin, just leave him right away! Got it?!”. Sekali lagi kedua telapak tangan Kanya, berbarengan, menepok pipi gw. Kanan dan kiri. “PLAK!!!”.

Semprul bin sontoloyo. Sakit juga. Tapi gw cuma bisa mengangguk pelan, sambil berusaha menelan pelan-pelan kacang yang hampir masuk ke rongga pernafasan.

Kalo gw nggak sigap, bisa mati keselek guah!

Kalo jaman dulu, orang menikah memang hanya untuk menyalurkan hasrat yang satu itu (a.k.a = sex). Sex meant pleasure, which humans really crave. Tapi sekarang? Bicara diluar aspek religi, we can have this without marrying.

“Bullshit ngomongin soal menghindari dosa, kalo dibalik itu terselubung niat yang orientasinya cuma body, toket, dan seks juga.” Kanya menambahkan kalimat protesnya sambit mengikat rambut-nya yang sedari tadi tergerai lurus.

Sedangkan gw, masih mengupas dan mengunyah kacang-kacang malang itu.

Menurut Kanya, perempuan mustinya tersinggung, kalo diajak menikah hanya karena akan dijadikan sebagai objek pengeliminasi dosa, iya = D-O-S-A, instead of as a life time partner, or a lover, or a beloved wife, ataupun sebentuk subjek lain (bukan objek) yang setidaknya punya kesempatan juga untuk jadi pemeran aktif dalam suatu kehidupan pernikahan.

Setelah gw pikir-pikir, ya ada benernya juga sih. Alasan menghindari dosa tadi sepertinya bener-bener kekanak-kanakan. Mending tu cowok bilang yang lain gitu, misalnya:

“ayuk nikah, sunnah rosul”
“ayuk nikah, biar kita bisa nyicil rumah bareng”
“ayuk nikah, aku cinta banget sama kamu”
“ayuk nikah, ibuku udah nanyain terus tuh”
“ayuk nikah, tapi di KUA aja ya, miskin nih”
“ayuk nikah, sebelum dilangkahin adek-ku”
“ayuk nikah, sebelum aku dilamar orang”
“ayuk nikah, biar bapakku bisa nimang cucu taun depan”
“ayuk nikah, tapi kamu sabar nungguin aku pulang ya” (si Dara banget :p)
Gw rasa, akan terasa lebih jujur, lebih plong, lebih apa adanya. Ya nggak?

Versi gw pribadi sih, Pokoknya do NOT let marriage be your social alibi, do it because of love. Manis banget kan gw? Nggak pusing kaya si Kanya. (Hahaha. Digantung gw kalo dia baca tulisan ini).

Tapi tetep bagi gw, ke-uzuran gw akan bertambah parah aja nih. Karena gw percaya jika a person may love you, but avoid marrying you (or anybody else) if they somehow believe life with you will be difficult. Dan gw merasa, semua cowok akan kesusahan kalo hidup sama gw. Sigh. Mengutip apa kata Caca temen gw, “Cuma begundal gila aja yang berani nikahin elu, com. Hahaha!!”.

Baru selese mikar-mikir, gw dapet e-mail dari temen gw:

Aku bingung sekaligus salut sama kamu rum, rupanya kamu masih hobby pegang bola panas yang bergulir kencang, Hahaha..

eh Rum, bertahun tahun, aku memiliki pertanyaan yang belum kudapat jawabannya, Pacar mu siapa sie, atau kamu ga punya pacar? hehehe.. salam deh buat lelaki misterius mu itu.

-Qentang-

Sambil gigit-gigit apel ditangan, gw nyengir. Ngikik sendiri, siapa lelaki misterius lagi begundal gila itu ya? Ck ck ck¡K []

Hidup Tanpa Rasa Takut


‘Sevva’. Berkali-kali kening gw berkerut sebelum akhirnya pintu lift terbuka.

“Ding!”

Gw melirik lelaki disebelah gw ini. Tingginya sekitar 182 cm. Bahunya lebar. Matanya besar, dengan mongolian face-nya. Rambutnya mirip Bi Rain (penyanyi ganteng asal Korea itu loh).

Dia yang gw lirik hanya balas melirik, mengernyitkan hidungnya dengan konyol, lalu merubah wajahnya yang (tadinya) serius menjadi sangat kacau, nggak karuan. Setengah terkejut, akhirnya gw nyengir maksa, sama kacaunya.

“Let me allow you, please..” Cowok ini membungkuk, bergaya bak pemuda era Reinassance, di jaman revolusi Perancis dulu.

“O Chris, phhhulease..” gw menggeleng-geleng, taking a long sigh, trus pasang tampang jijay sambil tersenyum lalu melangkah lempeng dan nggak memperdulikan sang tentara kolonial. Sementara sang tentara hanya menggaruk-garuk kepalanya yang jelas nggak gatel itu.

“What did I do? I just want to be polite..” Teriaknya sambil menyusul langkah-langkah gw dan tertawa.

Gw kenal Chris udah hampir 3 bulanan ini. Tapi karena kami banyak banget punya kesamaan sifat (sama-sama anak tunggal yang rada sableng adalah salah satunya), kami seperti orang yang sudah kenal bertaun-taun gitu. Ditambah, sebenernya, Mamaknya si Chris ini emang asli orang Indonesia. Hahaha. Produk Blasteran.

Princes Building, lantai 25. Hm, dari atas sini, gw bisa liat antena Wi-Fi yang dikerjain (atau lebih tepatnya ngerjain) mati-matian ama si Zikhry (di Statue Square, taman persis disebelah gedung ini) secara jelas banget.

“Do you know that many of the stars that we romantically gaze at the night sky are already long gone? Actually we only enjoying its rays that expired a million years ago”. Chris memandang langit gelap itu. Tanpa henti.

“I beg your pardon?”, gw menatap Chris serius.

“Nope, nothing.” Chris menjawab pasti, sambil menatap gw tak henti.

Gw nggak lanjut bertanya. Gw berusaha mengerti kalau saat itu Chris nggak mau diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan simple yang diapun nggak tau bagaimana menjelaskannya.

Sebenernya gw ngerti, Chris lagi berusaha ngehibur gw, karena beberapa hari yang lalu, gw cerita ke dia, kalo gw dapet kabar tentang salah satu mantan gw yang getting married.

Dan gw sedih, sedih bukan karena ditinggal kawin, tapi sedih karena untuk beberapa saat kemaren, banyak banget hal di kehidupan gw yang berubah secara drastis. Dan sepertinya gw merasa kalo gw nggak siap untuk ngadepin semua perubahan itu. Gw ngerasa takut aja ama masa depan gw.

Dan dari situ Chris banyak cerita, ngasih pandangan ke gw. Dan gw ngerasa, dia tuh bener banget. Coz untuk usianya yang cuma terpaut satu tahun diatas gw, ini anak were totally.. wise.

Human always afraid of the ‘unknown’ (sesuatu yang kita nggak tau pasti ‘apa’ dan ‘bagaimana itu). Dan secara nggak sadar, kita selalu terus mencari konfirmasi atas ketidaktahuan itu. Why? Ya untuk bersiap-siap atas kemungkinan terburuk lah. Karena kita sebagai manusia normal, selalu nggak mau kedapetan hal jelek, must been always delightful things, no room for sorrow!

Dari diskusi bersama Chris, gw mengetahui bahwa: fearlessness is generated when you can appreciate uncertainty. When you have faith in the impossibility of these interconnected components remaining static and permanent, you will find your self, in a very true sense, preparing for the worst while allowing for the best.

Maksutnya gini, lo nggak bakalan ngerasa takut akan apapun, jika lo mampu mengerti bahwa semua itu emang sudah diatur. How? Ya dengan memahami jika ada sesuatu yang telah nunggu lo dibalik “tikungan”. Bahwa no matter what, mau kita hindari atau nggak, sesuatu itu akan tetap disana, dibalik tikungan itu.

Dengan menerima, TANPA memperhitungkan atau mencoba menerka bahwa sesuatu kejadian itu bakal terjadi atau nggak, itu akan membuat lo memiliki suatu pervasive awareness (gw artikan simple: perasaan nyantai coy), sehingga lo mampu merasa biasa aja terhadap apapun yang bakal terjadi dalam hidup lo, mao masalah nggak penting sampe masalah yang paling berat sekalipun. Why? Karena emang harus begitu kok. Wis, nrimo ae. Ya jalanin aja, brur.

Gw inget-inget, bokap gw juga pernah ceramah tentang hal serupa. Bokap kalo nggak salah menyebutnya: perihal beriman kepada takdir.

“So, there’s no reason to have fear for the future, because you begin to know, the things are not entirely under your control and never will be, so there’s no expectation for things to go according to your hopes and fears.” Chris menjelaskan sambil menunjuk muka gw setiap kali mengucap kata ‘you’.

Tuhan emang Maha Pemberi Rahmat dan Kebaikan tiada tara. Gila man! Gw dapet ilmu beginian bahkan bukan dari seorang kiayi, bukan ustad, bukan muslim pulak.

Yaa Allah, Tuhanku, you are so cool.

Lalu apa kabar dengan ‘berusaha dan berikhtiar’ dong?

In my sober mind (diartikan: waras; semoga juga bijak), ini semua berkorelasi kok. Gw bisa kasih contoh cerita dari Bokap tentang kisah si Mimin.

Sementara temen-temennya pada nyari gaji milyaran rupiah, Mimin begitu terhanyut dalam upayanya menghayati dan menjalani proses kerja sehari-hari dengan penuh nikmat dan rasa syukur, intinya Mimin percaya jika ‘sesuatu’ telah menunggunya ditikungan situ. Perihal entah itu baik atau buruk, Mimin nggak perduli. Pokoknya Mimin pasrah aja, dijalaninya bait demi bait kehidupan dengan penuh rasa ikhlas sambil berserah diri serta menerima seburuk apapun takdir yang akan datang menyapanya.

Lalu ternyata, akibat kepasrahan dan kerja kerasnya, lama-lama, Mimin secara nggak sengaja punya gaji yang jauuuh diatas orang-orang kebanyakan. So? Mimin terpaksa kaya deh. Iya, T-E-R-P-A-K-S-A, karena niat awal Mimin sebenernya bukan untuk kaya.

