Ujian Tentang Kesombongan


Pada suatu hari, di sebuah antrian di Bandara Internasional, gw menemukan seorang ibu ibu pengusaha kaya (sepertinya begitu coz gw pernah liat jaketnya, berharga sekitar 2500 USD!! Beruntunglah gw suka windows shopping di mall-mall mahal, jadi ngerti, tapi nggak beli hahaha).

Ibu-ibu tadi mencak-mencak nggak karu-karuan gara-gara antriannya diselak oleh salah seorang TKW buruh migran asal negara kita tercinta.

“Heh! Pada tau aturan nggak sih? Nggak di Negara sendiri, nggak di Negara orang, kelakuan masih pada sama aja, kampungan! Antri dong!”

Para TKW yang diteriaki sempat kaget tapi setelahnya malah cekikikan bersama kawan-kawan se-gank mereka. Otomatis ibu-ibu kaya tadi tambah naik darah karena teriakannya nggak digubris. Hingga akhirnya ibu-ibu itu melaporkannya pada petugas bandara.

Gw nggak mau nerusin cerita tadi akhirnya kaya apa, yang jelas, some part of myself ngerasa ikut sebel ama kelakuan mbak-mbak TKW tadi. Karena pada hakekatnya, gw nggak gitu suka sama orang yang nggak menaati aturan umum. But anehnya, some other part of myself kok ngerasa kasihan ama mbak TKWnya, dibentak-bentak kaya gitu. Dan rasanya di gw kaya ada yang ngganjel, kaya ada yang nggak pas aja. But I don’t know what it is.

Beberapa waktu kemudian, ada kejadian yang mirip saat gw ngantri beli karcis commuter train di salah satu stasiun elit di daerah Sudirman. Bedanya, kali ini penyelaknya adalah seorang pekerja kantoran yang secara streotip: tampak terpelajar dan ngerti aturan-aturan dasar tentang bagaimana MENGANTRI TIKET secara baik. Tapi yo ngono, dia tetap aja nyelak antrian, walaupun dia diteriakin orang: “antri dong, mas! Ngga aturan banget sih?!”. Still for me, rasanya ada yang mengganjal. But I really don’t know why. Gw mencoba bertanya dalam hati: “Ya Allah, sebenarnya ada apa sikkk?”

Bulan demi bulan berlalu, sampai pada akhirnya gw melupakan kejadian itu.

Sampai beberapa hari kemarin. Hari dimana gw ketemu kawan lama gw, sebut saja Mia, disalah satu stasiun paling buluk se Jakarta, saat itu: Stasiun Palmerah.

Mia bekerja pada salah satu Bank BUMN terbesar di Indonesia. Dari setelan baju, jelas gw kalah jauh. Mia memakai blazer yang sangat kaku, begitu rapihnya hingga walaupun ada tsunami sekalipun, gw yakin itu blazer tetep akan jreng jreng kaku dan rapih seperti sedia kala.

Rupanya karena apes, kami berdua ketinggalan kereta, tepatnya ketinggalan kereta AC. Yups kereta AC yang berarti juga kereta dengan gerbong terisi angin dingin tanpa asep rokok.

Akhirnya, demi mengejar waktu, gw dan Mia menaiki kereta KRL ekonomi biasa. Tanpa AC. Dulu masih ada kereta macem gini. Banyak.

Didalam gerbong yang amat penuh, berdesakan, ada bapak-bapak, umurnya sekitar 45 tahunan. Merokok nggak karu-karuan. Asapnya ngebul kemana-mana. Ya ke muka gw, juga ke muka Mia. Mengalami nasip sial seperti itu, gw cuma pasrah menggeser-geser posisi duduk gw ke dekat jendela terbuka (well, tapi jendelanya emang kebuka semua sih hahahahahaha namanya juga kereta EKONOMI TANPA AC).

Mia ngedumel setengah mati, “susah ya emang, dasar orang kampung! nggak berpendidikan! nggak pada tau aturan, ngerokok di gerbong penuh begitu! Goblok!”

Kaget juga gw, ama omelannya si Mia. Ya gw emang sebel juga ama bapak-bapak tadi, tapi kok ya tumben gw nggak marah-marah. Malah gw ngebathin lagi, gw kenapa sik?

Padahal, for your information, gw itu biasanya selalu protes dan marah-marah, hobi ngomel deh pokoknya gw. Tapi kok sekarang kayaknya tumben aja gw nggak senewen. Apa karena faktor umur? Jiah gw makin wise gitu maksutnya? Halah.. nggak juga sih..

Well, lanjut. Sampai di stasiun tujuan, bau gw udah nggak jelas. Turun kereta, gw nyari bokap gw. Biasa deh bokap, selalu ngejemput anak kesayangannya saben malem di Stasiun dekat rumah. Rutinitas abadi. Bokap gw sambil nunggu gw, rupanya sambil ngopi. Kopi fave dia: Kopi jahe. Gw memutuskan untuk bergabung dan memesan segelas kopi hitam, tanpa jahe, dan hanya dengan sedikit gula.

Seruputan kopi pertama, panas, melonyot, membuat gw komat-kamit sebentar lalu membuka obrolan dan diskusi sama bokap gw soal perihal tadi. And, jawaban-jawaban yang terlontar dari bokap gw membuat gw mangap, nganga dan tercengang: Bahwa ini adalah ujian tentang kesombongan.

Jadi dulu, waktu gw nonton pilem “Passion of the Christ” sama bokap gw, gw inget ada penggalan adegan dimana Yesus berkata “Ampuni mereka Bapa, karena mereka tidak tahu..”. Padahal saat itu Yesus lagi disiksa, disalib, wah pokoknya adegannya: full-blood gitu lah, gw sampe ikut nangis.

Nah disitulah akhirnya bokap memberikan sedikit gambaran ke gw, jika “ketidaktahuan” akan kita membuat buta sekaligus membahayakan hidup kita.

Jadi untuk kasus TKW dan mas-mas kantoran yang kaga mao antri, serta untuk case bapak-bapak yang ngerokok di kereta api, sebenarnya sangat SIMPLE.

Mereka begitu karena mereka NGGAK TAU. “Nggak tau” berarti: maqam mereka terhadap sebuah pengetahuan tertentu: terbatas.

Dari situ, kata bokap gw, masalahnya bukan pada mereka, tetapi pada diri kita. Bahwasanya Allah sedang menguji seberapa jauh tingkat kesombongan kita terhadap segala ilmu yang telah Allah berikan kepada kita. Astagfirullah. Ini dia jawabannya.

Gw istighfar berkali-kali. Sekali lagi: rupanya ini ujian tentang kesombongan.

Karena itu seburuk apapun tampilan, sifat serta kelakuan seseorang, Allah tetap memberikan kemuliaan kepadanya. Entah apa. Itu bukan kita yang tahu dan bisa menilainya. Masya Allah.

Tanpa dibekali pengetahuan, kita betul-betul mirip ternak, yang tiap hari musti digiring kesana kemari tanpa mengetahui sebab musabab kenapa harus digirang-giring begitu.

Coba kalo semua ternak itu pintar, mestinya nggak akan perlu ada gembala ataupun dog shepperd dimana-mana. Ternak tentunya akan punya inisiatip sendiri-sendiri untuk mensinergiskan posisi mereka demi mengikuti keseimbangan perputaran jagad alam semesta raya ini.

Subhanallah.

Dan benar kata orang dulu, menuntut ilmu itu nggak cukup hanya sekedar sekolah disekolah mahal tanpa subsidi pemerintah, tapi juga harus kita cari di selipan tempat yang lain.

Kita cari di tempat orang bertumpuk berjejal bahkan berkeleweren di jalan-jalan. Di pasar. Di Warteg. Di Kantin. Di Belakang Mall. Di Mushola Sempit. Di Gang Senggol. Di tempat ibu-ibu bakul, bapak-bapak, anak-anak, orang-orang perkasa bekerja amat keras dan punya nyali besar untuk menghadapi kesengsaraan hidup.

