Tentang Mendengarkan

Dari kecil, bokap gw suka ngajak gw jalan-jalan untuk sekedar ngobrol dan ngajak bersama membaca dan memahami sekecil apapun tanda-tanda yang diturunkan oleh Gusti Allah. Gw masih inget banget, bokap gw dulu bilang: “Ilmu Allah itu tak terhingga, maka semua ilmu itu nggak mungkin diturunkan hanya di kepala SATU orang saja. Sama seperti halnya di buku ada ilmu, di bulir cahaya matahari ada ilmu, di rintik hujan pagi ada ilmu, di batang pohon pisang juga ada ilmu, di butiran pasir pantai juga ada ilmu. Begitu luas ilmu Allah..”

Bertahun-tahun lalu itu, saat dituturi, gw cuma diam dan berusaha keras memahami, walaupun at the end sebenernya gw nggak paham-paham. Hahahahahaha. Nah, Bokap gw itu suka kentang alias nanggung, jadi waktu itu gw ainul yaqin, kalo cerita tadi, sebenernya masih to be continued. Tapi entah continuednya kapan.

Dan ternyata, kemarin, setelah beberapa tahun setelahnya, gw (akhirnya) mengalami sambungan cerita itu.

Jadi begini, cerita itu berawal ketika gw memiliki seorang kawan yang punya hati kerasnya minta ampun. Dia selalu mengkritik, tapi sama sekali nggak mau mendengar. Jadi satu arah aja. Dan dia selalu menggunakan kalimat menyepelekan, sekaligus menyakitkan. Hobinya Nyacat pokoknya.

Kalo ditengah argumentasi, gw ngasih tau dia: “Dari dulu gw selalu diem, selalu diem dan nerima kalo lo kritik, tapi sekarang, gw mau lo yang dengerin gw.” Nah tuh, Dia pasti nanti jawab: “Kagak, gw KAGAK mau dengerin lo! Lo yang seharusnya belajar untuk menerima perbedaan”.

Kederrrrrrr. Sebenernya yang nggak bisa nerima perbedaan itu siapa sik?

Kawan gw ini selalu mengajak semua orang untuk ngikutin semua maunya dia. Mood berubah-ubah. Suka ganti plan seenaknya. Well, dia memang bossy, suka ngatur-ngatur hidup orang yang bahkan BUKAN keluarganya. Tapi yang namanya sudah berkawan lama, gw perduli dan mau dia sadar, jika dengan menjadi keras begitu terus, dia akan semakin menyakiti orang-orang yang menyayangi dia.

Gw cuma nggak mau liat dia kebangetan, sampe-sampe saat dia sadar kelak, semua orang yang sayang sama dia sudah demikian tersakiti, hingga pergi ninggalin dia. Sendirian dah. Emang enak?

Lagian bagi gw, menyakiti hati orang itu bikin hidup lo kaga berkah. Rejeki jadi kaga lancar, urusan banyak yang kaga beres, yah pokoknya kusut lah.

Hari ini, si Puti, temen gw inih, sudah melampaui batas. Telah sebegitu sangatnya dia menggores dan menyakiti gw. Dan gw memutuskan untuk menyerah. Gw akhiri pembicaraan kami. Lalu seperti layaknya species wanita lain disetiap akhir pertengkaran: gw nangis. Akhirnya gw sambil tereak di bantal, mengadukan nasip gw ke Gusti Allah: “Allah yang maha lembut, kenapa sih Engkau tidak bagi kelembutan sedikit saja ke dada manusia ini..!”

KZL.

Sedang manyun-manyun berduka lara, gw dipanggil bokap, disuruh mbetulin komputernya yang hang. Bokap sepertinya terlihat nggak perduli ngeliat muka gw yang kusut plus bendul bendul pada kedua mata gw karena nangis, tapi ternyata bokap merhatiin.

Ketika computer bokap udah nyala lagi, bokap gw nyapa gw dengan pertanyaan aneh, “Kamu masih inget nggak dulu papa cerita soal ilmu Allah yang Maha melimpah?”. Gw mengangguk sekedarnya. “Sini sini cobak duduk dulu..” lanjutnya ragu.