Inilah wujud kerja keras yang dibumbui dengan keimanan dan kepasrahan.

However, kerja keras yang dilandasi dengan sikap PASRAH, lain dengan kerja keras karena ngangsa. Kerja ngangsa dilandasi keinginan akan hasil besar secara kongkrit dibelakangan hari. Dengan kata lain, ada target. YANG kalau target tersebut tidak tercapai maka akan membuat kecewa.

NAH! Just capture its intencity, feel it. You feel it like I do, don’t u?

Semoga kawan, with fearlessness, you will find yourself. You become dignified and majestic. And this qualities are the secret ingredient to enhance your ability to do work, wage war, make peace, create a good family, and enjoy love and personal relationships. Ayo! yang semangaaaat! []

Some fall from grace because they are smoke but don’t inhale.

Gemesnya Punya Pacar Bule

Kezzie: Do u feel offended ‘bcoz your close friend might be like that? Maybe that woman without veil, or else, act lousy and cause u to defense them??

Gw: No, you are now asking some stupid question.. I really don’t understand what are you saying, now. I said before, you mistreated me, Kez, please lets don’t start it, I’m tired keep arguing like this..

Kezzie: Aahh, but your word is about that

Gw: What words?

Kezzie: I open skype now! What mean “boyz got no brain??”

Gw: O C’mon, that’s not for you, honey..

Kezzie: that’s your typical style! You always like this!

Gw: Okay that’s it! You keep pointing at me! I’m done with this..

Kezzie: Gosh! You always react before have enough explanation from me!

Gw: But you did not giving me enough space to explain!

Kezzie: The trigger?? Geez, trigger would be different with explanation!

Gw: I’m tired of arguing!

Kezzie: Then?

Gw: I need Ice cream.[]

Kesalehan Sosial


“Tek.. Tek.. Tek..”

Tanpa suara, pria tuna netra itu terdiam dibawah derasnya hujan.

“Tek.. Tek.. Tek..”

Pria tuna netra yang sama masih tediam disamping lampu persimpangan jalan.

Sementara didepan pria itu, kendaraan besar dari pelabuhan tersibuk kota Kowloon, berlalu lalang dengan kejam. Menimbulkan sedikit getaran dan deburan angin bercampur air yang tanpa ampun melayang-layang kencang pada wajah pria itu.

Namun dia tetap tenang.

“treketrek-treketrek-treketrek-treketrek”

Bunyi bit ketukan yang berasal dari lampu persimpangan itu menjadi semakin cepat. Dan pria tuna netra itu (masih dibawah curahan hujan dan tentunya terpejam) melangkahkan kakinya kedepan, tak patah arang. Sedang kendaraan besar yang sedari tadi dengan sombongnya berlalu lalang seolah tunduk pada pria itu dan membiarkannya lewat secara aman, sampai di ujung jalan.

———-

6:00 pm. After-work Hour.

“0” Gadis ini memencet tombol ditembok lift. Orang-orang yang tiba-tiba muncul lalu saling berdesakkan dan memasuki lift yang sama, gadis itu tanpa ekspresi menahan tombol “door open” hingga akhirnya semua orang lengkap memasuki lift yang irit dan sempit ini.

“12-11-10-9” Gadis itu memegangi tas coklatnya dengan erat. Kali ini dia tertunduk. Diusap-usap bahunya yang kecil, berharap segala lelah dan penatnya hari itu dapat hilang jika diusap-usap pelan seperti itu.

“4-3-2-1” Gadis yang sama mendongak, memperhatikan gerak lampu seven-segment yang terpanjang didalam lift.

“Ding”. Ground Floor. Pintu Lift membuka. Kembali gadis itu menahan tombol “door open”. Sama. Tanpa ekspresi. Lalu sekelebatan melirik orang-orang berebut keluar dari lift. Setelah dirasa kosong. Dilepaskan jarinya yang lentik dan mungil dari tombol “door open”. Lalu dipijitnya angka terbesar pada deretan angka-angka penunjuk di dinding lift itu. “13”. Lalu Gadis itu beranjak keluar.

Pintu lift menutup dan melaju ke lantai 13.

———-

Wanita ini memakai blouse satin putih, dengan rok remple hitam berantai emas dipinggang. sungguh terlihat elegan. rambutnya panjang agak kelabu melewati bahu. Mata sipitnya samar terlihat karena dia membubuhkan eye-liner gelap.

Ditangannya teruntai gelang sewarna bumi yang sangat mencolok diatas kulitnya yang putih dan licin. Kukunya dihias sedemikian rupa. Sangat cantik. Jika dia melambaikan tangan sedikit saja, tak diragukan, setiap lelaki didepan situ, dijamin pingsan karena kecantikannya.

However, segala pandangan elegan, sophisticated, high-class, tak tersentuh, serta angkuh, seketika itu runtuh dipikiran gw. Dimana dengan tanpa merasa hina, melalui jemari ningratnya, wanita ini membantu mengangkat troli seorang tua yang sedang kesulitan menaiki tangga. Bahkan, troli itu kotor, besinya coklat dan berkarat. Lembab bercampur air hujan. Ternganga, gw beku lagi terpaku.

———-

Tiga kebaikan diatas, adalah kebaikan sederhana yang sangat samar (jarang diperdulikan) yang dilakukan oleh pelaku kehidupan yang juga samar (yang sama sekali tak perduli, apakah ada orang lain yang akan sadar atas kebaikan yang baru saja mereka perbuat).

Kebaikan pertama dilakukan oleh pemerintah juga komunitas sekitar yang perduli oleh para tuna netra (disini mereka bahkan bukan disebut sebagai “blind man” melainkan “person with visionary incapability”). Sehingga lampu merah dibuat mengeluarkan bunyi-bunyian, dimana bit pelan untuk menunggu, bit cepat untuk menyebrang. Fantastic.

Kebaikan kedua dilakukan oleh seorang gadis biasa. Tujuannya, mengembalikan lift ke lantai paling atas, supaya teman-temannya yang ingin juga segera pulang, tidak terlalu lama menunggu lift. Luar biasa.

Kebaikan ketiga dilakukan oleh sang wanita ningrat yang bisa gw bilang, nggak mungkin deh ada ¡§wanita ningrat¡¨ jakarta mampu melakukan hal yang sama seperti itu. (Bahkan edannya lagi, si wanita ningrat ini sempet-sempetnya membungkuk-dalam kepada orang tua tadi ketika orang tua itu mengucapkan terima kasih). Amazing!

Bokap gw pernah bilang, bahwa yang dimaksud dengan sholeh itu adalah segala kebaikan, kebenaran dan ibadah yang bisa diaplikasikan langsung ke publik sehingga manfaatnya dapat dirasakan untuk kebersamaan. Jadi, jika kamu beribadah sendiri, itu baik. Tapi lebih baik lagi jika kamu mengamalkannya sehingga kamu dapat berguna untuk orang lain. Dan akan sangat baik sekali jika dilakukan tanpa disadari oleh orang lain. Kurang lebih begitu. (waow, sangat sulit).

Nah, gw baru menyaksikan sebagian kecil “kesalehan” itu dengan mata kepala gw sendiri. Dan perasaan yang gw rasakan saat itu sebenarnya malah bukanlah sesuatu hal yang terasa bungah ataupun excited.

Kebalikannya, gw merasa kalo gw benar-benar sedih. Gw malu. Gw seolah terbantahkan. Gw bagai terlempar tak berguna ke sudut paling gelap dan sepi. Karena gw nggak merasa pernah melakukan kebaikan sederhana namun bermakna seperti itu.

Gw terbiasa hidup dalam komunitas yang memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk mendapatkan kejayaan. Yang juga membutuhkan kehancuran sesama manusia didalamnya untuk memperoleh sesuatu yang kami kira: kehormatan.

Sehingga apapun bentuk kebaikan yang terwujud, bukanlah merupakan suatu kebaikan murni tersembunyi yang terasa begitu indah dan menyejukkan seperti tadi.

Mengutip kata Cak Nun: di Indonesia, ‘kebaikan’ sukar berdiri sendiri dan murni sebagai kebaikan itu sendiri. Kebaikan selalu ‘dalam rangka’, ‘dalam pamrih’, ‘dalam niat-niat’ lain yang tersembunyi, yang belum tentu bersifat baik.

Sangat sedikit orang-orang di Indonesia yang mampu mangimplementasikan wujud keimanan dan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari.

Kerongkoangan gw tercekat, semakin tercekat. Gw nggak perduli lagi gw ada dimana. Rasa malu ini sungguh menyesakkan dada. Memekakkan telinga. Melemaskan tenaga.

Hujan semakin deras dan keras. Segala istigfar dan airmata gw ikut terbawa bulir-bulir air yang entah datang darimana. Air itu mungkin kepanjangan tangan dari langit, entah, bisa jadi milik malaikat yang mengasihani gw saat itu. Ah, maafkan, maafkan hamba yang khilaf dari segala kebesaran-Mu, Tuhan.[]

Cinta yang Terlupa

Gw melirik ponsel kelabu yang telah setia bersama gw selama 2 tahun ini. Tertera disana: “Frederic Chopin prelude in E minor”. Alunan piano ini kerasa pilu banget di dada. Bahkan angin sore yang silir semilir nggak mampu memalingkan gw dari derasnya rasa prihatin gw saat ini.

Temen kantor gw, Slinky Li, pernah bilang ke gw: “The only thing you can do to a dissaster is acceptance.” Menurut gw, filosofi hidup yang kayak gini nggak maen-maen. Ah, atau lebih tepatnya, gw aja yang terlalu oncom, mengada-ada untuk menggali lebih dalam tentang arti sebuah “acceptance”, acceptance terhadap kesalahan ataupun kebenaran yang berlalu lalang didepan mata kita.

Memang pada dasarnya, salah dan benar itu bukan milik kita. Kita hanya meminjam sebuah kebenaran dari Sang Pencipta. Dan saat kita melakukan kesalahan, itu hanya sekedar pertanda bahwa kita terlalu jauh dari-Nya.