Karena segala ikhwal kebaikan dan keluhuran budi pekerti, tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran. Dan bukan juga datang dari gedung-gedung sekolah yang memang dibangun untuk menyediakan prasarana elit, mahal, nomor satu, dan menginternasional. Bukan lagi juga datang dari jajaran laboratorium canggih yang diperuntukan agar kita menjadi orang pandai (dan TIDAK terutama agar kita menjadi orang yang baik).

Adapun hal-hal yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap sesama, kesadaran untuk meruwat keadilan dan kemuliaan, tidak merupakan urusan utama di dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan yang diajarkan di sekolah.

Sehingga kita selalu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali mengurusi kepentingan diri sendiri. Tangan dan kaki kita dilatih tidak untuk berbuat apa-apa kecuali untuk beringas memompa perut dan gengsi pribadi. Kita menjadi terdidik untuk tak paham kebersamaan. Dididik untuk menjadi segumpal keasingan, tidak untuk menjadi seseorang di tengah berbagai macam orang. Kita tidak diajarkan bisa kaya tanpa harta. Bisa makan tanpa sega. Puasa tanpa puasa. Dan beramal tanpa amal.

Dan gw sudah menemukan banyak sekali bukti, bahwa ternyata tingginya tingkat pendidikan dan luasnya ilmu seseorang, tidak membuat kasih sayang sosialnya meningkat. Karena pada hakikatnya, seperti kata Pramudya: tak ada orang terpelajar, dimanapun dia bertempat, akan melanggar hak-hak perseorangan.

dari pahitnya semua pengalaman itu, gw menyimpulkan, jika TERPELAJAR itu bukan berarti HANYA memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan memiliki perluasan ilmu yang cukup. TERPELAJAR juga berarti memiliki tingkat pengertian dan pemahaman khusus untuk mengejawantahkan jejak kehidupan. Sehingga hal itu memaksa kita untuk tunduk kepada kesombongan-kesombongan diri akibat ketidaktahuan dan kebutaan kita tentang bagaimana “tidak berdayanya” ilmu kita dimata Allah.

TERPELAJAR juga berarti mampu IQRA (membaca) kalamullah—ilmu-ilmu dari kitab Allah, yang terbentang minal masyriki ilal maghribi. Sehingga mampu membuat kita semakin paham dan mengerti lalu bersujud dan kembali merendahkan hati.[]

Tentang Mendengarkan

Dari kecil, bokap gw suka ngajak gw jalan-jalan untuk sekedar ngobrol dan ngajak bersama membaca dan memahami sekecil apapun tanda-tanda yang diturunkan oleh Gusti Allah. Gw masih inget banget, bokap gw dulu bilang: “Ilmu Allah itu tak terhingga, maka semua ilmu itu nggak mungkin diturunkan hanya di kepala SATU orang saja. Sama seperti halnya di buku ada ilmu, di bulir cahaya matahari ada ilmu, di rintik hujan pagi ada ilmu, di batang pohon pisang juga ada ilmu, di butiran pasir pantai juga ada ilmu. Begitu luas ilmu Allah..”

Bertahun-tahun lalu itu, saat dituturi, gw cuma diam dan berusaha keras memahami, walaupun at the end sebenernya gw nggak paham-paham. Hahahahahaha. Nah, Bokap gw itu suka kentang alias nanggung, jadi waktu itu gw ainul yaqin, kalo cerita tadi, sebenernya masih to be continued. Tapi entah continuednya kapan.

Dan ternyata, kemarin, setelah beberapa tahun setelahnya, gw (akhirnya) mengalami sambungan cerita itu.

Jadi begini, cerita itu berawal ketika gw memiliki seorang kawan yang punya hati kerasnya minta ampun. Dia selalu mengkritik, tapi sama sekali nggak mau mendengar. Jadi satu arah aja. Dan dia selalu menggunakan kalimat menyepelekan, sekaligus menyakitkan. Hobinya Nyacat pokoknya.

Kalo ditengah argumentasi, gw ngasih tau dia: “Dari dulu gw selalu diem, selalu diem dan nerima kalo lo kritik, tapi sekarang, gw mau lo yang dengerin gw.” Nah tuh, Dia pasti nanti jawab: “Kagak, gw KAGAK mau dengerin lo! Lo yang seharusnya belajar untuk menerima perbedaan”.

Kederrrrrrr. Sebenernya yang nggak bisa nerima perbedaan itu siapa sik?

Kawan gw ini selalu mengajak semua orang untuk ngikutin semua maunya dia. Mood berubah-ubah. Suka ganti plan seenaknya. Well, dia memang bossy, suka ngatur-ngatur hidup orang yang bahkan BUKAN keluarganya. Tapi yang namanya sudah berkawan lama, gw perduli dan mau dia sadar, jika dengan menjadi keras begitu terus, dia akan semakin menyakiti orang-orang yang menyayangi dia.

Gw cuma nggak mau liat dia kebangetan, sampe-sampe saat dia sadar kelak, semua orang yang sayang sama dia sudah demikian tersakiti, hingga pergi ninggalin dia. Sendirian dah. Emang enak?

Lagian bagi gw, menyakiti hati orang itu bikin hidup lo kaga berkah. Rejeki jadi kaga lancar, urusan banyak yang kaga beres, yah pokoknya kusut lah.

Hari ini, si Puti, temen gw inih, sudah melampaui batas. Telah sebegitu sangatnya dia menggores dan menyakiti gw. Dan gw memutuskan untuk menyerah. Gw akhiri pembicaraan kami. Lalu seperti layaknya species wanita lain disetiap akhir pertengkaran: gw nangis. Akhirnya gw sambil tereak di bantal, mengadukan nasip gw ke Gusti Allah: “Allah yang maha lembut, kenapa sih Engkau tidak bagi kelembutan sedikit saja ke dada manusia ini..!”

KZL.

Sedang manyun-manyun berduka lara, gw dipanggil bokap, disuruh mbetulin komputernya yang hang. Bokap sepertinya terlihat nggak perduli ngeliat muka gw yang kusut plus bendul bendul pada kedua mata gw karena nangis, tapi ternyata bokap merhatiin.

Ketika computer bokap udah nyala lagi, bokap gw nyapa gw dengan pertanyaan aneh, “Kamu masih inget nggak dulu papa cerita soal ilmu Allah yang Maha melimpah?”. Gw mengangguk sekedarnya. “Sini sini cobak duduk dulu..” lanjutnya ragu.

“Papa dulu bilang kan, kalau ilmu Allah itu maha melimpah, makanya nggak cukup ditaruh di satu kepala manusia saja. Inget nggak?” Gw tertunduk, memuntir-muntir kaos oblong butut gw. “Nah nduk, kalau kamu berantem sama orang, ojo gegabah. Dipikirkanlah lagi pelan-pelan, siapa tau memang kamu yang salah.”

“WHAT?!” Gw melirik judes, setengah kaga terima.

“Lhooo… dikandani malah mendelik.” Kata bokap. Gw tambah manyun. Bokap ngelanjut, “Ngene nduk, seburuk-buruknya kelakuan orang itu pasti ada kebaikan yang dia beri ke kamu. Hanya saja kamu belum pandai menangkap baiknya itu dimana. Yang sekarang bisa kamu tangkap malah esensi keburukannya saja.”

“yeile…” Bibir gw semakin monyong, walaupun gw sebenarnya mendengarkan.

“Kamu itu harus lebih banyak belajar lagi, belajar untuk mendengar hal-hal yang tak bisa didengar, dan belajar untuk melihat hal yang tak bisa dilihat.”

“Udah diliat dan udah didengerin dari dulu..!!” Sela gw judes. Masih sambil termanyun. KZL.

