Gw baru aja mengalami (almost) deadly experience: tabrak lari by mobil Yaris item. Selain sakit secara fisik, ternyata perasaan bingungnya lumayan bikin gw sempet bengong lamaaa banget. Mungkin ini yang namanya shock! Well I’m not pretty sure about that, but rasanya kaget, plain, blank, lemas, sesak, gemetar, geli, nyeri dan bingung yang tercampur baur.
Kejadiannya nggak kayak sinetron sih. Soalnya kalo di sinetron, yang nabrak pasti ganteng trus ntar endingnya si penabrak tadi bakal jadi pacar gw. Kepret, yang ada, abis gw sukses njungkel, si penabrak ya melakukan gerakan tancap gas alias kabur.
Dulu gw juga pernah mengalami kejadian nyaris mati, waktu masih jadi anak pesantren di jaman kuliah. Tapi, saat itu gw ngalaminnya nggak sendiri alias berdua sama mbak Otik, temen kosan gw. Waktu itu kami, kalo nggak salah, hampir ketiban truk fuso yang isinya full tanah merah galian.
Nah kan pas tuh! Kalaupun seandainya kami mati saat itu, orang-orang nggak perlu repot-repot ngubur lagi. Makanya, setelah tahu truknya normal alias nggak jadi jatuh ke arah kami, perut ini rasanya geliiiiiii banget, kayak naek jet coaster, sehingga malah memaksa kami untuk tertawa nggak ada habisnya.
Tapi saat dimana gw ditabrak si Yaris item itu, rasanya kok beda yah? Apa karena saat itu malam hari dan sedang hujan? Ah, I don’t know. I have noooo idea about that.
Gw ngebayangin, apa jadinya kalo gw mati disitu. Siapa yang nolongin gw? Siapa yang nelpon emak gw? Siapa yang nungguin gw di kamar mayat? Siapa yang nyolatin gw? Siapa aja yang ngelayat? Siapa yang gali kubur gw? Siapa yang paling sedih gw tinggalin? Siapa yang bakal jagain bokap nyokap gw saat gw nggak ada?
Terbayang juga pendaran wajah lelaki itu, ia tertawa dengan giginya yang gemerlapan, sangat mendebarkan dada. Tangan gw menggapai-gapai. Sempatkah gw berucap maaf untuk yang terakhir kalinya buat dia?
Semua pertanyaan itu terbungkus dalam satu flash yang melintas dan menjepit syaraf-syaraf di otak gw hanya dalam hitungan, well mungkin, millisecond. Hanya pertanyaan yang tanpa jawaban.
Ternyata begini rasanya nyaris mati.
Sebenarnya, mana yang lebih kita takuti dari kematian: kehilangan apa-apa yang kita miliki sekarang, atau ketidaktahuan kita pada apa yang akan kita hadapi setelahnya? tidak, gw nggak mau bertanya ataupun menjawab, gw telah menerimanya. Menerima untuk merasa tak memiliki siapa-siapa dan tak dimiliki siapa-siapa, berwujud pasrah, sebuah perasaan dengan titik terendah.
“Ya Rab-ku, cabut nyawaku sekarang jika memang Engkau menghendaki begitu, aku telah terpasang pasrah..”. Gw merasakan badan gw ringan dan basah.
“Neng?!!” Tersadarlah gw. Entah bagaimana, gw telah terkapar di trotoar yang basah dan licin, dengan payung yang entah terbang kemana, terguyur hujan, basah kuyup plus dikerumuni beberapa orang yang mengulangi frase kalimat asing yang tampak nggak begitu asing: “teu nanaon, neng?!”.
Doa-doa yang didaraskan oleh semua orang yang menyayangi gw membaluri seluruh jiwa dan raga gw. Masih utuh dan tak tersentuh. Betul adanya, dungone uwong tuwo iki mandhi. Doa orang tua itu manjurs. Begitu nyata gw rasakan mukzizat langit hari ini, badan gw lengkap, normal, nggak ada yang lecet, retak apalagi patah, gw masih bisa berdiri walaupun nyer-nyeran dan sempoyongan, semoga saja tak ada luka dalam.
Alhamdulillah, gw masih diberikan kesempatan untuk bertemu orang-orang yang gw sayangi, walaupun gw tau, kesempatan ini pun terbatas. []