Adalah seorang gadis, let’s call her: Monica. Gw kenal Monica bahkan jauh sebelum kami mengerti arti cinta dan laki-laki. Mungkin 20 tahun lalu. Monica pernah mengalami moment yang luar biasa berat, karena satu-satunya lelaki yang selalu memenuhi seluruh ruang mimpi dan bilik kenyataan hidupnya, melangsungkan pernikahan dengan wanita lain.

Well, sepertinya bagi gw, ini hanya kisah cinta biasa yang bisa aja terjadi dalam kehidupan setiap orang. Bukan hanya Monica, bahkan gw pun pernah mengalami hal serupa. So there’s nothing special about it, right?.

Wrong..!

“Eh Ting (Monica selalu manggil gw: keriting), eh tau ga? Aku lagi di rooftop, kalo mao, aku bisa aja terjun bebas dari sini. You know, after all, pernikahan Baskoro, really a knife in my heart..”

Monica menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Tapi, itu sama aja aku memberi ruang kebenaran atas kesalahan yang dulu aku perbuat. Kamu tau, Ting? Ngga ada yang salah dalam kehidupan ini. Yang keliru adalah ketika kita menyikapi segala sesuatu dengan tidak memperhitungkan akibat dari pilihan sikap kita..”

Monica menghela nafas.

“Waktu itu aku memilih untuk nggak memperjuangkan cintaku ke Baskoro. Karena, aku kira, dengan membiarkan semuanya mengalir, Sang waktu toh akan membuat Baskoro kembali ke aku. Ternyata, aku nggak nyangka, endingnya meleset sejauh ini..”

Monica menutup perbincangan kami. Tanpa kata-kata pemanis, terasa dingin dan sadis.

Monica yang secantik dan seanggun Dewi Jahnawi dari Jonggring Saloka, bisa saja menunjuk ataupun memilih secara acak a very high quality man dari segala penjuru jagad. Tapi entahlah, tampaknya memang harus ada orang-orang tertentu yang ditakdirkan memiliki kisah cinta yang complicated dan berujung tragis.

Monica selalu mencintai pria ini, seorang pria biasa, dengan kepintaran diatas rata-rata. Modal ketampanan pas-pasan dan postur yang slightly bersahaja. Ya, dia Baskoro. Waktu SMA adalah kali terakhir Monica bisa duduk berdua dengan Baskoro. Tertawa bahagia dibawah pohon akasia. Saat itu mereka tak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan cinta. Ya! hanya tertawa dan berbahagia dibawah pohon akasia. Bahkan mungkin, Monica terlalu sibuk menikmati setiap inci smiling curve dan mata bening Baskoro.

Bertahun-tahun selama gw mengenal Monica dan semua pacar-pacar perfecto-nya, tetaplah, selalu ada “Baskoro”. Kata emak gw, first love never die. Tapi, Monica selalu protes kalo gw bilang Baskoro itu first love dia.

Monica selalu bersikap tegar, dia tak ingin lagi menggali perasaan yang sudah begitu teguh untuk menjadikannya merapuh kembali. Tapi sering kali, gw menemukan Monica terpagut begitu lama, memandangi kerlip bintang.

Mungkin dia mencoba dengan sangat keras, untuk mengingat dan mencari smiling curve dan mata bening milik Baskoro disana, sambil sesekali berbisik lirih “I wanna kiss you underneath these stars..” Seolah Monica ingin malam menyampaikan lirih kerinduannya kepada Baskoro.

Kadang kala, Monica pergi menemui Baskoro, frekuensinya pun nggak setahun sekali, tapi mereka bertemu. Dua jam, dalam hening, memandangi layar bioskop yang Monica nggak ngerti isi cerita film yang diputar, karena terlalu sibuk menggali perasaan yang mengalir hangat dalam nadinya. Sibuk menghirup lamat udara beku yang juga dihirup Baskoro. Sibuk menyimpan tiap detik berharga bersama Baskoro dalam setiap laci hatinya.

Setelah pertemuannya dengan Baskoro, anehnya, Monica malah selalu tampak lelah, pancaran sendu matanya seolah berkata, “Ah, hidup memang berat ataukah aku yang tak cukup kuat?”.

But I know, that’s just a retarded question. Dalam hati, gw mengagumi Monica.

Gw nggak nyangka ada makhluk macam Monica yang dapat menyelami arti mencintai lalu mampu memanggul beban cinta yang sebegitu beratnya dengan pasrah. Gw sendiri hingga saat ini, yakin, Monica nggak pernah menitikkan air mata barang setetespun atas pernikahan Baskoro. Walaupun pada kenyataannya, pernikahan Baskoro bagai racun mematikan yang meremas hatinya hingga luluh lantak.

Kehidupan bagi Monica tak lain adalah sebuah pengabdian, pengabdian kepada janji, pengabdian kepada keluarga, pengabdian kepada kerabat, pengabdian kepada kebenaran yang dipegang, pengabdian kepada kehidupan, pengabdian kepada sang pencipta. Juga.. pengabdian kepada cinta.

Pengabdian cinta Monica kepada Baskoro.

Monica paham, bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh ‘takdir kuasa manusia’. Tapi Monica memutuskan untuk menggantungkan diri pada Tuhan saja. Monica bersedia menanggung derita cintanya, asalkan dia rasakan itu memang kehendak Tuhan.

Walau dengan hati hancur, gw tau, Monica berhasil lulus dalam ujian kesabaran yang dihadiahkan Tuhan kepadanya. Monica berhasil lolos dalam ujian ‘acceptance’ yang diberikan kepadanya. Gimanapun, kekayaan diri adalah bukan apa yang dapat kita miliki, tetapi adalah bagaimana kita dapat menjadi apa adanya, sebaik-baik diri kita. Dan jangan pernah lupa satu hal, Gusti Allah mboten sare.

Lagipula, Tuhan itu maha adil.

==================

Ting!
Kapan pulang?
Kamu sehat disana?

kemarin aku main kerumahmu,
dan hebatnya, kamu nggak punya pohon mangga lagi tuh,

hahaha, pohon manggamu ditebang habis sama si Om.
Aku mau ngasih tau, aku mau nujuh bulanan minggu depan,
Si Woro udah nggak sabar pengen adiknya ini cepet brojol.

Cowok lho, Ting. Kamu pasti seneng banget.

Ting, aku mau menamainya Baskoro.

BR,
Monica

==================

Yups! Tuhan itu adil: only those who dare to fail greatly can ever achieve greatly. Monica telah menikah dengan seorang laki-laki, bukan Baskoro. Monica sangat mencintai laki-laki ini dan juga anak-anak mereka.

Tapi walaupun begitu, sepenggalan cintanya kepada Baskoro nggak pernah mati. Bak kisah cinta Bisma Dewabrata kepada Dewi Amba. Sepenggal cinta itulah yang disimpan Monica untuk Baskoro, mungkin Monica berharap, dikehidupan berikutnya, Baskoro adalah miliknya. Karena penerimaan itulah, Monica akhirnya melepaskan Baskoro.

Kisah hidup Monica juga ibarat video clip youtube kiriman Zuber, temen lama gw. Kalo nggak salah video clip itu milik Keroncong Chaos, judul lagunya: Kuburan Cinta. Model video clipnya, walaupun nggak secantik Monica, tetaplah spektakuler. Inti videonya ada seorang pemuda yang ditinggal kawin oleh model spekta tadi, lalu pemuda itu memutuskan mau mengakhiri hidupnya dengan cara nyebur sumur. Tapi nggak jadi, eh malah pemuda itu ambil wudhu. Video klip selesai.

Gw jadi ingat seseorang. Seseorang yang selalu ada disetiap langkah perjalanan hidup gw. Namanya adalah satu-satunya nama laki-laki yang berani gw sebut dan gw ceritakan ke nyokap-bokap gw. For these whole years, nama yang sama, selalu nama yang sama. Tapi, gw cuman mingkem, manyun lantas masuk kamar kalo bokap gw nanya: “Kapan dong dia diajak main ke rumah?..”

Karena gw selalu tau, laki-laki ini nggak pernah mencintai gw. Ironisnya, mungkin dia menikah tahun ini, dan bukan sama gw pastinya. Haha.

Gw tertawa! Ya, gw masih mampu tertawa! Gw harus mampu belajar menertawakan diri gw, karena kata pak ustad di pengajian: makin tinggi kemampuan seseorang dalam menertawakan dirinya sendiri, maka akan semakin meningkat pula kebesaran jiwa mereka. Semakin luas pengetahuan seseorang atas kedunguan-kedunguannya sendiri, semakin matang dan tegar kepribadiannya. Dan gw berharap, gw bisa begitu.

Mirip Monica, pada malam yang legam, kelam, dan hanya ditemani sepenggalan sinar bulan, gw sempat juga terpagut lama memandangi kerlip gemintang.

Lalu mencoba juga dengan sangat keras, untuk mengingat dan mencari wajah lelaki itu disana.[]

Him, the only man with his silly and rainy face.

Sebuah Kepasrahan

“Ayrum, Om m mokay aa..?”

Gw tersentak kaget, “Oh, it’s okay now. No problemo..” gw tersenyum, “I’ve finished it..” jawab gw santai. Well, seperti yang baru saja terjadi, rupanya gw sudah mulai menggila dan terbiasa melakukan bilingual language here.

Disini, gw seringkali ngerjain hal-hal yang nggak biasa, yang kalo kata temen gw dari Malaysia: tak mencabar alias nggak mutu. Misalnya: bikin note sendirian di taman kota sambil ngikik nggak karu-karuan, Haha, mirip orang nggak waras (baru mirip lhooo).

Gw orangnya memang gampang excited sama apapun yang menurut gw baru dan asing, walaupun menurut Niken, adek kelas gw, gw lebih terlihat hyper-lebay dan norak bin kampungan dibanding keliatan “so much excited”.

Anyway, semakin gw ketemu hal baru, gw menjadi semakin pandai untuk mengerti dan memahami tentang hidup. Dengan kata lain, gw lebih bisa memaklumi perbedaan. Seperti ada seorang guru invisible yang mengajarkan nilai hidup yang sama sekali baru buat gw, yaitu menjadi MAMPU untuk tidak sepenuhnya menyetujui, tetapi bisa menerima. Mempertanyakan, tapi bisa mengerti.