“Lha iki, blaik namanya.” Bokap gw menghisap rokoknya. Bara api berjatuhan menjadi abu yang mengapung ringan. “Kan sudah tak bilangin, kamu harus selalu mampu untuk mengembalikan semua ke dirimu sendiri, selalu berani untuk mengatakan: ‘lha iyo, jangan-jangan aku yang salah’. Karena itu otomatis akan membuat kamu merendah. Kita mampu menjangkau yang Maha Tinggi saat kita sedang rendah hati”

“…….” gw mendengar males-malesan. Padahal penasaran juga sama lanjutannya.

“Cobak itu kamu liat, orang di bukit sama orang di dataran biasa, kalau ngebor pompa air, siapa dulu yang dapet air? Lha yang posisinya lebih dibawah dekat air tanah to? Makanya selalu rendah hati, jangan sombong nanti malah ndak dapet air..”

“….” Dalam hati gw membenarkan.

“Setiap orang, walaupun dia 99% jahat, dia tetap punya 1% kebaikan. 1% kebaikan tadi itu merupakan ilmu yang sudah lebih dari cukup.”

“…” Gw mengangguk.

Ah, gw berharap sekali jika Puti mau belajar mendengarkan, karena dia nggak pernah tau, rahmat (Ilmu) apa yang akan Tuhan sampaikan dari waktu ke waktu buat dia lewat kata-kata orang lain.

Bukit tempat si Puti tinggal masih terlalu tinggi, Puti memilih untuk mencari ketinggian dalam kesendirian dia untuk mencapai mata air suci, dimana air air suci itu sendiri sebenarnya mengalir deras dibawah kaki tempatnya menengadahkan wajah.

Andai dia tau.

Memahami orang lain adalah kearifan, sedangkan memahami diri kita sendiri adalah pencerahan, kata Lao Tzu, ribuan tahun lalu. Dari sini gw sadar, sampe lebaran monyet sekalipun, gw memang nggak akan bisa ngerubah sifat kerasnya Puti. Gw nyerah. Gw milih nggak temenan lagi ama dia lagi. Selamanya.

Dari sini walaupun keilangan temen atu, gw Alhamdulillah bisa belajar tentang satu hal, bahwa siapapun orang itu, mau dia rampok, mau dia kyai, mau dia orang jahat, atau orang baik, well pokoknya siapapun itu, tetap bisa menjadi pengantar pesan dari Tuhan, apapun jenis pesannya. Maka belajarlah kembali untuk mendengarkan. Belajarlah untuk merendahkan hati, mengkoreksi diri: “ah, jangan-jangan aku yang salah…”[]

Tabrak Lari


Gw baru aja mengalami (almost) deadly experience: tabrak lari by mobil Yaris item. Selain sakit secara fisik, ternyata perasaan bingungnya lumayan bikin gw sempet bengong lamaaa banget. Mungkin ini yang namanya shock! Well I’m not pretty sure about that, but rasanya kaget, plain, blank, lemas, sesak, gemetar, geli, nyeri dan bingung yang tercampur baur.

Kejadiannya nggak kayak sinetron sih. Soalnya kalo di sinetron, yang nabrak pasti ganteng trus ntar endingnya si penabrak tadi bakal jadi pacar gw. Kepret, yang ada, abis gw sukses njungkel, si penabrak ya melakukan gerakan tancap gas alias kabur.

Dulu gw juga pernah mengalami kejadian nyaris mati, waktu masih jadi anak pesantren di jaman kuliah. Tapi, saat itu gw ngalaminnya nggak sendiri alias berdua sama mbak Otik, temen kosan gw. Waktu itu kami, kalo nggak salah, hampir ketiban truk fuso yang isinya full tanah merah galian.

Nah kan pas tuh! Kalaupun seandainya kami mati saat itu, orang-orang nggak perlu repot-repot ngubur lagi. Makanya, setelah tahu truknya normal alias nggak jadi jatuh ke arah kami, perut ini rasanya geliiiiiii banget, kayak naek jet coaster, sehingga malah memaksa kami untuk tertawa nggak ada habisnya.

Tapi saat dimana gw ditabrak si Yaris item itu, rasanya kok beda yah? Apa karena saat itu malam hari dan sedang hujan? Ah, I don’t know. I have noooo idea about that.

Gw ngebayangin, apa jadinya kalo gw mati disitu. Siapa yang nolongin gw? Siapa yang nelpon emak gw? Siapa yang nungguin gw di kamar mayat? Siapa yang nyolatin gw? Siapa aja yang ngelayat? Siapa yang gali kubur gw? Siapa yang paling sedih gw tinggalin? Siapa yang bakal jagain bokap nyokap gw saat gw nggak ada?

Terbayang juga pendaran wajah lelaki itu, ia tertawa dengan giginya yang gemerlapan, sangat mendebarkan dada. Tangan gw menggapai-gapai. Sempatkah gw berucap maaf untuk yang terakhir kalinya buat dia?

Semua pertanyaan itu terbungkus dalam satu flash yang melintas dan menjepit syaraf-syaraf di otak gw hanya dalam hitungan, well mungkin, millisecond. Hanya pertanyaan yang tanpa jawaban.

Ternyata begini rasanya nyaris mati.

Sebenarnya, mana yang lebih kita takuti dari kematian: kehilangan apa-apa yang kita miliki sekarang, atau ketidaktahuan kita pada apa yang akan kita hadapi setelahnya? tidak, gw nggak mau bertanya ataupun menjawab, gw telah menerimanya. Menerima untuk merasa tak memiliki siapa-siapa dan tak dimiliki siapa-siapa, berwujud pasrah, sebuah perasaan dengan titik terendah.

“Ya Rab-ku, cabut nyawaku sekarang jika memang Engkau menghendaki begitu, aku telah terpasang pasrah..”. Gw merasakan badan gw ringan dan basah.

“Neng?!!” Tersadarlah gw. Entah bagaimana, gw telah terkapar di trotoar yang basah dan licin, dengan payung yang entah terbang kemana, terguyur hujan, basah kuyup plus dikerumuni beberapa orang yang mengulangi frase kalimat asing yang tampak nggak begitu asing: “teu nanaon, neng?!”.

Doa-doa yang didaraskan oleh semua orang yang menyayangi gw membaluri seluruh jiwa dan raga gw. Masih utuh dan tak tersentuh. Betul adanya, dungone uwong tuwo iki mandhi. Doa orang tua itu manjurs. Begitu nyata gw rasakan mukzizat langit hari ini, badan gw lengkap, normal, nggak ada yang lecet, retak apalagi patah, gw masih bisa berdiri walaupun nyer-nyeran dan sempoyongan, semoga saja tak ada luka dalam.

Alhamdulillah, gw masih diberikan kesempatan untuk bertemu orang-orang yang gw sayangi, walaupun gw tau, kesempatan ini pun terbatas. []

Tentang Lelaki Dibawah Hujan

Kota Kembang, Januari 2010.

Gerimis enggan berhenti sedari pagi. Dingin yang mencekik paru-paru tak membuatnya beranjak lalu. Matanya basah tapi bahunya bersedu sedan. Kaku yang merindu. Merindukan sesuatu yang tidak bisa ia jangkau kembali.

“Maaf jika aku tak pernah bisa memenuhi janjiku..”

Nona bermonolog. Dipejamkan paksa matanya yang panas untuk meretaskan air mata terakhir yang bisa ia hempaskan. Gerimis masih meretas, membasahi serat-serat kerudung Nona, menembus masuk ke kepala, ke otak, lalu ke jantungnya. Di dada, terasa pahit, namun melegakan. Setidaknya Nona merasa punya alasan untuk datang kembali ke tempat ini.

Fachri, satu nama yang nyaris Nona lupakan.

