Pelajaran tentang Pendidikan

Bongkahan Lion Rock disisi barat, dengan angkuh merajai dan mengisi setengah langit merah yang sedikit-sedikit mulai merembang, kadang biru kadang hitam.

Gw merasa, seolah batu itu bernyawa dan bisa merasa. Sejatinya, gw memang pengen seseorang mengerti kalo saat itu perasaan gw sedang dihimpit ragu, dan dalam kungkungan rasa tak menentu.

Disebelah gw, Si Boss masih aja karaokean pake lagu Cina sambil tancap gas over 120 Kmph. Harusnya dia ikut Cantonese Idol, well, I admit it, kualitas suaranya lebih banget dari sederet hurup: l-u-m-a-y-a-n.

“Arum, if you were could, do you want to be a teacher?”

Speed FTO sporty merah ini mulai melambat. 100 Kmph. 90 Kmph. 80 Kmph.

“Hey Arum, I’m talking to you!” suara si Boss yang mulai meninggi tapi terdengar tetap lembut, menarik gw untuk segera go back to earth.

“Come again?” dengan sok tenang, gw membetulkan posisi duduk gw.

Si Boss cuman geleng-geleng kepala. “I was asking, if somehow you could, do you want to be a teacher?”

Seinget gw, gw cuma taking a long sigh, lalu dengan berat hati berucap, “If I could, I wish I could, Boss”.

Well, saat itu gw nggak perduli, Ricky, Boss gw, ngerti apa nggak maksut kalimat gw.

Ujung-ujungnya, Ricky dan gw malah ngebahas masalah pendidikan. Seru juga sih.

Awalnya gw dengan cengceremet bilang kalo gaji guru/pengajar di Indonesia itu kecil banget, kualitas pengajarnya juga nggak begitu baik karena sistem rekruitmen dan pengembangan pola ajar nggak ditata dan diatur dengan layak.

Padahal, biaya pendidikan di Indonesia mahal. Kalau mau dapat yang berkualitas, nggak gratis (Ricky bilang di HK, sekolah sampai kelas 12 gratis, dan orang tua bisa di penjara kalo nggak ngasih pendidikan yang layak buat anak-anakanya).

Dan oncomnya, Indonesia juga mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan pendidikan gratis. Karena peserta didiknya nggak punya ethos belajar yang baik. Dan di negara yang rata-rata peserta didiknya berethos buruk, pendidikan gratis adalah salah satu gerbang menuju kebangkrutan negara.

Why?

Karena orang tua merasa lebih ketat mengawasi pendidikan anak jika biaya pendidikan betul-betul mereka tanggung sendiri. Kalau gratis? Ya sekolah sekenanya saja, tanpa esensi, tanpa pemaknaan, tanpa output, nothing at all. Hasilnya? Negara seperti buang-buang duit aja.

Ricky cuman mengangguk-angguk. Dia pun menyambung cerita panjang tentang Guru dan Dokter yang dibayar sangat kecil di Cina.

“Arum, do you know the reason behind? As we all know, government could pay them as high as possible if they want to..” Ricky masih memandang lurus ke cakrawala merah. “Do you know why?” Kali ini dia tersenyum ke arah gw (lebih tepatnya smirking not smiling).

“do you know?” Gw dengan bego (sambil garuk-garuk) bertanya balik.

Ricky tertawa lebar, I never see him Laugh that hard.

Dengan rendahnya level penghasilan guru, otomatis orang-orang yang bisa dibilang berbobot dan pintar pastinya nggak memilih menjadi guru sebagai jenjang karier. Otomatis bangsa yang kekurangan guru berkualitas, ya jadi terbelakang, ujung-ujungnya rakyat yang terbelakang itu gampang di stir pemerintah.

Itu di Cina lho. Di Cina. Nggak tau deh kalau di Indonesia.

Seperti yang kita tau, berpikir yang benar merupakan pengantar menuju pengetahuan yang benar. Kebenaran tersebut akan membukakan pintu kesadaran kita. Coz tanpa kesadaran, kita hanyalah homo sapien berwawasan sempit dan bisa jadi terjerumus kepada kepengikutan buta terhadap berbagai macam khufarat, dan pada gilirannya akan menjelma menjadi batu keras yang menghalangi kemajuan umat.

Kata mba mel, temen gw, “…kita tidak akan pernah cukup punya waktu, untuk mengalami semua kejadian dan menarik pelajaran…”. Akhirnya kalo mikirin pendidikan Indonesia yang kacrut-kacrutan, gw cuman bisa mlongo, haduuuuuw..

Oh dewi pendidikan, kenalan dong![]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*