Rasanya luar biasa unik untuk bisa mengenal lalu mempelajari tata cara yang datang dari sisi berbeda dengan asimilasi kultur yang begitu luar biasa berwarna warni, kadang jungkir balik, sering bikin deg-degan, banyak tikungan tak terduga, mirip roller coaster.

Pengalaman paling seru gw, terjadi setiap kali gw mau sembahyang (sholat). Di agama gw, sebelum sembahyang, wajiblah kita berwudhu. Ada bagian-bagian tertentu dari tubuh yang harus dibasuh dengan air dan pastinya pake acara buka sepatu.

Nah! masalahnya, disini, yang namanya buka sepatu di ruang publik adalah perbuatan impolite, tercela, nista, dzolim! (meminjam bahasa si Isro dan Danan).

Gara-gara buka sepatu, mau wudhu, gw pernah dong, dimaki-maki pake bahasa Putung Hoa ama mbah-mbah cina di lavatory (lavatory itu sodaranya rest room/toilet). Untungnya, gw kagak ngarti. Gw sambutlah alunan alto (highest voice part) dari sang mbah-mbah cina itu pake tampang cengengesan gw yang asli dodol (baca: cantik) banget. :p

Belum lagi, gw pernah diusir, nggak boleh masuk Masjid gara-gara gw turis. Sakit rasanya membayangkan, tinggal sejengkal kita mau melakukan kebaikan, tapi kok dijegal. Rasanya sulit sekali untuk diterima.

Awalnya gw merasa MARAH. Kok mau ibadah rasanya susah banget. Sambil muangkel, gw telpon bokap. Setelah cerita sampe muncrat-muncrat, bokap gw malah ketawa, “Ndut, marah itu perlu, jika demi kebaikan.” Gw masih manyun. “Wani ngalah, luhur wekasane (yang berani ngalah, budinya lebih luhur).” bokap gw melanjutkan. “Ibadah itu pengabdian, salah satu bentuk pengabdian adalah mengutarakan rasa bersyukur, kepasrahan, dan penyerahan secara ikhlas”. Gw masih aja merengut. “Kamu harus paham, bahwa kepasrahan dan penyerahan secara ikhlas adalah sesuatu yang sangat wajar dan normal. Bukan berarti kalah, bukan juga mengalah. Pasrah itu menerima, nanti makin tua, kamu akan makin paham, kok. Sudah, baik-baik ya disana?”.

Mulanya gw nggak ngerti, bokap ngomong apa. Tapi seiring waktu, berasa ada sesuatu yang tumbuh dihati gw. Nggak disangka, bokap gw sangat mengerti cara membalut kemelut dengan begitu indah. Gamblang menjelaskan, tanpa membagi kecemasan. Gw pun dapat memahami walaupun dalam diam dan kesendirian.

Sebenarnya sederhana: tulang itu keras, harus keras maka ia bernama tulang, dan kerasnya tulang tidak bisa diterjemahkan menjadi “tulang adalah pro kekerasan.”

Begitu juga dengan gw dan amarah gw. Gw yang mengeluh tentang begitu sulitnya melakukan ibadah di negara orang.

Saat itu, Yang gw pikir hanya kata: “Pokoknya”. Pokoknya gw berprinsip, ibadah itu harus lengkap dan genap, sholat yang harus begini, dan wudhu yang telah ditetapkan begitu. Makanya gw marah saat segalanya gw rasa kurang: Wudhu yang nggak berbasah-basahan dari kepala sampai ujung kaki, atau sholat tanpa rukuk dan sujud.

Gw berusaha menarik benang merah, bahwa semua itu nggak akan sulit jika kita mau lebih berserah diri dan pasrah. Pasrah itu bukan mencari, tapi menerima. Pasrah itu bukan menentang, tapi berpegang. Pasrah itu bukan kehilangan, melainkan keikhlasan.

Dari situ gw mulai sedikit memahami dan mencoba meresapi bahwa sesungguhnya gw HARUS percaya bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Maha Pengertian dan Maha Pengampun.

Dan gw sadar, kesempurnaan wudhu dan gerak sholat yang selama ini gw tetapkan, adalah pertanda kesombongan gw bahwa selama ini gw tidak percaya bahwa Tuhan itu Maha Pengertian dan Maha Pengampun, bahwa selama ini gw tidak meyakini sedalam-dalamnya bahwa Tuhan memiliki kesempurnaan atas sifat Maha Pengertian dan Maha Pengampun.

Inilah rasanya menjalani ibadah tanpa memahami apa yang dijalani. Merasa menyembah, tanpa mengenal kemuliaan yang disembah. Sungguh membutakan.

Langit malam masih merembang, biru menghitam dan bintang-bintang lugu, malu-malu, bermunculan dalam diam. Menghela nafas, gw menutup mata gw, berusaha menangkap angin yang terasa menusuk dan dingin.

Masih banyak ilmu tentang kehidupan yang gw nggak paham. Ah, betapa masih dangkalnya pemahaman ini.[]

Only he who has the power to punish can pardon..

Sebakul Cinta


Cinta itu seperti pasir. Semakin digenggam erat, semakin dia akan pergi dari jari-jari kita. Kalau tidak dijaga, dia akan hilang terbawa angin. Dan ketika kita melepaskan genggaman pasir itu, selalu ada butir-butir yang tetap menempel di tangan.

Begitulah seduhan cinta yang gw rasakan setiap hari, memuncak disaat kepergian gw dalam rangka menjadi TKW di negeri antah berantah: setengah British setengah China yang jaraknya hanya sepenggalan galah.

Disaat yang benar-benar krusial dalam hidup ini, gw merasakan betapa sangat nyata pemberian cinta dari orang-orang sekitar gw yang sayang sama gw (well, tentunya yang gw sayangi balik juga).

Seperti contohnya, emak gw yang selalu menyemangati gw setelah beberapa kali gw ngeluh: “Mak, ranselnya jadi beraaaaat..”

Dan emak gw dengan santai bercanda, “Biar kamu semangat, kamu sambil gendong, keberatan, bilang aja: makanan, makanan, makanan, makanan.. kalo demi makanan kan jadi nggak berat..”. Sementara nyokap gw ngakak nggak karu-karuan, muka gw tetep lempeng.

Trus bokap gw juga, gw dibawain buanyak banged Incidal (obat alergi) karena bokap tau, gw gila banget ama seafood (FYI, disono: melimpah-ruah). Walaupun, in contrary, gw alergi minta ampyun sama makanan laut (kebayang nyiksanya kan?). Belum lagi masalah gw dibawain jahe segede gede jempol kaki, dengan pesan-pesan sponsor: “Ingat, jauhi Chivas dan Johnny Walker, wahai anakku.. Harom!!”

Dari temen kantor, Ideh, Sobat gw yang paling seksi, dia ngasih gw baju batik untuk menyadarkan gw tentang pentingnya rasa nasionalisme dan patriotisme walaupun gw menjadi TKW di negeri orang.

Ada lagi si Risma, Sobat di kantor, yang beliin gw sendok garpu yang lucu banget, dengan alasan “Buat di HK, kalo disana ghak iso sumpitan..”. Plus tambahan kalimat nyeleneh di kartunya, “Sori ya, aku nggak iso berpuisi, sikilku wes kesel muter-muter”. Tanpa ekspresi.

Ada juga Reza, yang dihari terakhir gw ngantor, dengan baiknya, bersedia nemenin gw sampe didetik terakhir. Lambaian tangan dalam diam-nya seolah berarti banget buat gw.

At least untuk saat ini, I know, gw nggak bakalan mati merana sebagai orang yg bukan siapa-siapa. I have friends, good friends of mine. Also have a lovable parents.

Well, pada hakikatnya, setiap orang, bagaimanapun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita. Dan gw dan segala keterbatasan gw, akan berusaha meraih semua cita-cita itu, demi orang-orang yang gw sayang.

I Love You All, guys.[]

Tentang Para Pahlawan Wanita itu

Only silence that is the true friend that never betrays. Silence is so great, it feels like a black coffee with a slice of panettone cake. Perfectly sweet, smells good, but a bit surrounded by a bitterness-bitterness of life.

Gw menggeser posisi punggung, mencari posisi yang lebih nyaman. Butir-butir moisture sisa musim semi yang menari-nari mengelilingi udara disekitar gw, berasa hangat, berat dan pekat. Akibatnya, langit malam yang harusnya hitam memikat, menjadi agak merah dan sedikit gelap.

Kaos Ho Chi Minh gw berkibar-kibar riang ditiup angin yang temperaturnya hampir bikin gw sinting. Panas memang, tapi gw menikmati hawa panas ini dalam kesendirian gw. Lagipula, I got a very breathtaking scenery up here. Very much entertaining, so the feel of hot and loneliness (heleh) has gone away.

Entahlah, gw kalo ketemu balkon, pasti bawaan gw menerawang, mikir-mikir hal-hal yang pernah lewat dihidup gw. Seperti halnya hal-hal baru ini, hal-hal yang menekan batin gw hingga sangat erat. Sampai-sampai gw nggak ngerti, apa yang harus gw lakukan.

Kemarin, gw jalan-jalan sama si Zikhry ke Victoria Park, menurut gosip, kalo kangen indonesia, lu ngacir aja ke sana. Karena banyak pahlawan devisa (TKW – termasuk gw, hihihi) asal Indonesia yang main ke park; gw sebut park bukan karena sok, tapi akan jadi terlalu aneh kalo gw sebut: taman yang luas, terlihat hijau, tradisional namun hi-tec ini.

Belum masuk ke area park, gw udah disambut sama swalayan made in Indonesia. Gw lantas norak bukan main. Jingkrak-jingkrak bak anak kecil dibeliin boneka tinky winky. So excited!

Didepan toko itu ada beberapa wanita duduk-duduk, lesehan. Dari ciri khas betapa moving fast and so much western-nya kota ini, gw bisa nebak, pasti mbak-mbak ini orang Indonesia. Haha. No offense ya.

Gw memberanikan diri masuk kedalam, penasaran aja, apa sih yang dijual di warung Indonesia ini?

Setelah gw liat-liat, emang banyak banget produk indonesia yang dijual disitu, dari kosmetik, makanan (ada nasi gudeg yang bisa dipanaskan loh!), bumbu, snack, beng-beng, bahkan ada MARNING! (mending googling deh kalo nggak tau Marning itu apa).