Dari laki-laki ini Nona belajar arti berbagi. Sebelumnya Nona tidak pernah mengerti bagaimana harus ‘berbagi’, baginya ‘memberi’ itu lebih penting. Namun Fachri mampu meyakinkan Nona bahwa, berbagi lebih memiliki arti.

Nona bersahabat baik dengan Fachri. Fachri tak banyak bicara, tak punya banyak koleksi kata mesra, tapi mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sekedar memandangi senja dari atap gedung kampus, ataupun turun ke sungai untuk melihat kilauan sinar matahari mengambang di atas air.

Jika hari hujan, Fachri tanpa diketahui siapapun akan meletakkan payungnya disebelah tas Nona. Fachri tau persis, betapa ceroboh, pelupa dan malasnya Nona. Sebaliknya, kadang Nona menemani Fachri berjam-jam di depan layar monitor, tanpa dialog. Nona tau persis, Fachri senang ditemani, padahal Nona mengantuk minta ampun.

Mereka bersama-sama tahun demi tahun. Kenyamanan dan kebersamaan telah terjalin begitu mesra tanpa ada kata. Sampai pada akhirnya Nona berpikir, Fachri tak kuasa ia jangkau. Fachri seperti imajinasi, utopia yang tak mungkin ada. Sehingga walaupun hadir, Fachri seperti tak terjangkau olehnya.

Dan pertikaianpun mulai terjadi. Nona berpikir perpisahan yang dia rencanakan ini adalah yang terbaik dan akan membuat Fachri bahagia, sedangkan Fachri berpikir jika Nona sok tau, “Kamu gak tau, hal apa yang terbaik buatku dan perihal siapa yang bisa membuat aku bahagia” Kata Fachri.

Namun Nona sekeras batu. She thought she’s not worthy at all for him. Perbedaan yang membentang terlalu jauh. Perbedaan Suku. Perbedaan Fisik. Nona berpikir dia hanya wanita biasa yang tidak akan membuat Fachri, Mahasiswa paling tampan dikampus ini bahagia.

Hal ini membuat Fachri marah dan kecewa. Jembatan kemesraan mereka pun retak.

Sepatu kanvas basah, tubuh yang menggigil, langkah yang tak kunjung terhenti, dan lampu-lampu kota yang mulai menyala. Nona still can feel him here, there, and everywhere. Lamat-lamat ditundukkan kembali wajahnya ke bawah. “I want you back and forever be mine..”. Hanya kata itu saja yang terlintas.

Nona tak kuasa mengingat kembali semuanya, saat beberapa tahun lalu, laki-laki ini, dibawah hujan, menatapnya untuk yang terakhir kali, lalu bertanya dan memaksanya untuk berjanji.

“Don’t give up on me.. and on us. Jangan Pergi.”

Tak ada jawaban dari Nona. Hanya rintik hujan.

“Please..” Fachri mengambil genggaman tangan Nona.

Nona masih terdiam. Menahan getaran hebat dibibirnya. Dan Laki-laki inipun menyerah. Tertunduk dan pergi. Pergi meninggalkan Nona dengan sekotak coklat basah di tangan. []

Rasa Patah Hati


Di gerbong kereta Commuter Line.

“Mbak, novelnya sedih banget ya? Sampe sembab begitu?”

Novel ber-genre fiction-horror itupun dia benamkan diwajahnya. Bagi Nona, mengalihkan konsentrasi ke media manapun nggak akan membantu banyak, segala aliran rasa dan air matanya tetap tak bisa dia hentikan.

———————-

Di kantor.

“Udahlah mbak, muka lo itu emang udah maksimal, nasip lo cuma dua, kalo nggak ditolak, ya diputusin…”

Pulpen murah meriah itupun akhirnya mendarat di kepala adik kelas, dan sahabat, sekarang teman satu kantor Nona yang memang sedari dulu hobi nyela tanpa pandang bulu.

———————-
Di sms.

“Hah kerokan lagi…? Lo penyakitan amat semenjak diputusin adek gw… hahaha…”

Nona tertawa keras, menertawai dirinya sendiri. Ternyata, sudah sebegitu parahnya psikosomasis phase yang dia alami. Mungkin sebentar lagi nona betul-betul akan memasuki fase skizofrenik . Nona nggak akan pernah tau.

———————-

Semua kenangan Nona bersama Dia bersifat transendental, yaitu berkaitan dengan sesuatu yang berada diluar jangkauan pengalaman biasa dan ilmiah.

Malam itu sedikit temaram walaupun sepotong bulan tergantung agak terang. Nona ingin sekali sembunyi di tetes air di ujung daun talas agar meretas, dan melupakan jejak Dia yang meninggalkannya di sisa sisa hujan sore itu.

Tapi sungguh, disaat lupapun Nona tak dapat melupakannya. Retorika ini mungkin berarti beda. Tapi bagi Nona, keduanya sama saja. Sama-sama rentan, sama-sama kehilangan.

Dalam langkahnya yang diseret lambat-lambat, Nona berlari dari semua rasa yang dia batasi. Dia seka untuk yang kesekian kali tetes airmata itu menggunakan bahu tangannya. Nona tak pernah tahu berapa lama Dia singgah dihatinya, tapi irama Dia serupa iringan detak jam dinding yang dia hapal.

“Ampun Allah.. belas kasihanilah aku…”

bisiknya lirih lalu bersimpuh terisak ditanah basah.[]

Manusia dan Kemuliaan Status


Gw punya sahabat baik, let’s call her Manda. She’s perfect as a friend. Menyenangkan, cantik, pintar (sekaligus polos), dan luar biasa baik hati. Manda sangat gw sayangi, dan gw rasa semua orangpun begitu.

Tapi Manda punya satu masalah: Nyokapnya.

Nyokapnya Manda adalah tipikal seorang ibu-ibu pejabat golongan elit yang pernah tinggal lumayan lama diluar negeri. Well, masalahnya, setiap pembesar memang punya beberapa kecenderungan tertentu.

Misalnya saja merasa berbobot kalau sudah ngomong, lebih berbobot lagi kalau tak mendengarkan orang lain. Yang paling parah, asal menilai lalu memberi pembedaan perlakuan pada orang lain hanya berdasarkan atribut (baca kasta) yang melekat pada diri orang lain tersebut (contoh: bagaimana status keluarga, baca: lo datang dari keluarga tajir atau melarat.)

Untungnya, gw dateng dari keluarga Menengah. Kadang Tajir Kadang Melarat. Bokap gw nggak pernah jadi pejabat. Bokap gw nggak punya Villa di puncak-puncak bukit. Bokap gw nggak ngerokok cerutu import.

Karena bagi bokap gw, laki-laki nggak harus dinilai dari harta dan tahta, nilai dan tata krama yang sangat penting adalah bahwa laki-laki itu harus bertanggung jawab, laki-laki harus menghidupi. Itu saja.

Gw jadi merasa terlempar jauh ke masa lalu, saat hidup dan kebebasan masih terpasung, terkotak-kotak, dan paham feodalisme masih bercokol disetiap proses perjalanan hidup manusia. Dimana harta, tahta, status dan kebangsawanan darah itu sangat berarti, sedangkan tiada tempat lagi bagi kebangsawanan jiwa dan budi pekerti.

Gw kenal nyokapnya Manda, gara-gara suatu hari, beliau pernah telpon gw. Simple aja, cuma nanya gw lagi sama Manda apa nggak. Kebetulan waktu itu, gw pulang cepet dari tongkrongan, jadi gw nggak tau si Manda pergi kemana. Gw pikir that’s it, setelah gw bilang gw nggak tau Manda dimana, telpon bakal ditutup, dan pembicaraan bakal selese.

Ternyata gw salah, selain melakukan “underground-stalking” menanyakan Manda dan segala aktivitas Manda di luar rumah, nyokapnya Manda juga menanyakan secara mendetail tentang hal ikhwal siapa gw, tentang what I do for living, tentang pekerjaan orang tua gw, tentang kuliah gw dimana dan ngambil jurusan apa, dimana gw tinggal, gw punya pacar atau nggak, dsb dsb.