“Papa dulu bilang kan, kalau ilmu Allah itu maha melimpah, makanya nggak cukup ditaruh di satu kepala manusia saja. Inget nggak?” Gw tertunduk, memuntir-muntir kaos oblong butut gw. “Nah nduk, kalau kamu berantem sama orang, ojo gegabah. Dipikirkanlah lagi pelan-pelan, siapa tau memang kamu yang salah.”

“WHAT?!” Gw melirik judes, setengah kaga terima.

“Lhooo… dikandani malah mendelik.” Kata bokap. Gw tambah manyun. Bokap ngelanjut, “Ngene nduk, seburuk-buruknya kelakuan orang itu pasti ada kebaikan yang dia beri ke kamu. Hanya saja kamu belum pandai menangkap baiknya itu dimana. Yang sekarang bisa kamu tangkap malah esensi keburukannya saja.”

“yeile…” Bibir gw semakin monyong, walaupun gw sebenarnya mendengarkan.

“Kamu itu harus lebih banyak belajar lagi, belajar untuk mendengar hal-hal yang tak bisa didengar, dan belajar untuk melihat hal yang tak bisa dilihat.”

“Udah diliat dan udah didengerin dari dulu..!!” Sela gw judes. Masih sambil termanyun. KZL.

“Lha iki, blaik namanya.” Bokap gw menghisap rokoknya. Bara api berjatuhan menjadi abu yang mengapung ringan. “Kan sudah tak bilangin, kamu harus selalu mampu untuk mengembalikan semua ke dirimu sendiri, selalu berani untuk mengatakan: ‘lha iyo, jangan-jangan aku yang salah’. Karena itu otomatis akan membuat kamu merendah. Kita mampu menjangkau yang Maha Tinggi saat kita sedang rendah hati”

“…….” gw mendengar males-malesan. Padahal penasaran juga sama lanjutannya.

“Cobak itu kamu liat, orang di bukit sama orang di dataran biasa, kalau ngebor pompa air, siapa dulu yang dapet air? Lha yang posisinya lebih dibawah dekat air tanah to? Makanya selalu rendah hati, jangan sombong nanti malah ndak dapet air..”

“….” Dalam hati gw membenarkan.

“Setiap orang, walaupun dia 99% jahat, dia tetap punya 1% kebaikan. 1% kebaikan tadi itu merupakan ilmu yang sudah lebih dari cukup.”

“…” Gw mengangguk.

Ah, gw berharap sekali jika Puti mau belajar mendengarkan, karena dia nggak pernah tau, rahmat (Ilmu) apa yang akan Tuhan sampaikan dari waktu ke waktu buat dia lewat kata-kata orang lain.

Bukit tempat si Puti tinggal masih terlalu tinggi, Puti memilih untuk mencari ketinggian dalam kesendirian dia untuk mencapai mata air suci, dimana air air suci itu sendiri sebenarnya mengalir deras dibawah kaki tempatnya menengadahkan wajah.

Andai dia tau.

Memahami orang lain adalah kearifan, sedangkan memahami diri kita sendiri adalah pencerahan, kata Lao Tzu, ribuan tahun lalu. Dari sini gw sadar, sampe lebaran monyet sekalipun, gw memang nggak akan bisa ngerubah sifat kerasnya Puti. Gw nyerah. Gw milih nggak temenan lagi ama dia lagi. Selamanya.

Dari sini walaupun keilangan temen atu, gw Alhamdulillah bisa belajar tentang satu hal, bahwa siapapun orang itu, mau dia rampok, mau dia kyai, mau dia orang jahat, atau orang baik, well pokoknya siapapun itu, tetap bisa menjadi pengantar pesan dari Tuhan, apapun jenis pesannya. Maka belajarlah kembali untuk mendengarkan. Belajarlah untuk merendahkan hati, mengkoreksi diri: “ah, jangan-jangan aku yang salah…”[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*