Ujian Tentang Kesombongan


Pada suatu hari, di sebuah antrian di Bandara Internasional, gw menemukan seorang ibu ibu pengusaha kaya (sepertinya begitu coz gw pernah liat jaketnya, berharga sekitar 2500 USD!! Beruntunglah gw suka windows shopping di mall-mall mahal, jadi ngerti, tapi nggak beli hahaha).

Ibu-ibu tadi mencak-mencak nggak karu-karuan gara-gara antriannya diselak oleh salah seorang TKW buruh migran asal negara kita tercinta.

“Heh! Pada tau aturan nggak sih? Nggak di Negara sendiri, nggak di Negara orang, kelakuan masih pada sama aja, kampungan! Antri dong!”

Para TKW yang diteriaki sempat kaget tapi setelahnya malah cekikikan bersama kawan-kawan se-gank mereka. Otomatis ibu-ibu kaya tadi tambah naik darah karena teriakannya nggak digubris. Hingga akhirnya ibu-ibu itu melaporkannya pada petugas bandara.

Gw nggak mau nerusin cerita tadi akhirnya kaya apa, yang jelas, some part of myself ngerasa ikut sebel ama kelakuan mbak-mbak TKW tadi. Karena pada hakekatnya, gw nggak gitu suka sama orang yang nggak menaati aturan umum. But anehnya, some other part of myself kok ngerasa kasihan ama mbak TKWnya, dibentak-bentak kaya gitu. Dan rasanya di gw kaya ada yang ngganjel, kaya ada yang nggak pas aja. But I don’t know what it is.

Beberapa waktu kemudian, ada kejadian yang mirip saat gw ngantri beli karcis commuter train di salah satu stasiun elit di daerah Sudirman. Bedanya, kali ini penyelaknya adalah seorang pekerja kantoran yang secara streotip: tampak terpelajar dan ngerti aturan-aturan dasar tentang bagaimana MENGANTRI TIKET secara baik. Tapi yo ngono, dia tetap aja nyelak antrian, walaupun dia diteriakin orang: “antri dong, mas! Ngga aturan banget sih?!”. Still for me, rasanya ada yang mengganjal. But I really don’t know why. Gw mencoba bertanya dalam hati: “Ya Allah, sebenarnya ada apa sikkk?”

Bulan demi bulan berlalu, sampai pada akhirnya gw melupakan kejadian itu.

Sampai beberapa hari kemarin. Hari dimana gw ketemu kawan lama gw, sebut saja Mia, disalah satu stasiun paling buluk se Jakarta, saat itu: Stasiun Palmerah.

Mia bekerja pada salah satu Bank BUMN terbesar di Indonesia. Dari setelan baju, jelas gw kalah jauh. Mia memakai blazer yang sangat kaku, begitu rapihnya hingga walaupun ada tsunami sekalipun, gw yakin itu blazer tetep akan jreng jreng kaku dan rapih seperti sedia kala.

Rupanya karena apes, kami berdua ketinggalan kereta, tepatnya ketinggalan kereta AC. Yups kereta AC yang berarti juga kereta dengan gerbong terisi angin dingin tanpa asep rokok.

Akhirnya, demi mengejar waktu, gw dan Mia menaiki kereta KRL ekonomi biasa. Tanpa AC. Dulu masih ada kereta macem gini. Banyak.

Didalam gerbong yang amat penuh, berdesakan, ada bapak-bapak, umurnya sekitar 45 tahunan. Merokok nggak karu-karuan. Asapnya ngebul kemana-mana. Ya ke muka gw, juga ke muka Mia. Mengalami nasip sial seperti itu, gw cuma pasrah menggeser-geser posisi duduk gw ke dekat jendela terbuka (well, tapi jendelanya emang kebuka semua sih hahahahahaha namanya juga kereta EKONOMI TANPA AC).

Mia ngedumel setengah mati, “susah ya emang, dasar orang kampung! nggak berpendidikan! nggak pada tau aturan, ngerokok di gerbong penuh begitu! Goblok!”

Kaget juga gw, ama omelannya si Mia. Ya gw emang sebel juga ama bapak-bapak tadi, tapi kok ya tumben gw nggak marah-marah. Malah gw ngebathin lagi, gw kenapa sik?

Padahal, for your information, gw itu biasanya selalu protes dan marah-marah, hobi ngomel deh pokoknya gw. Tapi kok sekarang kayaknya tumben aja gw nggak senewen. Apa karena faktor umur? Jiah gw makin wise gitu maksutnya? Halah.. nggak juga sih..

Well, lanjut. Sampai di stasiun tujuan, bau gw udah nggak jelas. Turun kereta, gw nyari bokap gw. Biasa deh bokap, selalu ngejemput anak kesayangannya saben malem di Stasiun dekat rumah. Rutinitas abadi. Bokap gw sambil nunggu gw, rupanya sambil ngopi. Kopi fave dia: Kopi jahe. Gw memutuskan untuk bergabung dan memesan segelas kopi hitam, tanpa jahe, dan hanya dengan sedikit gula.

Seruputan kopi pertama, panas, melonyot, membuat gw komat-kamit sebentar lalu membuka obrolan dan diskusi sama bokap gw soal perihal tadi. And, jawaban-jawaban yang terlontar dari bokap gw membuat gw mangap, nganga dan tercengang: Bahwa ini adalah ujian tentang kesombongan.