Semua pertanyaan itu, gw jawab dengan jujur. Dan dari situ lah Nyokapnya Manda tau latar belakang keluarga gw (yang ternyata bukan keluarga darah biru. Lha wong darah gw merah kok).

Well, mulanya gw agak risih dan bingung, Karena gw pikir, emang penting ya nanya bokap gw siapa dan pekerjaannya apa? tapi buru-buru gw tepis semua kekhawatiran dan prasangka jelek gw tentang itu. Yah namanya baru kenal, wajar jika ingin tahu lebih banyak.

Setiap nelpon gw, nyokapnya Manda selalu menekankan (atau lebih tepatnya mengancam) agar gw nggak ngasih tau Manda jika selama ini nyokapnya suka telpon gw. Karena, Manda bakal marah ke nyokapnya kalau aja nyokapnya ketauan mata-matain Manda dari belakang. Gw pun menurut, “Sendhiko Dawuh, Tante, aku janji nggak bilang Manda”.

However, mentang-mentang gw bukan berdarah pepsi blue, semakin lama, nyokapnya Manda semakin bersikap seenaknya dan tidak bisa mengontrol kata-kata dan intonasi bicaranya saat nelpon gw. Beliau selalu bicara dengan nada tinggi, membentak dan memberi perintah selayaknya bendoro ke babunya.

Namun, gw kok rasanya semakin yakin jika memang BETUL gw diperlakukan berbeda sama nyokapnya Manda. Karena secara nggak sengaja, kawan setongkrongan yang lain (sebut saja Lila) cerita bahwa dia juga ditelpon nyokapnya Manda, Sependapat, temen-temen tongkrongan gw yang lain juga begitu, ikut ditelpon sama nyokapnya Manda.

Bedanya, ke temen-temen gw yang lain Nyokapnya Manda begitu halus, lembut, baik, dan sangat sopan. Nah Lo. Bahkan pake kata-kata panggilan ‘Sayang’ segala.

Tadinya gara-gara itu, gw sempat berprasangka mungkin setiap nelpon gw, sampe pake otot dan marah-marah karena beliau lagi PMS atau senewen sama hal lain aja, trus kebawa ke gw. Yah, lagi apesnya gw aja.

Seminggu, dua minggu berlalu, sebulan pun lewat. Nyokapnya Manda udah jarang banget nelpon gw.

Nah, di suatu malam, gw nongkrong lagi sama temen-temen gw, Manda juga ikut. Kami ketawa-ketawa, Karaoke, cela-celaan sampai kelaperan. Setelah itu kami memutuskan untuk cari angkringan, makan dipinggiran jalan. Tanpa diduga, HP gw bunyi. Caller: Nyokapnya Manda.

Gw excited (campur panik). Gw pikir saat itu adalah kesempatan baik buat gw untuk ngerubah imej gw supaya akhirnya nyokapnya Manda bisa baik sama gw. At least worth to try. Nggak ada salahnya dicoba.

Namun hasilnya.. diluar ekspektasi gw.

“Udah deh!! Tante nggak bisa tahan lagi!!! Kamu dan teman-temanmu itu sudah keterlaluan dan semakin liar!!! Nggak bisa kontrol waktu dan nggak terkendali!!! Pokoknya..!! Tante mau Manda pulang sekarang!!!”.

Cuma itu kata terakhir yang gw inget dari nyokapnya Manda sebelum Beliau nutup telpon. Entahlah, saat itu, rasanya ada yang retak dihati gw. One simpel question: WHY ME??? Apa karena gw miskin trus dia boleh bersikap begitu sama gw?

Berusaha sabar, Gw inget-inget kata-kata temen gw, si Misro. Dia pernah memberi nasehat ke gw bahwa Tuhan mempunyai maksut tertentu dengan memberikan kita dua buah mata. Mata yang kanan untuk melihat kebaikan, yang kiri untuk melihat keburukan. Mata kanan untuk melihat Kebaikan pada orang lain dan Mata kiri untuk melihat Keburukan pada diri kita sendiri.

Amarah gw pun mereda. Karena ‘mata’ ini harus bisa melihat dengan benar secara fungsi yang dijelaskan diatas tadi. Ada hikmah yang harus diurai dibalik semua kejadian ini. Dan ada pelajaran yang Tuhan mau berikan ke gw.

Kata guru ngaji gw, manusia bukanlah makhluk mulia, namun manusia diberikan potensi kemuliaan. Manusia menjadi mulia ketika potensi kemuliaannya difungsikan, sebaliknya, manusia dapat menjadi hina ketika potensi kemuliaannya diabaikan.

Seseorang tidak menjadi terhormat karena ia seorang pejabat atau direktur, serta tidak menjadi rendah karena ia seorang sopir, satpam atau kuli bangunan. Kehormatan seseorang terletak pada bagaimana ia menyikapi posisinya, bagaimana ia berperilaku pada fungsinya.

Manusia yang paling beruntung adalah kalau ia punya jabatan tinggi sekaligus memiliki kesantunan dan kearifan kepada bawah-bawahannya. Dan manusia yang paling sial adalah kalau sebagai seorang kuli ia masih saja suka tidak jujur dalam pekerjaannya.

Ah, jika saja Nyokapnya Manda mampu mengingat bahwa dibalik semua kehormatan, mengintip kebinasaan, dibalik hidup adalah maut, dibalik kebesaran adalah kehancuran, dibalik persatuan adalah perpecahan, dibalik sembah adalah umpat, pasti beliau akan memperlakukan gw lebih baik lagi.

Semenjak itu, gw jadi autis menjelang tidur, lama terjaga dikegelapan kamar. Dan gw jadi merasa tenang saat menikmati indahnya cahaya lampu teras rumah yang masuk dan jatuh melewati kisi-kisi blindfolded jendela.

Semburat cahaya akan membentuk garis gelap-terang teratur ditembok kamar. Gelap lalu terang. Kemudian gelap dan terang kembali. Begitu sederhana, seperti halnya hidup. Karena memang tidak ada yang lebih sederhana dari hidup: lahir, makan, minum, tumbuh, beranak-pinak, dan berbuat kebajikan.

Ya, berbuat kebajikan. []

Kebaikan dan Kebenaran


Minggu pagi. Sekeluarga besar gw (besar dari Hong Kong! :p orang cuman bertiga!) sedang asik di teras rumah.

Bokap gw lagi asyik nguras kolam ikan. Disebelah, arah berlawanan, ada nyokap gw yang duduk pake dingklik sambil nyemangatin bokap. Dan di depan pintu ruang tamu, gw lagi asyik ungkang-ungkang kaki sambil megang buku lama yang menceritakan tentang Roofstaat (kerja paksa) yang merompak Jawa hingga 800juta gulden.

Lalu Emak gw nyuruh bokap mindahin ikan Sepat yang masih kecil-kecil, karena takut dimakan ikan-ikan Lele yang nggragasnya bukan main. Tapi bokap gw bilang “Nasipnya si ikan lah kalo sampe dimakan sama para Lele” sambil ketawa-ketawa jail. Gw cuman ngelirik sambil ngrepus krupuk bawang dari toples kaleng biskuit.

Nggak beberapa lama, ada suara kegaduhan. Ributnya bukan main. Gw sampe setengah loncat.

Wah ada orang berantem!!!!

Rupanya ada dua tetangga gw yang berantem, sebut saja Bu Tarigan dan Pak Joko. Pak Joko marah-marah karena ada bau bangkai disekitar rumahnya, ternyata bau bangkai itu disebabkan oleh ayam sang Bu Tarigan yang sudah mati berhari-hari di got depan rumah Pak Joko. Karena posisi matinya si ayam nlisep (halah bahasanya, nlisep means nyempil dan unreachable), maka keberadaan sang bangkai ayam tiada diketahui.