Harganyapun relatif sama, misalnya aja gw kemarin beli lotion merk x, harganya 18 rebu di Indonesia, di sini dijual $16 (kurs $1 = Rp 1210). Trus kripik KUSUKA fave gw, harganya $6. intinya fair lah, nggak belagu yang punya toko.

Di toko sini juga ada pengiriman uang khusus, tanpa potongan. Ada juga electronic storenya, yang dijual hanya MP4 player, ponsel, n gadget telecom yang simple gitu lah. Nggak lupa jual emas-emas juga. Mungkin yang punya toko tau, kalo para TKW pada suka nyimpen emas.

Puas mampir-mampir ke warung tadi, gw memasuki area dalem Victoria Park. Well, typical khas orang Asia, kalo nggak foto-foto dulu, ya nggak apdol. Haha!

Setelah gw dan Zikhry menggila foto-foto, kami iseng duduk dideket situ, awalnya sebelah tempat duduk gw, orang Pakistan, ganteng! Tapi nggak lama, orang itu pergi dan datanglah, guess what?! Mbak-mbak, berdua dengan logat yang jawa super medok!

Seperti biasa, gw anaknya excited-an, makanya mereka gw culik, ajak ngobrol dikit. Mereka seneng banget juga. Untuk mengkamuflase agar mereka lebih open wawancaranya, gw ama Zikhry ngaku anak kuliahan, lagi research. Waks!

Setelah beberapa waktu wawancara, muka gw nggak begitu excited lagi. Ada beberapa fakta yang bikin gw kesian aja sama mereka. They really crawl from the deep abyss.

Standardnya, gaji mereka $3480 (HKD) sebulan (kurang lebih 4.210.800 IDR). Dan mereka harus setor ke PT (nyebutnya sih gitu, agen kali ya) $3000 perbulan selama 7 kali. Setornya gampang, bisa langsung, bisa lewat 7eleven (mirip-mirip Indomart di Indonesia).

Jadi intinya perbulan mereka cuma dapet $480 (580.800 IDR) aja. Kalo kontraknya 2 tahun, enak, tajir aja. Tapi kalo kontraknya cuma 12 bulan? Yah, mereka cuma punya waktu 5 bulan buat nikmatin full rate gaji mereka.

Gw terbayang, buset daaah (ini bukan umpatan), Zikhry aja ibaratnya dibayar beratus-ratus dollar per hari disini, kerja Zikhry yang nggak sampe jam 9 malem, dikenakan pajak juga nggak sampe $3000 tuh. Wadoh kok begini amat realitanya!

Itupun masih ada satu-dua orang, karena NGGAK PUNYA (bukan MINIM) pengetahuan, baik pengetahuan tentang: minimum wage, rights and semua rules yang related and applied di sini, ada yang cuma dibayar $1800-$2000 sebulan!

Well, maybe money is not everything, but sometimes without money everything becomes nothing. Makanya dibela-belain.

Hm.. sujud gw bertambah dalam hanya untuk memikirkan hal ini.

Well anyway, mereka so pasti cerita yang seneng-seneng juga lah. Dalam kondisi seperti itupun mereka masih mensyukuri, jika mereka jauh lebih baik daripada TKW yang pergi ke Arab, atau Singapore. Karena di sini human rights lebih dihargai. Sebagian besar majikan sudah sadar terhadap hak-hak yang dimiliki para TKW ini, sehingga, the rights is fully given. Ditambah disini lebih bebas juga katanya. Haha jadi mereka bisa make baju suka-suka.

Nggak sadar, gw nyerocos aja, meminta mereka berpendapat, apa sebenernya harapan mereka terhadap pemerintah indonesia saat ini. Kurang lebih jawabannya kayak gini:

“Gini lo mbak, pemerintah kita itu kurang memberikan penyuluhan buat kita-kita (kami, mungkin maksudnya), jadi kita banyak yang nggak tau soal aturan itu. Jadi kalo dapet majikan yang kurang ajar, kebanyakan, kita Cuma diem aja, karena kita nggak tau hak kita sejauh mana.”

“Pelayanan di konsulat (KBRI) juga buruk. Kalo tanya-tanya dikit, mereka suka melayani dengan seenaknya, bentak-bentak. Tapi yah, dibanding yang lalu-lalu, pelayanannya meningkat sih, sekitar 2%.” Lalu mbak itu tertawa. Gw masih majang muka serius.

“Harusnya kayak konsulat pilifina (Philiphina), mereka itu bagus mbak pelayanannya, ngurus TKWnya juga serius, makanya jarang orang pilifin yang gajinya dibawah standar, jarang juga ada yang dikibulin sama majikannya, mereka berani ngelawan, karena mereka tau persis hak dan kewajiban mereka.”

Awan bergerak tanpa berarak namun melambat dan sekarat, hanya hening yang menemani panjangnya jeda helaan nafas Mbak Mini (nama sang TKW narasumber). Mungkin dia ingat anak-anaknya, bisa jadi dia ingat kampung halamannya. Gw nggak pernah tau.

Kalimat gw selanjutnya patah, penuh rasa bersalah, “apa yang bisa aku bantu, mbak mini?”. Mbak Mini Cuma tersenyum, menepuk-nepuk pundak gw, “sudah, sekolah saja yang benar.”[]

Lelah Tanpamu

Aku masih mencintaimu meski diatas kertas cinta itu terlarang.

Kusadari bahwa aku telah mencintaimu semenjak dulu. Semua foto dan surat telah terlanjur kubakar, setidaknya agar kita berdua menjadi tenang. Walaupun sesungguhnya hatiku hancur saat api menghanguskan hartaku yang paling berharga itu.

Tetapi gambar, suara, dan bayang jelas dirimu dihatiku.. mustahil bisa kusirnakan.

Pesan ini bukan simbol bahwa aku mengajakmu rujuk dan bisa menerimaku kembali. Aku hanya ingin menyampaikan berita tentang aku. Tentang aku yang lelah.. dan sangat lelah hidup tanpa dirimu.[]

Wanita Bekerja

Arum: lo nggak tau alasan gw untuk tetep kerja dit, jangan timpang sebelah dulu

Radithya: Nggak, pokoknya istri kudu di rumah urus anak & jaga amanah rumah

Arum: gw maklum kalo lo berpendapat gitu karena lo nggak tau background gw

Radithya: kalo istri kerja, jadi lah istri pembakang, ga berkah istri kaya begitu

Arum: apapun itu, gw hargai pendapat lu, toh gw juga kagak mau merit ama lu

Radithya: gara-gara ortunya dua-duanya kerja, jadi lah anak-anaknya anak pembantu, kasian de tu anak..

Arum: nggak, kalo emaknya gw, tujuan gw kerja bukan duit kok, insya allah mulia, banyak berkah

Radithya: blom kawin seh bisa ngomong gampang, ntar kalo anak sakit …..uda cape kerja ..cape pula anak sakit

Arum: Yang kaya gitu kan nanti nata sendiri, adapt lah bisa, lagian kalo kerjanya nggak nganggep beban, dan kalo anak juga nggak dianggap sebagai beban, sebagai manusia yang punya nurani, gw nggak akan ngerasa capek dit, lagian gw kan nggak kayak elo: PNS, tukang korupsi, narrow minded, overjudgmental pula..

==================================
Setelah berhari-hari, otak gw masih kram. Conversation gw sama si Radit Monyong barusan bener-bener triple strike (telek) banget buat gw. Gila! Secara nggak langsung gw didoain masup neraka ama dia. Sigh..!!

Well, rasanya kira-kira memang mustahil untuk bisa tepat mengenali manusia secara logis dan mendalam. Karena pemaknaan masing-masing individu terhadap suatu konsep atau cara pandang perihal tertentu JELAS berbeda, sejalan dengan perbedaan teori ilmiah yang dimiliki masing-masing. Singkatnya: mahzab filsafatnya beda.

Orang-orang kayak gini, berani melontarkan kritikan-kritikan maut tapi ngawur. Biasanya mereka meletakkan sasaran kritik mereka berdasarkan maunya mereka aja. Toh nggak harus sampe mengeluarkan kata-kata menyakitkan buat orang lain untuk menyampaikannya kan? Kalo kata kitab suci agama gw: Dan ajaklah mereka berdebat dengan cara yang sebaik-baiknya (QS – 16:125).

Gw rasa semuanya bakal baik-baik aja atas dasar dukungan dan kebijakan si husband will be agar nantinya kita dapat mengupayakan tawazun (keseimbangan) antara kerja, diri probadi dan rumah tangga.

Gw adalah satu dari jutaan pemikir yang sadar akan tanggung jawab sosial gw, dan gw nggak akan ngelepas tanggung jawab itu barang sekejap. Jadi, please deh para cowok, kompensasi dan hak trial sebagai wanita yang bekerja juga wajib diberikan kepada gw dan mungkin ribuan wanita yang kayak gw, kaum mustadh’afin: orang-orang yang tertindas sepanjang jaman.

Dikutip dari buku kuwair:

Kecerdasan dan kecendekiawanan, adalah dua hal yang dapat membuat seseorang mampu memutuskan belenggu-belenggu yang membelit dirinya dan menjadikannya mampu mendahului jamannya.[]

Tentang Akhlak

Senja meredup manja. Semburat biru mulai mendominasi kanvas merah di sore berbau laut itu. Leichhardt, with a beautiful water view, is my favourite place. Berjalan bertelanjang kaki, sepanjang the water’s edge then follow the harbour foreshore for very long way has been put some undescribe-and-happy feeling for me.

There are lots of ways to appreciate something. Can be appearance, can be substance. Namun, kali ini gw hanya ingin merasakan kedamaiannya aja. No camera shutter, no cell phone, nobody, nothing. Hanya ada gw, biru laut, langit sore dan (tentunya) Tuhan.

“Mak!!”

Suara ini demikian familiar di gw: Dennis.

“Weh, ngapain mak….?!”

Gw berkedip-kedip. Suasananya tiba-tiba berubah. Gw baru sadar, kayaknya gw barusan nggak sengaja ketiduran di meja kantor gw. (Asyiem..).

