Tentang Lelaki Dibawah Hujan

Kota Kembang, Januari 2010.

Gerimis enggan berhenti sedari pagi. Dingin yang mencekik paru-paru tak membuatnya beranjak lalu. Matanya basah tapi bahunya bersedu sedan. Kaku yang merindu. Merindukan sesuatu yang tidak bisa ia jangkau kembali.

“Maaf jika aku tak pernah bisa memenuhi janjiku..”

Nona bermonolog. Dipejamkan paksa matanya yang panas untuk meretaskan air mata terakhir yang bisa ia hempaskan. Gerimis masih meretas, membasahi serat-serat kerudung Nona, menembus masuk ke kepala, ke otak, lalu ke jantungnya. Di dada, terasa pahit, namun melegakan. Setidaknya Nona merasa punya alasan untuk datang kembali ke tempat ini.

Fachri, satu nama yang nyaris Nona lupakan.

Dari laki-laki ini Nona belajar arti berbagi. Sebelumnya Nona tidak pernah mengerti bagaimana harus ‘berbagi’, baginya ‘memberi’ itu lebih penting. Namun Fachri mampu meyakinkan Nona bahwa, berbagi lebih memiliki arti.

Nona bersahabat baik dengan Fachri. Fachri tak banyak bicara, tak punya banyak koleksi kata mesra, tapi mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sekedar memandangi senja dari atap gedung kampus, ataupun turun ke sungai untuk melihat kilauan sinar matahari mengambang di atas air.

Jika hari hujan, Fachri tanpa diketahui siapapun akan meletakkan payungnya disebelah tas Nona. Fachri tau persis, betapa ceroboh, pelupa dan malasnya Nona. Sebaliknya, kadang Nona menemani Fachri berjam-jam di depan layar monitor, tanpa dialog. Nona tau persis, Fachri senang ditemani, padahal Nona mengantuk minta ampun.

Mereka bersama-sama tahun demi tahun. Kenyamanan dan kebersamaan telah terjalin begitu mesra tanpa ada kata. Sampai pada akhirnya Nona berpikir, Fachri tak kuasa ia jangkau. Fachri seperti imajinasi, utopia yang tak mungkin ada. Sehingga walaupun hadir, Fachri seperti tak terjangkau olehnya.

Dan pertikaianpun mulai terjadi. Nona berpikir perpisahan yang dia rencanakan ini adalah yang terbaik dan akan membuat Fachri bahagia, sedangkan Fachri berpikir jika Nona sok tau, “Kamu gak tau, hal apa yang terbaik buatku dan perihal siapa yang bisa membuat aku bahagia” Kata Fachri.

Namun Nona sekeras batu. She thought she’s not worthy at all for him. Perbedaan yang membentang terlalu jauh. Perbedaan Suku. Perbedaan Fisik. Nona berpikir dia hanya wanita biasa yang tidak akan membuat Fachri, Mahasiswa paling tampan dikampus ini bahagia.

Hal ini membuat Fachri marah dan kecewa. Jembatan kemesraan mereka pun retak.

Sepatu kanvas basah, tubuh yang menggigil, langkah yang tak kunjung terhenti, dan lampu-lampu kota yang mulai menyala. Nona still can feel him here, there, and everywhere. Lamat-lamat ditundukkan kembali wajahnya ke bawah. “I want you back and forever be mine..”. Hanya kata itu saja yang terlintas.

Nona tak kuasa mengingat kembali semuanya, saat beberapa tahun lalu, laki-laki ini, dibawah hujan, menatapnya untuk yang terakhir kali, lalu bertanya dan memaksanya untuk berjanji.

“Don’t give up on me.. and on us. Jangan Pergi.”

Tak ada jawaban dari Nona. Hanya rintik hujan.

“Please..” Fachri mengambil genggaman tangan Nona.

Nona masih terdiam. Menahan getaran hebat dibibirnya. Dan Laki-laki inipun menyerah. Tertunduk dan pergi. Pergi meninggalkan Nona dengan sekotak coklat basah di tangan. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*