Sangat sulit melerai pertikaian ini, Pak Joko mengaku benar, Bu Tarigan juga mengaku benar.

“Ayam ibu ini mati mendadak, bisa jadi flu burung kan..!!! Ini sangat meresahkan saya! Harusnya punya piaraan itu diopeni, bu!!” Sahut Pak Joko ketus.

“Lah, mana saya tau lah, ayam saya mati kenapa pak. Memangnya ayam saya harus saya pasangi GPS satu per satu???!” Teriak Bu Tarigan nggak kalah jengkel.

Gw pikir dua orang ini ada benarnya, dua-duanya sama-sama punya kebenaran.

Malamnya, setelah akhirnya ‘jenazah’ ayam itu dibakar, gw lalu tergelitik dan ngajak diskusi bokap tentang menyingkapi sebuah kebenaran. Kalau disederhanakan ada tiga model kebenaran yang berlaku dan dialami manusia. Pertama, benere dhewe (benarnya sendiri). Kedua, benere wong akeh (benarnya orang banyak). Dan, ketiga bener kang sejati (kebenaran hakiki).

Jika kebenaran itu berjalur banyak begitu, maka gw menyimpulkan bahwa kebenaran itu tidak satu. Lho piye to? Kebenaran itu harus satu definisinya, yaitu B-E-N-A-R yang BENAR. Jika memang semisal ada banyak ‘benar’, ada kemungkinan kebenaran yang satu bisa kres (cross) dengan kebenaran yang lain.

Sambil memeluk kaleng bekas biskuit yang berisikan kerupuk bawang made in pasar Ciputat, gw mencoba berfikir lebih tajam. Gw menahan laju nafas dan menyipitkan kedua mata gw, alih-alih berharap semoga pencerahan itu segera tiba (padahal seret).

Sambil nyumet rokok, bokap gw masih asik mikir. Gw pun masih asik dengan krupuk ditangan. Mata gw terus menatap, mengajak bercakap. Bokap gw mengelempuskan asap rokok ke udara, beliau paham, namun diam.

“Iyh dina shirotol mustaqim..” Bokap gw kembali menghisap rokoknya.

Jidat gw bekerut. “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus?” Balas gw dengan intonasi bingung.

Bokap gw melanjutkan, “iya, lalu, kenapa bukan Tunjukkanlah kami jalan yang benar?, hayoooo.. ?”.

Gw menggeleng tolol.

Bokap lalu bercerita soal kejadian tadi pagi. Beliau menjelaskan jika kebenaran itu HANYA ada satu, dan kebenaran yang satu itu milik Tuhan. Jadi, tidak ada yang namanya bener-nya manusia a, benarnya manusia b, benarnya manusia c, dst.

“Lalu bagaimana kita mencari kebenaran yang satu itu, pops?” tanya gw semrawut.

“Dalam kehidupan ini, manusia selalu menemukan keruwetan hidup, kesulitan hidup, karena mencari kebenaran atas satu sama lain.”

Jidat gw tambah berkerut nggak karu-karuan.

Bokap melanjutkan: “ya gini deh, kamu misalnya, bersengketa sama orang lain. Sebaiknya yang kamu cari ya jangan kebenaran”.

“heuu??? lah kok gitu???” gw memotong ngeyel tanpa ‘sendhiko dawuh’.

“Lho iyo, nek kamu cari kebenaran, bakal njlimet. Kamu punya sebuah kebenaran, orang lainpun punya kebenaran. Padahal kebenaran itu cuma ada satu.”

Bokap gw menunjuk langit-langit rumah tepat saat menyebutkan kata SATU. Tanpa sadar mata gw mengikuti.

“Dalam bermasyarakat, sebaiknya yang kamu cari itu BUKAN kebenaran, nduk.. melainkan kebaikan.”

“Maksutnya?” akhirnya gw meggeser tempat duduk dan menaruh toples krupuk di meja. Supaya lebih konsentrasi.

“Nek kowe, nggolek benere dhewe, yo rak bakal ketemu. Lah wong maksute wis bedho, garise jugak wis bedho. Mulakno, tadi aku bilang, jika bersengketa, yang dicari itu KEBAIKAN, bukan kebenaran..”

Cengiran gw semakin lebar.

“Nah, seperti yang tadi kubilang, setiap kamu sholat kan kamu sebut itu ‘iyh dina sirothol mustaqim – tunjukkanlah kami jalan yang lurus’, ya to? Kenapa bukan tunjukkan kepada jalan yang benar? Hayo? Weeee ojo main-main mbek ayat kuwi, nduk. Jika kamu, melakukan sesuatu apapun dengan lurus, itu berarti kamu sudah baik. Dan kebenaran itu akan datang sendiri, seiring sejalan, jika kamu dan hidupmu sudah berada pada lingkaran kebaikan.”

Gw mendapatkan sebuah pelajaran berharga lagi. Pelajaran yang tidak lahir dari perpustakaan, referensi atau buku-buku, melainkan bersumber dari pengalaman otentik, dari keringat dan airmata realitas, dari nurani yang jujur dan pikiran yang jernih. Kalo kata guru ngaji gw, itu ilmu sejati. Mutu dan pahalanya sepuluh kali lipat dibanding dosen yang mentransfer kalimat-kalimat dari buku ke diktat para mahasiswanya.

Well, hidup bukanlah impian, melainkan kenyataan-kenyataan yang dingin dan telanjang, tapi kenyataan itu pun tak perlu buruk jika orang tiada menghendakinya. Dia tidak buruk, dia indah, selama ada keindahan di dalam bathin kita.

Begitu juga dengan pemaknaan dari sebuah kebenaran itu sendiri. Malam itu gw tidur pulas, diiringi senyum puas atas semua jawaban bokap yang terasa sangat pas.[]

——–

Answer less. Question more.
Comply less. Question more.
Believe less. Question more.

Perempuan dan Attitude


Kawan gw, seorang gadis cantik (sungguh, ini bukan lebay), sesekali mengulangi pernyataan yang sama (dan selalu sama) semenjak pacar barunya yang duda beranak tiga, membelikan smartphone (lets called it so) yang katanya canggih itu. “Lo harusnya beli kaya ginian, yum. Lo harusnya malu ama slip gaji, masa nggak mampu sih beli? Ginian doang gitu lo”.

Ditawari begitu gw cuma nyengir dan mengangkat Sherry glass gw (yang isinya sekilas mirip spirtus), “Cheers for your super life.” lanjut gw.
Malamnya, di sebuah cafe express lokal dalam kota. Mata gw nggak bisa kedip saat ada cewek cakep (banget) ini, duduk didepan gw persis, memainkan rambut brunet bucheri-nya (bucheri: bule cet sendiri) sambil bertelpon ria, entah dengan siapa.

Cewek ini mirip sekali dengan Victoria, si vampire ganas dalam buku Twilight (sebuah seri novel karya Stephenie Meyer). Berbalutkan Trench coat (sejenis rain coat) yang gw rasa nggak beli di Indonesia. Belum lagi tasnya, hm.. Quintessential woman’s handbag by Coco Chanel. Pokoknya pasukan elit wanita james bond bangeeet, keren abis deh, gw pengen banget bisa kaya gini.

Nggak beberapa lama, ni cewek nutup telpon. Cewek model gini pasti nggak bisa deh kalo nggak tacap dong, so diambilnya kaca kecil dari tas mahalnya. Otomatis secepat kilat dia merogoh tissue lalu secepat mungkin mendempul ketidak-sempurnaan tadi. Dan saat itulah, saat dimana semua yang ada dibenak gw tiba-tiba aja blur, tiba-tiba gelap.

Itu cewek buang tissuenya sembarangan. Iya!! buang sampah sembarangan. Bukan dibuang pada apapun yang notabene tempatnya sampah.