Banyak pengunjung tetap di cubical gw. Well, nggak sombong, tempat gw emang punya view paling bagus. Segala beban, kata temen-temen gw, kerasa plong kalo udah numpang duduk sebentar deket sini. (Bilang aja mau deket-deket gw hehe).

Salah satunya, Dennis. Dennis ini salah satu sahabat favorite gw dikantor. Dia typical cowok yang betul-betul bisa dibilang cowok banget. Lembut, manis, tata kramanya bagus, dan lucu.

Dia juga sangat bertanggung jawab, ya sama kerjaan, ya sama keluarganya (dia jadi kepala keluarga setelah papanya meninggal). Anaknya nggak gampang ngeluh, selalu bersyukur dan nerima apapun kondisi dia sekarang. Gw rasa dia bakal sukses dengan attitude dia yang pantang nyerah but so sweet dan nice itu.

Sebelum resign, Dennis sempat mengungkapkan, betapa bahagianya dia bisa ketemu lalu kerja bareng sama gw dan juga temen-temen yang lain.

Gw jadi inget, dulu gw punya temen kantor (sebut saja Sheila), anaknya bawel dan apatis banget. Seinget gw, udah banyak kata-kata nggak bersyukur keluar dari mulut dia. Padahal saat itu, kondisi Sheila (jauuuuuh banget) 89 kali lebih baik daripada Dennis.

Mending kalo cuma ngeluh (karena ngeluh itu manusiawi). Tapi ini mah: su’udzon ama orang, nyelain/nyacat orang, sama sekali nggak berterimakasih atas hidup, nggrundel (aduh, nggak ada terjemahan bahasa Indonesianya “nggrundel” ya?). Well, kalo kata pak ustad gw di pengajian: “Hatinya penuh kerewelan yang mubazir. Hatinya tak kunjung selesai.”

Kayaknya, energi, pikiran dan hatinya dikuras BUKAN untuk napak kedepan. Saat itu, dia lebih asyik mikirin gimana nyari kemungkinan pekerjaan lain yang menurutnya lebih berGENGSI dan berpendapatan lebih tinggi, dibanding asyik melatih ketrampilan baru atau rajin mencari peluang-peluang yang bisa mengembangkan hidupnya (hidup yang bukan sebatas pekerjaan aja).

Tapi sekalinya dibahas, malah kata-kata tuduhan apatisnya Sheila yang keluar: “Seinget gw, setiap ada yang resign, lo selalu bersikap gitu tuh, ngejutekin orang pindah, kalo lo ga pindah kan, bukan berarti semua orang harus ga pindah..”. Dan itu semua nggak bener.

Itu kalimat terakhir dari Sheila yang sangat-sangat mengecewakan gw. Rasa sayang gw kedia saat itu bener-bener terdiscount hampir 70%-nya. Emang sih, Sheila nggak satu-dua kali kayak gini sama gw, bahkan bisa dibilang Sheila mampu melampaui record cowok-cowok keparat dalam hidup gw dalam hal bikin gw nangis.

Gw sih mau aja jawab: “you crazyface damn ass..” (dibahasakan: “Raimu, cuk!”). Tapi gw nggak tega, Sheila terlalu manis (diwajah) untuk disakiti. However, dia juga pernah bikin gw ketawa dan bikin gw seneng juga.

Well, namanya juga manusia, selalu rakus akan tuntutan, haus akan ketidakrelaan. Hatinya Sakaw: menagih, menagih, dan menagih.

Bisa jadi karena dia adalah produk dari suatu masyarakat feodal yang hobi memelihara kebodohan. Dia adalah anak dari jaman dungu yang tidak pernah menggali akal dan rasionalitas, sehingga tidak pernah mengerti bahwa menempuh hidup yang mulia adalah dengan menjalani hidup yang benar dan baik, tanpa menyakiti orang lain.

Sebenarnya persoalan ini, intinya bukan membahas tentang gw dan masalah gw sama Sheila. Gw cuma mau memberitakan, bahwa sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu memudahkan persoalan dan gampang menuduh apalagi menyakiti orang.

Jangan dipikir gula pasti manis atau pare pasti pait. Gula nggak mesti manis. Intelektual nggak mesti mampu berpikir. Dan sarjanapun nggak pasti pinter. Sama aja dengan ‘kata-kata’: mungkin lo gampang banget ngeluarinnya, tapi lo nggak akan tau gimana sulitnya kata-kata itu diterima oleh orang lain.

Kalo kata manager finance gw, Lia dan alkitabnya, “yang masuk kedalam mulut lo, apapun itu, keluarnya tetep sama. Jadi nggak masalah. Tapi, apa yang keluar dari mulut lo, itu yang harus lo pikirkan, karena lo nggak akan tau, gimana efeknya ke orang lain.”

Lalu, Bokap gw juga menjabarkan hal yang sama lewat bahasa yang lebih simple: “Aji ning diri, soko lathi” – bagaimana kamu, adalah bagaimana lidahmu berujar.

Jadi, beranikah lo berperang melawan diri lo sendiri untuk mengurangi sikap gemagah kepada orang-orang lemah? Sanggupkah lo mengalahkan obsesi kehidupan lo sendiri untuk merintis peperangan-peperangan yang at least lebih punya harga diri?

Segala makhluk adalah hamba Tuhan, dan segala hamba yang dicintai-Nya adalah yang sebanyak-banyak memberikan manfaat kepada makhluk-Nya. So, berhentilah untuk saling menyakiti.

Mulailah untuk membangun suatu noble traits of character (makarim al akhlak) dalam diri masing-masing. Mulailah meruntuhkan tembok-tembok kebanggaan terhadap sifat apatis yang lo miliki. Mulailah belajar mengeluarkan kata-kata yang lebih bijak.[]

Sinisme tentang Perempuan

Seorang teman gw yang sangat pintar dan baik (bu Dian) bilang: “proof of life is, if you are a pretty woman, people will talk to you nicely, but for my case-as a proud ugly and old woman-they DON’T even need to STARE AT YOU while you were talking to them, needless to answering it nicely. Sanity really takes place for such behaviour”.

Wanita cantik memang selalu mendapat apologi untuk apapun kesalahannya. Mau dia matre kek, yang penting cantik. Mau dia oneng kek, yang penting cantik. Mau dia nge-babu-in elo kek, yang penting cantik. Well, sangking bodonya, kaum cowok pasti nerima-nerima aja (sebelum mereka bener-bener disakitin).

“Yum, gw tiap hari ada full 24 jam buat Rima. Pagi gw jemput, pulang gw anter. Bahkan karena kantor dia lebih jauh dari kantor gw, gw rela dia bawa mobil gw sedangkan gw naek bus. Apapun yang dia mau, sebisa mungkin gw penuhin. Gw sayang banget sama dia and 6 taon kayak gitu terus, for damn 6 years!!”.

Seperti biasa, kalo dicurhatin gitu, muka gw pasti ruwet (baca: cantik) banget: naik-naikin alis sambil manyun-manyun gak jelas. Radit benar-benar devastated. Pacarnya minta putus mendadak plus tanpa alasan (gosipnya sih kecantol pria yang lebih kaya).

Radit bergumam, “gw yakin, Rima pasti diSANTET”

Waduh! Sambil setengah mendelik, gw membetulkan posisi duduk gw. Ampun deh, cowok memang benar-benar bodoh dan rapuh dalam kondisi terpuruk. Yang bisa gw lakukan saat itu, cuma men-tunyuk-tunyuk jidat gw, sambil sesekali geleng-geleng kepala (tunyuk-tunyuk = memencet yang memijat *heleh*).

Dihadapkan pada Radit yang masih bimbang dan menerawang, hati kecil gw menyesali, betapa kejamnya cewek-cewek model begini. Model cewek selfish matre nan manja plus nggak jelas. Model cewek yang menganggap ¡§hati¡¨ itu cuma sekedar keratan daging yang bisa ditusuk, dirobek-robek, diuyel-uyel, dimainin, dibejek-bejek sak penake udhele dhewe. Cewek yang menganggap otak-nya hanya sebagai sumpel kepala (nggak ada bedanya sama sumpel kutang) alih-alih biar kepalanya bagus, bundar dan terlihat ADA isinya.

Called me synical! Well, I do!

“yah ndut, cewek gw nggak bisa diajak makan di angkringan (dipinggir jalan), kasian, dia nggak biasa”. (Padahal wisata kuliner itu SAMA SEKALI nggak asik kalo di mall).

“Rum, gw agak telat nih, bilang sorry ama anak-anak yeh, abisan cewek gw nelpon, katanya payungnya ketinggalan dirumah, dia mau minta ambilin payung, makanya gw mau kerumahnya dulu ngambil payung, trus ngantur tu payung ketempat lesnya. Abis itu baru gw kesituh”. (mending minta jemput sekalian pas pulang, dibanding harus stupidly nyuru-nyuru orang lain untuk ngambilin barang-barang lo..)

“Yum, gw kagak ikut dah. Gw lagi miskin, ga punya duit cash. ATM gw lagi dibawa ama cewek guah. Besok aja deh jalannya, sekalian ngajak cewek gw.” (Anjrit. Duit itu pake capek kali nyarinya)

(T___T) Hhhhh¡K¡K¡K

Jadi inget, gw pernah dikirimi SMS, isinya: “don’t pray for an easy life, but pray for becoming a stronger woman”. Hm, padahal masih banyak kata kata lain kayak: prettier, or smarter, or dsb dsb. Why has to be stronger? Kenapa justru konotasinya terkesan maskulin untuk sebuah subjek yang feminin?. Gw berpikir keras, there must be something beyond this.

Look, selain cantik, perempuan itu harus mandiri, pintar dan berkarakter. Bukan pintar dalam batasan degree/ijazah, tapi juga emotively smart (bahasa engineernya: adaptif). Yang paling penting: dapat membangun pribadi yang egaliter (merasa sama dengan orang lain). Karena dengan menjadi sama, setidaknya kita menjadi lebih peka dan respect terhadap keadaan. (At least, being aware terhadap hak maupun kewajiban selayaknya perempuan yang berakal dan berbudi pekerti luhur).

