Zikhry, temen gw, dari tadi ketawa-ketawa aja disebelah. Trus dia cerita, dia lagi bikin rusuh disuatu milis, katanya, milis lagi seru ngebahas disahkan atau nggaknya si-RUU Pornografi. Dimilis itu ada seseorang yang nanggapi serius komentarnya Zik yang anti RUU. Ya walaupun gw juga anti RUU, tapi gw suka males ngebahas hal-hal nggak jelas lagi nggak berujung pangkal kayak gitu.
Entahlah, gw berasa makin judeg, makin masa bodo. Gimana nggak masa bodo, pusing guah, ngeliat orang yang lebih seneng berantem daripada adem ayem, ngeliat orang yang lebih memilih jadi apatis daripada mikir gimana mengeliminasi jurang perbedaan SARA secara lebih efektif dengan optimis.
Udah lumayan jamuran juga gw tinggal dinegara yang sumpah lo, bebas banget. Sangking bebasnya, lo boleh ngelakuin apa aja asal tidak merusak properti milik perseorangan ataupun pemerintah, dan tidak menyakiti orang lain (intinya nggak menyalahi aturan yang berlaku). Setidaknya gw sekarang mulai rada nggak perduli orang mau kayak gimana, mereka punya hak kok untuk itu, toh dia kagak nyenggol guah dalam merealisasikan hak-hak mereka itu.
Dulu, semisal gw punya temen sekantor yang udah tinggal bareng dan kasarnya berzina tiap hari, mungkin gw akan menjustifikasi secara negatif lalu pergi dari orang itu, walaupun pada kondisi sebenernya, nih orang innernya baik. Tapi sekarang gw udah mulai belagu, mulai sok barat. Hehehe.
Yang pasti, selama temen gw tadi masih bersikap baik sama gw, gw bakalan tetep baik juga sama dia. Perihal dia mo ngapain kek, itu urusan dia sama Tuhan.
Tapi lantas, gw tergugah, gw berpikir kalau masalah ini, ternyata nggak sesimple dan seliberal itu. Gw inget obrolan gw sama Zikhry tentang kasus “the breaking windows”. Intinya, moral cerita “the breaking windows” adalah ingin memberitahukan kita, jika sebuah kejahatan itu, minimal, selalu bermula dari ignorance (ketidakpedulian).
Cerita “the breaking windows” itu lengkapnya begini: jika ada seseorang, sebut saja Mastur. Mastur tiap hari lewat disebuah rumah. Rumah itu dilihatnya selalu kosong. Lalu karena tampak tak berpenghuni, timbul rasa iseng si Mastur. Ditimpuklah salah satu jendela rumah pake batu bata, PRANG!!! satu kaca pecah.
Keesokan harinya Mastur lewat lagi. Jendela yang bolong itu masih disana. Rasa iseng si Mastur muncul kembali. Didekatinya rumah kosong itu, lalu dipecahkan kembali kaca yang lain. Begitu seterusnya, sehingga rumah itu akhirnya dibakar oleh si Mastur.
Lalu, apa kaitannya dengan ketidakpedulian?
Hm, seandainya ada orang yang perduli saat itu, lalu mengganti kaca yang ditimpuk si Mastur, tentu Mastur akan berpikir lagi untuk melakukan aksi timpuk-menimpuk yang kedua. Pastinya Mastur mikir dong: Oh, rumah itu ada orangnya loh!
Toh, walaupun Mastur pecahkan lagi, dan seseorang yang perduli tadi kembali mengganti kaca yang pecah. Lama-kelamaan, percaya deh, Mastur capek dan nggak akan melakukan aksi anarkis itu lagi.
Hal ini juga kejadian di Amrik (apa dimana gitu, gw lupa). Jadi waktu itu tingkat kejahatan di stasiun kereta bawah tanah sangat tinggi. Sepele banget sebabnya, cuma gara-gara coret-coretan ditembok stasiun (wall-grafiti).