She may not know that beauty with no attitude is a totally BIG dissaster!

Satu lagi kejadian, saat gw terkenang pada suatu malam, belum lama berselang, sebut saja Sophie, temen gw yang lain, MARAH-MARAH sama segerombol cewe satu kantornya tapi lain divisi: “Sempet ya kalian ke Salon pas Lunch disaat GENTING kaya gini?!! Dasar gak professional..!!! pake acara korupsi jam makan siang and ngeberantakin RENCANA kerja gw pulak!!! Apa sih mau loe-loe pada?!”

Sophie, sambil menunjuk muka innocent para Barbie itu, melanjutkan dengan intonasi pelan namun menghujam: “Boleh gak kalo gw anjurkan kalian untuk bisa lebih BALANCE sebagai manusia!! kalian kok kayaknya gampang banget ya ngeluarin uang ratusan ribu buat ke Salon?!!! Apa susahnya sih beli buku seharga 35rebu cuma buat ngencengin ISI OTAK KALIAN??!!”

What a lovely statement! Ingin rasanya gw melakukan pengalungan bunga kepada Sophie saat itu.

Sementara itu, baik gw ataupun yang dimarahi cuma bisa mingkem. Suara Sophie bener-bener kenceng dan waow.

Satu lagi kasus lain. Ada teman, of course perempuan, yang menyembunyikan umur sesungguhnya. Approaching 30 ngakunya early 20. Some place at cafe, kalo para cewek seumuran gw sedang kumpul bareng lalu didatangi cowok-cowok lucu, jempol kaki gw selalu jadi korban, diinjek sama temen saat gw polos njawab: “gw 26” ke cowok-cowok lucu itu. Setelah diinjek, gw cuma meringis dan berbisik: “what did I do?!?”.

Di lain kesempatan, kadang mereka bertanya: “kenapa sih yum, lo cuek aja proclaim bahwa umur lo sudah nyaris 30?”.

“Helloooo, I am 26 and will be 30 anyway, so what?? It’s God’s gift to reach that age, why denying it?”. Dan as usual, kalimat itu cuma ada dalem hati aja, diluaran gw cuma bisa nyengir lebar sambil mengangkat bahu: “kaga tau dah..”.

Sambil taking a deep sigh lalu disambi nyruput kopi, gw mbatin: a women, so ugly on the inside that she couldn’t bare on the living if she couldn’t be beautiful on the outside?

“Ayolah nona muda, jangan nampak begitu sedih, matahari secuil itu tiada akan pernah ubah warna kulitmu jadi semacam kuli pribumi. dan apa pula gunanya payung kecil genit yang kau bawa-bawa itu?” – Kartini
[]

Tentang Sakit Hati


Belakangan, gw menemukan teori bahwa besar kecilnya sakit hati kepada seseorang dapat secara tepat ditakar dari seberapa berarti seseorang bagi hidup kita.

Dan menurut gw, sakit hati itu bukan dendam, bukan irony, bukan juga rasa kecewa akibat suatu sebab yang endingnya nggak sesuai terhadap apa yang kita harapkan. Atau, sakit hati, bukanlah suatu hal keji yang mampu merubah seseorang biasa menjadi kriminal.

Sakit hati, bagi gw hanyalah seupil efek yang timbul disaat kita berusaha melepas apa yang kita anggap sebagai milik kita (padahal pada kenyataannya: BUKAN). Agak sarkastik, gw perjelas artinya sebagai greedy atau tamak.

Tamak untuk tidak berbesar hati mengakui bahwa Tuhan sesungguhnya maha adil, sehingga jika kita merasa hidup ini tidak adil, lantas kita sakit hati.

Atau, tamak untuk tidak berbesar hati mengakui bahwa kita hidup untuk saling berbagi kasih, sehingga jika kita hanya berbagi tanpa menerima bagian, akhirnya ada acara sakit hati.

Atau, tamak untuk tidak berbesar hati mengakui bahwa kita terlahir untuk mencintai, sehingga jika toh tidak dicintai, ujungnya sakit hati.

Gw pernah merasa mencintai seseorang. Gw menyelipkan kata ‘merasa’, karena belakangan gw tahu, bahwa orang ini sama sekali nggak merasa dicintai dengan cara gw mencintainya.

Saat ini gw berusaha berbesar hati untuk menyadari bahwa sebetulnya nggak ada cinta dibalik semua perhatian, kasih, janji, kata indah, dan sejuta rayuan dari lelaki ini. Tapi entahlah, untuk membesarkan hati ternyata sakitnya bukan main.

Dalam keadaan jatuh cinta kita menangkap senyuman sebagai perhatian, kita menemukan realitas lain bahwa sebait kata janji sebagai sesuatu yang istimewa. Mereka yang jatuh cinta sebenarnya sedang mendustai, mengubah realitas yang ada. Dusta tak lain dan tak bukan adalah bentuk lain dari cinta.

Jadi tersadar sejenak (dan tersenyum lagi tentunya) saat mendengar dialog dari sebuah film komedi lokal:

Pria 1 : Lepasin gw! Biarkan gw pergi! Lo tau, ketika kata sudah ngga bermakna, biarkan golok gw yang bicara..!!!

Pria 2 : Tenang bung!! Tahan diri!! senjata tajam tak hanya membunuh manusia, tapi juga bisa membunuh reputasi!!

Hahaha, gw jadi malu, gw nggak ada bedanya dengan pria di film itu. Membawa ‘golok’ untuk menyelesaikan masalah. Bukannya selesai, bisa-bisa malah gw yang ‘terbunuh’ karena gw memegang ‘golok’ tadi tanpa kesadaran penuh akan fungsi dan efek yang akan diakibatkan si ‘golok’.

Gw tau, saat ini, gw mengalami kegagalan. Kegagalan untuk sebuah penantian berumur 10 tahun, kegagalan untuk membuat diri gw percaya bahwa gulungan cinta dan waktu itu saling terkait satu sama lain. Lewat kegagalan itu, gw menerima jika cinta ya cinta, tak ada kaitannya sama sekali dengan ‘waktu’ yang ditarik, demi timbulnya benih bernama cinta.

Gw jadi ngikik sendiri, menertawakan kebodohan gw, teringat emak gw yang sering menghibur pada saat gw bad mood: ‘tenang ndut, kegagalan adalah sukses yang menghindar’. Hahaha..

Setidaknya sakit hati itu mulai hilang, hati gw mulai membesar sekarang. Sometimes, the person that we love the most, is the hardest to be loved, demikianlah aturan mainnya, kita harus sepenuhnya sadar akan hal itu, supaya nggak tamak, supaya nggak sakit hati. []

Menggali Keimanan di Negeri Terbuang

Plaza Senayan. 19:30. Gw clingak clinguk sendirian. Entah sudah berapa ratus kali jus berwarna merah centil didepan gw, gw aduk-aduk nggak karu-karuan. Pun setiap orang lewat, sepertinya, memandang haru ke gw. Well of course, that’s because I’m the one who’s sitting alone there. Tapi gw nggak resah, justru gw biasa aja. Gembira malah.

Sudah beberapa minggu ini gw hadir dan eksis kembali di Jakarta tercinta, yang sumpek, uyel-uyelan dan nggak kalah semrawut bin macet bak neraka, walaupun sebenernya gw belum pernah mampir kesana. Bukannya belagu, after all, gw ngerasa kehilangan sesuatu aja.

Gw mulai kangen temen-temen gw di negeri nun jauh disana. Juga kangen sama para BMI (Buruh Migran Indonesia) yang tiap minggu ngumpul di Victoria park. Ah, BMI, yang jumlahnya ribuan. Ribuan rakyat kecil yang pergi merantau menjual tenaga kasarnya, diusir oleh kemelaratannya sebagai warga dari suatu negara yang sebetulnya sangat kaya raya. Inilah gw, kelamaan kerja di Luar Negeri, alhasil gw jetlag dong di negara gw sendiri.
Kemaren, sumpah loh, gw kaya orang bego dipinggir jalan, gara-gara bingung, mau nyebrang, tapi nggak ada zebra cross, nggak ada traffic light buat pejalan kaki/pedesterian.