Girls, hidup itu seni kompromi. Lo harus bisa mengkombinasikannya dengan ciamik (pas dan tepat). Jangan terlalu mengandalkan atau bergantung pada orang lain. Dan yang paling penting, belajarlah mengenali potensi diri sendiri demi hidup yang lebih baik.

Beuh, lagian rugi cong (dari bencong), kalo hari gini masih menjadi typical perempuan jadul jijay manja cupet kuper bodo. Anyway, untung banget kok kalo loe bisa mengkombinasikan cantik, pintar, dan kuat sekaligus dalam satu paket. Coz believe me, smart and beautiful women are seriously dangerous.[]

Evil VS Devil

Venue: Kereta AC Ekonomi Ciujung
Waktu: hari terakhir menjelang wiken
Mood: PMS time

—–

Sang Bapak: “Mas tolong kasih tempat duduknya buat si mbak ini” *Nunjuk ibu-ibu hamil gede banget yg lagi kepegelan*

Mas-Mas: “Enak aja, saya juga pegel nih pulang kerja, pak..”

Sang Bapak: “Mas, tapi mbaknya ini lagi hamil gede banget, berat, tolong pengertiannya”

Mas-Mas: “Cari ditempat lain aja deh! Ganggu banget sih..” *mengibaskan tangan*

Gw: *nggulung koran kereta gratis, sambil setengah kesetanan* “Heh stupid! Dia ini hamil dan butuh duduk!! Lo kira perut buncit iney *nunjuk perut mbaknya pake koran* gara-gara busung lapar?! Lo punya otak kagak?! Pake dong otaknya!? Oncom!! B’diri kagak lo?!”

Mas-Mas: “Siapa lo?! Ngomong merintah-merintah, teriak-teriak udah kayak orang nggak berpendidikan!”

Gw: “Heh, asal lo tau yeh!! Anjing gw kagak sekolah, Tapi dia ngerti gimana memperlakukan ibu-ibu hamil!! Bikin malu negara aja lo!! Buruan!! B’diri!!!”

———

Bahasa Indonesia ada tiga macam: bahasa Indonesia yang baik, yang benar dan yang enak. Mungkin kali ini, untuk memberikan pengajaran, gw harus nggak pake ketiganya.

Plus abis ini gw musti Ngaras (nyembah) lebih lama dipun gusti Allah kang murbeng dumadi (nyuwun ampunan, ya Gusti). Karena hari itu gw udah bener-bener lelah dan khilaf liat manusia Indonesia yang benar-benar terkutuk (audzubillahimindzalik). Untung banget, saat itu gw kagak bawa FN atau granat. Bisa mati se-kereta ntar.

Sigh. Kalau dirasa mampu, apa sih susahnya berkorban sedikit demi orang lain. Tampaknya sulit sekali berkorban (atau lebih tepatnya: berbagi) sedikit “pengertian”. Toh “pengertian” nggak akan ngabisin duit tabungan loe kan?

Katanya, dalam suluk dalang dalam wayang, Indonesia adalah surga yang turun ke dunia, negeri gemah-ripah, loh jinawi, tata tentrem, kerta rahardja. Orang Belanda menyebutnya, het zachtste volk der aarde (bangsa terlembut di dunia). Tapi apa yang terjadi sekarang? Kemana perikemanusiaan yang adil dan beradab? Kemana?

Gw sangat paham, jika gw sedang hidup dalam masyarakat yang dibangun atas dasar kedzaliman dan penindasan, kebodohan dan apatisme. Tapi itu semua bukan berarti gw juga harus diam dan being part of them.

Gw jijay ngeliat orang yang memandang dirinya sebagai bagian dari kaum intelektual, namun nggak sama sekali berpartisipasi menghadapi dekadensi. Malahan terkungkung oleh kebingungan, lalu menahan diri untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya baik karena takut mengalami penindasan. Yang kata bokap guah: Mbejujak! Dzolim! Tercela! Yang (juga) kata Pram: Perikemanusiaan limited.

Please people, janganlah hanya berusaha diam (alih-alih sabar) dan tahan memelihara kebodohan semacam itu. Gw jamin kita akan terus-menerus sengsara dan nggak akan pernah memproleh solusi apapun atas segala masalah.

Tapi selamat Bung! Karena Anda memang hidup di tengah manusia modern yang merasa dirinya pahlawan-pahlawan rakyat namun yang otentik dan kongkret dalam khianat, sinisme, kecurigaan buruk yang berpotensialitas setan. Sehingga menurut gw, nggak dosa kalo kala-kala setan harus dilawan dengan setan.[]

Sakit Sendiri


“Please don’t go, I’d take care of you for the rest of my life..”.

The air is as silence as it might be frozen. The impuls of the moment, nearly kills your nerves. Barely kills you, when the truth is even harder to absorb then a light.

Kalimat terakhir dari James benar-benar membuat gw mikir setengah mati. Namun apa daya, gw dengan teganya pergi gitu aja, bahkan tanpa sepatahpun kata a dieu ke dia. Well, kalaupun gw ingin, I’m in a half way back to Indonesia, dan rasanya gw bukan superman yang dengan oncomnya bisa terbang balik ke negara antah berantah itu.

Gw bahkan nggak kenal James sebelumnya. Gw baru kenal James setelah minggu pertama gw dinyatakan bebas menjelajahi that urban-living city by Boss gw.

Gw ketemu James saat gw sedang melepas ragu dan menikmati keramahan senja Star Avenue pada weekend itu. Akhirnya setelah beberapa test, gw memutuskan kalo James adalah jenis alien yang harmless dan bisa dinobatkan sebagai my new alien friend. Anyway, as he has lived for years there, so bisa dong, doi gw manfaatin jadi tour guide gw selama gw ada di this urban-living city.

Walaupun emang sih, dari pertama ngeliat gw, James nggak pernah lagi memalingkan matanya yang kadang biru kadang hijau dari gw. I know from the first time, he likes me.. a lot.

James always bilang, muka gw unik, mata gw begitu bening dan besar. James juga bilang, gw bahkan nggak perlu pake eye shadow atau Sharma (eye-liner) untuk mempertegas keindahan mata gw. James bilang, aura gw beneran kuat untuk membuat dia nggak bisa tidur setiap malamnya gara-gara gw. Pujian yang menurut gw aneh dan nggak wajar, coz I never being flattered like that before.

Cowok-cowok lokal (made in indonesia) yang bersama gw jarang ada yang bisa sejujur James. And I admit it, lama-lama, gw jadi penikmat kalimat-kalimat manis yang terlontar dari James.

Well anyway, I’d never take everything as a serious matter. Coz gw pikir, semua cowok alien itu memang suka terlalu ekspresif, jujur dan lebay, and fortunately, gw juga tipikal cewek yang perkasa dan kebal terhadap kata-kata perpisahan ataupun rayuan busuk seorang pria, sehingga gw lebih menikmati acara jalan-jalan gw dibanding kebersamaan gw bersama James.

Gw juga percaya pepatah kuno: “Janganlah tergesa-gesa, supaya tidak ada yang terluka” dalam membina sebuah relationship.

Well, anyway, gw merasa kalaupun gw jatuh cinta sama James, this kind of relationship will never work for us. We are just too different. Mata James terlalu biru untuk bisa melangutkan kehangatan cinta yang pastinya nggak berhenti dia kasih ke gw. James terlalu mirip tiang bendera untuk bisa gw pegang pipinya, saat gw pengen mengekspresikan betapa gemesnya gw sama segala jokes yang dia kasih. Rengkuhan James terlalu dalam untuk gw jadikan sandaran saat kami berdua terdiam menikmati malam.

Bayangan-bayangan itu terlalu nggak irrasional, absurd dan impossible buat gw.

Gw selalu beharap dicintai laki-laki seperti halnya James mencintai gw. Gw selalu beharap dipandang just the way I am seperti halnya James menerima gw apa adanya. But once it happened to me, it just not right, everything went so wrong.

And finally, I hurt James so bad. Apalagi ketika dalam kalimat penolakan gw, James berujar: “Sungguh, kupikir semua akan menyakitkan buatku untuk sekedar mengingat dan menikmati senyumanmu dari jauh”

Hingga kini tiap malamnya, gw selalu melayang-layang, bermonolog, berdialog intensif dengan Tuhan. Ibarat Anritsu Wiltron, gw menerka-nerka apa yang salah dalam diri gw, nggak lupa memohon ampun sedalam-dalamnya kepada Tuhan atas segala luka dan kekecewaan yang gw goreskan didada kiri James.

Mencintai pada akhirnya bukan menjadi pilihan, melainkan sebuah keputusan. Itu merupakan suatu rumusan kesedihan yang tak terelakkan.

Gw harus bisa menata kembali perasaan gw yang juga hancur karena memikirkan kepedihan James. Gw harus bisa belajar menyederhanakan arti cinta, dan menerima segala kekacauan yang gw buat ini sebagai bentuk pertanggungjawaban gw.

Walaupun dalam hati kecil gw, gw sempat bersumpah, jika suatu saat, gw ketemu another “James”, gw akan mulai belajar mensikapi perbedaan itu searif mungkin. Sehingga nggak akan ada lagi yang merasa sakit atau disakiti. Karena, sumpah lo, menyakiti orang lain itu terasa lebih menghimpit dan menyesakkan dada lo sendiri.[]

Pelajaran tentang Pendidikan

Bongkahan Lion Rock disisi barat, dengan angkuh merajai dan mengisi setengah langit merah yang sedikit-sedikit mulai merembang, kadang biru kadang hitam.

Gw merasa, seolah batu itu bernyawa dan bisa merasa. Sejatinya, gw memang pengen seseorang mengerti kalo saat itu perasaan gw sedang dihimpit ragu, dan dalam kungkungan rasa tak menentu.

Disebelah gw, Si Boss masih aja karaokean pake lagu Cina sambil tancap gas over 120 Kmph. Harusnya dia ikut Cantonese Idol, well, I admit it, kualitas suaranya lebih banget dari sederet hurup: l-u-m-a-y-a-n.

“Arum, if you were could, do you want to be a teacher?”

Speed FTO sporty merah ini mulai melambat. 100 Kmph. 90 Kmph. 80 Kmph.

“Hey Arum, I’m talking to you!” suara si Boss yang mulai meninggi tapi terdengar tetap lembut, menarik gw untuk segera go back to earth.