Kalo nggak salah, waktu itu dimulailah aksi anti-ignorance tadi. Para polisi kota itu, setiap hari (iya EVERYDAY) melakukan pengecatan tembok yang digambari grafiti. Walaupun malamnya akan timbul grafiti baru, tapi siang harinya, polisi akan mulai mengecat ulang lagi. Demikian seterusnya. Sehingga tingkat kejahatan di stasiun kereta bawah tanah kota itu betul-betul menurun drastis.
See? hanya dengan cara yang sangat sederhana (namun butuh kesabaran, animo tinggi, serta mental yang betul-betul sober and sane), kita akan betul-betul mampu menekan tingkat kriminalitas. Amazing!
Tapi yang terjadi sekarang apa? Masyarakat kita sudah betul-betul cuek bukan kepalang. Bagi gw, semua tindak diam (atau pura-pura nggak ngerti/nggak liat) terhadap semua kejahatan, baik yang mengatasnamakan Agama atau nggak, itu ibarat kecanduan ngerokok.
Lo bisa jadi sangat paham jika merokok itu berakibat buruk untuk kesehatan. Tapi semua efek samping buruk itu tetap nggak cukup untuk membuat lo berenti ngerokok. Karena secara nggak sadar, lo mulai menikmati ritualnya: the slender shape of cigarette, the way the tobacco smolders, the fragrant smoke curling around your fingers. ya kan?
Gw jadi inget, gw dulu suka banget sama satu film judulnya: se7en. Suka bukan gara-gara aktor yang maen ganteng (Brad Pitt), tapi gw demen banget ama penjahatnya, si serial killer: John Doe.
John Doe ini melakukan konsep pembunuhan berantai sesuai sama 7 list dosa besar yang harus dihindari: gluttony (kerakusan), greed (ketamakan), sloth (kemalasan), envy (iri), wrath (angkara murka), pride (kebanggaan), dan yang terakhir lust (nafsu birahi).
Suatu hari, John Doe ini menyerahkan diri begitu aja ke kantor polisi. Setelah diinterogasi, banyak kata-katanya yang kerasa mak njuss di bathin gw, dan itu membuat gw berpikir, bisa jadi si John Doe ini, walaupun pembunuh sadis, sebenarnya dia malaikat utusan Tuhan.
John Doe bilang: “We see a deadly sinner in the corner of the street, at home, and we tolerate it. We tolerate it because it’s common. It’s true (that) we tolerate it morning, noon, and night. Well, not anymore. I am shitting the example. And what I’ve done is gonna be puzzled over, and studied, and followed, forever.”
Gw pikir si John Doe ini benar. Kita terlalu biasa mentolerir segala dosa yang lewat depan mata kita demi sebuah kata: toleransi dan pengertian.
Yah walaupun gw juga ngerti, pada dasarnya kita juga nggak boleh memaksa penghapusan ketidakperdulian tadi melalui kekerasan!
Kalau kata orang intelejen: percuma menyiksa orang untuk mendapatkan keterangan penting, karena nantinya, melalui siksaan itu, orang tadi akan mengaku. Tapi mengaku dalam rangka untuk mengurangi rasa sakit akibat siksaan yang dia derita, bukan karena kebenaran yang ingin dia ungkap. Jadinya malah kebohongan kan yang didapat? Percuma dan sia-sia aja kalau gitu kan?
Gw tipikal orang yang sangat-sangat asertif (ya untuk ya, dan nggak untuk nggak). Tapi jujur, gw bingung. Gw sendiri belum menemukan titik penyeimbang antara harus jadi manusia yang memiliki sikap toleransi tinggi, atau jadi manusia yang sepenuhnya peduli dalam rangka menumpas kejahatan dimuka bumi (alakh..).
Kata pepatah kuno: Life without risk is a life unlived. So, sebenere gw nggak harus milih. Justru gw harus menyeimbangkan kadar dari keduanya: Manusia dengan toleransi tinggi namun peka dan peduli terhadap kondisi masyarakat tempat dimana dia bernaung. Nggak realistis memang, tapi gw akan berusaha kesana.
Yin dan Yang, harus ada keseimbangan. Itu yang paling penting.[]