Rasa Patah Hati


Di gerbong kereta Commuter Line.

“Mbak, novelnya sedih banget ya? Sampe sembab begitu?”

Novel ber-genre fiction-horror itupun dia benamkan diwajahnya. Bagi Nona, mengalihkan konsentrasi ke media manapun nggak akan membantu banyak, segala aliran rasa dan air matanya tetap tak bisa dia hentikan.

———————-

Di kantor.

“Udahlah mbak, muka lo itu emang udah maksimal, nasip lo cuma dua, kalo nggak ditolak, ya diputusin…”

Pulpen murah meriah itupun akhirnya mendarat di kepala adik kelas, dan sahabat, sekarang teman satu kantor Nona yang memang sedari dulu hobi nyela tanpa pandang bulu.

———————-
Di sms.

“Hah kerokan lagi…? Lo penyakitan amat semenjak diputusin adek gw… hahaha…”

Nona tertawa keras, menertawai dirinya sendiri. Ternyata, sudah sebegitu parahnya psikosomasis phase yang dia alami. Mungkin sebentar lagi nona betul-betul akan memasuki fase skizofrenik . Nona nggak akan pernah tau.

———————-

Semua kenangan Nona bersama Dia bersifat transendental, yaitu berkaitan dengan sesuatu yang berada diluar jangkauan pengalaman biasa dan ilmiah.

Malam itu sedikit temaram walaupun sepotong bulan tergantung agak terang. Nona ingin sekali sembunyi di tetes air di ujung daun talas agar meretas, dan melupakan jejak Dia yang meninggalkannya di sisa sisa hujan sore itu.

Tapi sungguh, disaat lupapun Nona tak dapat melupakannya. Retorika ini mungkin berarti beda. Tapi bagi Nona, keduanya sama saja. Sama-sama rentan, sama-sama kehilangan.

Dalam langkahnya yang diseret lambat-lambat, Nona berlari dari semua rasa yang dia batasi. Dia seka untuk yang kesekian kali tetes airmata itu menggunakan bahu tangannya. Nona tak pernah tahu berapa lama Dia singgah dihatinya, tapi irama Dia serupa iringan detak jam dinding yang dia hapal.

“Ampun Allah.. belas kasihanilah aku…”

bisiknya lirih lalu bersimpuh terisak ditanah basah.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*