“Come again?” dengan sok tenang, gw membetulkan posisi duduk gw.

Si Boss cuman geleng-geleng kepala. “I was asking, if somehow you could, do you want to be a teacher?”

Seinget gw, gw cuma taking a long sigh, lalu dengan berat hati berucap, “If I could, I wish I could, Boss”.

Well, saat itu gw nggak perduli, Ricky, Boss gw, ngerti apa nggak maksut kalimat gw.

Ujung-ujungnya, Ricky dan gw malah ngebahas masalah pendidikan. Seru juga sih.

Awalnya gw dengan cengceremet bilang kalo gaji guru/pengajar di Indonesia itu kecil banget, kualitas pengajarnya juga nggak begitu baik karena sistem rekruitmen dan pengembangan pola ajar nggak ditata dan diatur dengan layak.

Padahal, biaya pendidikan di Indonesia mahal. Kalau mau dapat yang berkualitas, nggak gratis (Ricky bilang di HK, sekolah sampai kelas 12 gratis, dan orang tua bisa di penjara kalo nggak ngasih pendidikan yang layak buat anak-anakanya).

Dan oncomnya, Indonesia juga mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan pendidikan gratis. Karena peserta didiknya nggak punya ethos belajar yang baik. Dan di negara yang rata-rata peserta didiknya berethos buruk, pendidikan gratis adalah salah satu gerbang menuju kebangkrutan negara.

Why?

Karena orang tua merasa lebih ketat mengawasi pendidikan anak jika biaya pendidikan betul-betul mereka tanggung sendiri. Kalau gratis? Ya sekolah sekenanya saja, tanpa esensi, tanpa pemaknaan, tanpa output, nothing at all. Hasilnya? Negara seperti buang-buang duit aja.

Ricky cuman mengangguk-angguk. Dia pun menyambung cerita panjang tentang Guru dan Dokter yang dibayar sangat kecil di Cina.

“Arum, do you know the reason behind? As we all know, government could pay them as high as possible if they want to..” Ricky masih memandang lurus ke cakrawala merah. “Do you know why?” Kali ini dia tersenyum ke arah gw (lebih tepatnya smirking not smiling).

“do you know?” Gw dengan bego (sambil garuk-garuk) bertanya balik.

Ricky tertawa lebar, I never see him Laugh that hard.

Dengan rendahnya level penghasilan guru, otomatis orang-orang yang bisa dibilang berbobot dan pintar pastinya nggak memilih menjadi guru sebagai jenjang karier. Otomatis bangsa yang kekurangan guru berkualitas, ya jadi terbelakang, ujung-ujungnya rakyat yang terbelakang itu gampang di stir pemerintah.

Itu di Cina lho. Di Cina. Nggak tau deh kalau di Indonesia.

Seperti yang kita tau, berpikir yang benar merupakan pengantar menuju pengetahuan yang benar. Kebenaran tersebut akan membukakan pintu kesadaran kita. Coz tanpa kesadaran, kita hanyalah homo sapien berwawasan sempit dan bisa jadi terjerumus kepada kepengikutan buta terhadap berbagai macam khufarat, dan pada gilirannya akan menjelma menjadi batu keras yang menghalangi kemajuan umat.

Kata mba mel, temen gw, “…kita tidak akan pernah cukup punya waktu, untuk mengalami semua kejadian dan menarik pelajaran…”. Akhirnya kalo mikirin pendidikan Indonesia yang kacrut-kacrutan, gw cuman bisa mlongo, haduuuuuw..

Oh dewi pendidikan, kenalan dong![]

Kekerasan Hati dan Kelumpuhan Nurani


Gw selalu punya kebiasaan aneh, yang adegannya mungkin cuma bisa ditemui di film-film dokumenter ataupun film-film independen kelas festival, karena scene-nya biasa dipake untuk memberi tekanan dramatisasi di adegan-adegan monolog.

Dari kecil, gw selalu melakukan hal-hal yang nyaris sama setiap hari. Kehidupan gw ibarat konstelasi bintang yang posisinya selalu konstan dan nggak malang melintang. Well, semisal gw menemukan hal baru yang membuat gw merasa sangat amazed, maka percayalah, gw akan tetep disitu selamanya.

Contoh, gw suka Caramel Macchiato Starbucks, dari pertama gw ngerasain sampe akhirnya jatuh cinta (sama rasanya, bukan sama gengsinya), gw nggak pernah beli produk yang lain. Atau lagi misalnya: tempat duduk. Kalo gw datang ke suatu tempat, mau itu warteg atau cafe elit sekelas iL Mare, pasti gw akan duduk ditempat yang sama, plus memesan hal yang sama pula. Begitu juga tempat duduk di kereta, pesawat atau bis (pasti gw bakal milih baris paling depan/paling belakang dan dekat jendela).

Entahlah, Gw suka keteraturan. Dan gw selalu nyaman untuk ada dititik yang selalu sama itu.

Diluar itu, orang lain selalu berpikir kalo gw adalah salah satu contoh dynamic person, ever. I just don’t know why, but most people always thought that I run so damn fast beyond my own limitation.

Ah itu kan kata mereka. I still pretty much like glancing to the dark moon while taking a cup of macchiato in hands. Or even trying to be quiet for hours only to define the drop of the rains.

A bit poetic actually, but that’s what really happen.

Karena kebiasaan itu, tampaknya gw mulai betah tinggal di tempat sekarang gw berdiri, tempat dimana keteraturan dan orang-orang yang hidup didalamnya membuat gw iri setengah mati.

Sangking irinya, gw curhat ke Reza, salah satu member senior milis para oncom. Dan kita berdua sama-sama menyesali, seharusnya Indonesia tercinta bisa dibangun seperti ini.

“Gw sering miris rum liat Indonesia, sebagian besar isinya orang Islam, tapi nilai-nilai yg ada dilingkungan sekitar gak menunjukkan sebagaimana orang islam. Coba lo liat deh, baik disitu ataupun di negara-negara lain, kebanyakan, mereka dominan bukan muslim, tapi mereka bisa beneran menghargai kejujuran, penghargaan tinggi terhadap hak orang, dan nilai-nilai lain yang sebenarnya ada di Islam.”

Statement si Reza itu bener-bener bikin gw deg-degan. Bukan masalah SARAnya, tapi lebih ke perbedaan perilaku masing-masing kelompok masyarakat tersebut.

Kalo bicara soal agama, disini orang-orangnya sangat-sangat plural, jadi agama bukan suatu penyebab suatu bangsa bisa civilized atau nggak. Yang gw amati, sepertinya, the way they hold the basic principal of filosofi hiduplah yang sangat berpengaruh terhadap civilized atau nggaknya mereka.

(Sigh) sangat-sangat gw sesali, kelompok masyarakat yang satu, terlihat sangat civilized, sementara yang lain terlihat begitu primitif. Well, amplitudonya begitu jauh untuk negara yang hanya memiliki beda teresterial sejauh 3000 mil saja.

Indonesia adalah bangsa yang mengaku negara hukum, namun hanya sesekali menjalankan hukum. Yang mengambang tanpa kesadaran akan hukum, tanpa kesanggupan untuk mengapresiasi nikmatnya berkebudayaan hukum.

Indonesia adalah bangsa yang secara harfiah menjalankan ajaran agama, namun tanpa dialektika berpikir agama, nggak ada hukum resiprokal ataupun bait kausalitas yang seimbang antara input dan output dari nilai-nilai bijak yang diajarkan agama. Bahkan (sering gw temui) terdapat diskoneksi ekstrim antara praktis kehidupan beragama dengan hakikat keberadaan Tuhan yang sebenarnya.

Indonesia adalah bangsa yang sudah kehilangan ukuran. Ukuran apakah mereka sedang maju atau mundur, apakah mereka sedang dihina ataukah dimuliakan, apakah mereka pandai atau bodoh, apakah mereka menang atau kalah.

Indonesia adalah bangsa yang peta identifikasi dirinya makin terhapus, sebagai manusia, sebagai rakyat, atau bangsa.

Makarim al-akhlaq, budi pekerti yang mulia. Itu yang minim sekali dipunyai kebanyakan manusia Indonesia (bukan diniatkan untuk SARA, ini cuma masalah penggunaan bahasa aja).

Di Indonesia, nilai-nilai toleransipun harus dibatasi dengan memandang “kamu siapa” atau “datang dari golongan mana”. Rasa penghargaan terhadap orang lainpun ikut dikorupsi, siapa saja yang harus dihargai, haruspun turut dipilih. Apakah harus semua orang? Apakah tidak semua orang? Masyarakat Indonesia nggak tau.

Kita nggak hanya harus bebas dari buta huruf dan buta teknologi. Kita juga harus terbebas dari buta akan kesadaran hak-hak orang lain. Kita harus paham betul, bahwa aturan dibuat bukan hanya untuk ditaati, bukan hanya untuk menghindari penalti, tapi juga untuk menunjukkan tingginya martabat kita sebagai manusia karena kita menghargai hak-hak orang lain yang juga diatur lewat aturan-aturan atau norma-norma tersebut.

Misalnya aja gini. Peraturan tentang merokok. Well oke, nggak usah ngomong tentang aturan dari pemerintah dulu. Gampangnya gini. Dalam satu mobil/bis/busway/publik place dimana ada kehadiran orang lain, lo harus SADAR, lantas nggak akan berbuat bodoh dengan merokok didepan mereka. Kenapa BODOH? Coz smoking is not killing you, it’s killing others. Dan jika memang lo punya kesadaran kemanusiaan, maka lo nggak akan merokok DENGAN ataupun TANPA rules yang ditempel Pemerintah disitu.

Seperti apa kata Evangeline Booth, seorang pelaku reformasi sosial, Bukannya apa yang kita terima yang bermakna, tetapi apa yang kita berikan untuk orang lain.

Don’t be so indisgenious and relentless (keras hati), coz actually (with all due respect) CHANGE simply starts when we decide. And this is where all the journey is begin.

Jangan lumpuhkan nuranimu, kawan![]

Whatever comes our way, whatever battle we have raging inside us, we always have a choices, and it’s the choices that make us who we are. And we can always choose to do what’s right.