Jadi dulu, waktu gw nonton pilem “Passion of the Christ” sama bokap gw, gw inget ada penggalan adegan dimana Yesus berkata “Ampuni mereka Bapa, karena mereka tidak tahu..”. Padahal saat itu Yesus lagi disiksa, disalib, wah pokoknya adegannya: full-blood gitu lah, gw sampe ikut nangis.

Nah disitulah akhirnya bokap memberikan sedikit gambaran ke gw, jika “ketidaktahuan” akan kita membuat buta sekaligus membahayakan hidup kita.

Jadi untuk kasus TKW dan mas-mas kantoran yang kaga mao antri, serta untuk case bapak-bapak yang ngerokok di kereta api, sebenarnya sangat SIMPLE.

Mereka begitu karena mereka NGGAK TAU. “Nggak tau” berarti: maqam mereka terhadap sebuah pengetahuan tertentu: terbatas.

Dari situ, kata bokap gw, masalahnya bukan pada mereka, tetapi pada diri kita. Bahwasanya Allah sedang menguji seberapa jauh tingkat kesombongan kita terhadap segala ilmu yang telah Allah berikan kepada kita. Astagfirullah. Ini dia jawabannya.

Gw istighfar berkali-kali. Sekali lagi: rupanya ini ujian tentang kesombongan.

Karena itu seburuk apapun tampilan, sifat serta kelakuan seseorang, Allah tetap memberikan kemuliaan kepadanya. Entah apa. Itu bukan kita yang tahu dan bisa menilainya. Masya Allah.

Tanpa dibekali pengetahuan, kita betul-betul mirip ternak, yang tiap hari musti digiring kesana kemari tanpa mengetahui sebab musabab kenapa harus digirang-giring begitu.

Coba kalo semua ternak itu pintar, mestinya nggak akan perlu ada gembala ataupun dog shepperd dimana-mana. Ternak tentunya akan punya inisiatip sendiri-sendiri untuk mensinergiskan posisi mereka demi mengikuti keseimbangan perputaran jagad alam semesta raya ini.

Subhanallah.

Dan benar kata orang dulu, menuntut ilmu itu nggak cukup hanya sekedar sekolah disekolah mahal tanpa subsidi pemerintah, tapi juga harus kita cari di selipan tempat yang lain.

Kita cari di tempat orang bertumpuk berjejal bahkan berkeleweren di jalan-jalan. Di pasar. Di Warteg. Di Kantin. Di Belakang Mall. Di Mushola Sempit. Di Gang Senggol. Di tempat ibu-ibu bakul, bapak-bapak, anak-anak, orang-orang perkasa bekerja amat keras dan punya nyali besar untuk menghadapi kesengsaraan hidup.

Karena segala ikhwal kebaikan dan keluhuran budi pekerti, tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran. Dan bukan juga datang dari gedung-gedung sekolah yang memang dibangun untuk menyediakan prasarana elit, mahal, nomor satu, dan menginternasional. Bukan lagi juga datang dari jajaran laboratorium canggih yang diperuntukan agar kita menjadi orang pandai (dan TIDAK terutama agar kita menjadi orang yang baik).

Adapun hal-hal yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap sesama, kesadaran untuk meruwat keadilan dan kemuliaan, tidak merupakan urusan utama di dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan yang diajarkan di sekolah.

Sehingga kita selalu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali mengurusi kepentingan diri sendiri. Tangan dan kaki kita dilatih tidak untuk berbuat apa-apa kecuali untuk beringas memompa perut dan gengsi pribadi. Kita menjadi terdidik untuk tak paham kebersamaan. Dididik untuk menjadi segumpal keasingan, tidak untuk menjadi seseorang di tengah berbagai macam orang. Kita tidak diajarkan bisa kaya tanpa harta. Bisa makan tanpa sega. Puasa tanpa puasa. Dan beramal tanpa amal.

Dan gw sudah menemukan banyak sekali bukti, bahwa ternyata tingginya tingkat pendidikan dan luasnya ilmu seseorang, tidak membuat kasih sayang sosialnya meningkat. Karena pada hakikatnya, seperti kata Pramudya: tak ada orang terpelajar, dimanapun dia bertempat, akan melanggar hak-hak perseorangan.

dari pahitnya semua pengalaman itu, gw menyimpulkan, jika TERPELAJAR itu bukan berarti HANYA memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan memiliki perluasan ilmu yang cukup. TERPELAJAR juga berarti memiliki tingkat pengertian dan pemahaman khusus untuk mengejawantahkan jejak kehidupan. Sehingga hal itu memaksa kita untuk tunduk kepada kesombongan-kesombongan diri akibat ketidaktahuan dan kebutaan kita tentang bagaimana “tidak berdayanya” ilmu kita dimata Allah.

TERPELAJAR juga berarti mampu IQRA (membaca) kalamullah—ilmu-ilmu dari kitab Allah, yang terbentang minal masyriki ilal maghribi. Sehingga mampu membuat kita semakin paham dan mengerti lalu bersujud dan kembali merendahkan hati.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*