Jadi selama kurang lebih 15 menit gw diem aja dipojokan, gw asli nggak merasa aman, mobil disitu kenceng-kenceng semua, dan gw nggak tau, apakah nyebrang disini, pada dasarnya, boleh apa nggak. Sampe suatu ketika, ada anak SMA nyebrang aja dengan santai sambil SMS-an. My God! Puyeng gw liatnya.

Belum lagi rasa kangen gw sama burung-burung gereja yang imut-imut lagi nurut, yang nemplok seenaknya dimana-mana. Plus para burung dara yang bebas centil bermain ditaman-taman kota, tanpa harus takut disiksa, ditembak, digoreng, ataupun dibumbu kecap.

Tapi itu belum ada apa-apanya dibanding cerita gw yang berikut. Hahaha, beneran bikin gw geli sekaligus kesel soalnya.

Tiap hari, gw ngantor naik kereta. Kereta yang gw naiki cukup aman, ber-AC, tempat duduk empuk, yang naik wangi-wangi. Tapi meski wangi, mereka itu ya masih ada aja yang ndak beli tiket. Karena mekanisme/manajemen baik jadwal ataupun pentiketan di perkereta-apian kita masih jauh dari standar pemenuhan kata: “layak”.

Suatu Sore menjelang malam, disebuah kereta yang walaupun padat namun tak kunjung merayap, seorang Mbak berdandan Menor yang duduk disebelah gw colek-colek lalu bertanya: “eh, ini tiket keretanya berapa ya?”.

Gw jawab “lima ribu, mbak”. Kami diam kembali.

Beberapa saat kemudian, Mbak berdandan Menor itu tiba-tiba tanya lagi: “Kalo nanti kondekturnya lewat, kasih berapa ya biasanya? Saya lupa BELI karcis nih, tadi buru-buru.” (padahal gw juga buru-buru, tapi gw bela-belain beli tiket).

Ditanya begitu, gw gelagepan, tapi gimanapun, gw nggak mau bikin Mbak berdandan Menor itu panik, gw tetap berusaha adep silokromo, “ya kasih aja seikhlasnya, mbak. Biasanya sih sama, barangkali 5000 rupiah.” lalu gw tersenyum.

Eh tau-tau, si Mbak berdandan Menor tadi nyinyis, memandang gw dengan tatapan nanar, “Ih, saya sih jujur aja ya mbak, sudah biasa ikut prosedur (beli karcis), warga negara yang baik loh saya, jadi ngga biasa yang main-main belakang gitu, ini kan karena tadi buru-buru aja, makanya nggak beli karcis, lupa”, Mbak berdandan Menor itu membuang muka, seolah walaupun dia yang salah kaga beli karcis, tapi tetep ajeh gw yang jadi hinaaaaa banget (walaupun beli karcis), karena mengerti sisi gelap praktek kolusi ticketing terselubung diperkereta-apian Indonesia.

“Lah..! Slompret yak!”.

Meringis maksa, KZL. Well, as I recall, gw cuma bisa ngamuk didalam hati aja, walaupun sebenernya gw pingin banget nyeteples karcis kereta gw, dibulu mata palsu si Mbak berdandan Menor yang terpasang amburadul itu.

“Enak aja, Asal lo tau!! gw kaga pernah absen beli karcis!!”. Tapi ndilalah, cuma dalem hati doang. Susah memang kalo punya watak sumbadra kayak gw, ditindas terus! Hahaha.

Hm, jadinya kerasa bener banget kata-kata pak motivator di tipi: “bergaullah dengan orang-orang baik, agar kita mudah berperilaku dengan baik”. Mungkin Mbak berdandan Menor itu mainnya tau deh sama orang apa. Orang-orangan sawah kali, makanya sawan. Hehehe.

Well, life is just like taking picture, exposes for shadow and develop for highlight. Jadi karena kejadian-kejadian tadi, gw nggak lantas serta merta benci sama Jakarta, lalu mau ikut pindah ke negara yang jauh lebih civilized dari Jakarta (tanpa bermaksut menghina Jakarta tercinta).

Bagaimanapun beratnya, manusia tetap memiliki rahasia kemampuan dalam mengatasi alam. Apabila batasan rahasia itu terbuka, maka manusia bukan saja menjadi transendental atau bebas dari kungkungan alam, tapi juga sekaligus berarti ia menapak ke level yang lebih tinggi, yang semestinya memang ia tempuh.

Masih banyak yang bisa dijadikan pelajaran hidup disini, banyak orang-orang mulia yang hidup sederhana. Yang memulai hidup dan menggali keimanan mereka melalu titik terendah yang pernah mereka alami.
Makanya, gimanapun, gw tetap cinta Indonesia. Cintaaa banget..!

Dari sini gw bisa belajar arti sabar menunggu macet, syukur bisa disambi membuka dialog dengan Tuhan, ngobrol sendiri ngalor ngidul, dari hati ke hati yang bersifat pribadi.

Disini gw bisa belajar arti kewaspadaan dan keberanian untuk nyebrang jalan tanpa rambu/tanda apapun, syukur bisa disambi komat kamit menyebut (mengingat) nama Tuhan memohon keselamatan setiap kali melangkah nyebrang.

Disini gw juga bisa belajar mengkondisikan amarah sebagai inversi suatu joke kiriman Tuhan, syukur bisa disambi berpikir bahwa jika Tuhan maha humoris, kenapa kita tidak turut tertawa dan menerima rahmat tersebut dengan tangan terbuka yang selebar-lebarnya?

Tuh gimana negara kita tercinta Indonesia nggak ngangeni?

“drrrrrttt.. Drrrttttt..” Ponsel gw bergetar.

Jus merah centil didepan gw mulai mencair. Gw hentikan perputaran konstan sedotan ditangan yang sedari tadi seperti mengaduk-aduk segala angan.

“hallo?”
“hey, aku udah didepan McD, kamu dimana?”
“aku didepan tamani express”
“Coba kamu berdiri deh”

Gw pun dengan sigap berdiri. Melihat seorang laki-laki biasa dengan bola mata yang cahayanya mampu menenggelamkan dunia gua. Yang tiap tatapannya mampu menyusuri tiap mimpi-mimpi gw selama ini. Dia melambai dengan ceria.

Yang bikin kangen, udah dateng![]

The Breaking Windows

Zikhry, temen gw, dari tadi ketawa-ketawa aja disebelah. Trus dia cerita, dia lagi bikin rusuh disuatu milis, katanya, milis lagi seru ngebahas disahkan atau nggaknya si-RUU Pornografi. Dimilis itu ada seseorang yang nanggapi serius komentarnya Zik yang anti RUU. Ya walaupun gw juga anti RUU, tapi gw suka males ngebahas hal-hal nggak jelas lagi nggak berujung pangkal kayak gitu.

Entahlah, gw berasa makin judeg, makin masa bodo. Gimana nggak masa bodo, pusing guah, ngeliat orang yang lebih seneng berantem daripada adem ayem, ngeliat orang yang lebih memilih jadi apatis daripada mikir gimana mengeliminasi jurang perbedaan SARA secara lebih efektif dengan optimis.

Udah lumayan jamuran juga gw tinggal dinegara yang sumpah lo, bebas banget. Sangking bebasnya, lo boleh ngelakuin apa aja asal tidak merusak properti milik perseorangan ataupun pemerintah, dan tidak menyakiti orang lain (intinya nggak menyalahi aturan yang berlaku). Setidaknya gw sekarang mulai rada nggak perduli orang mau kayak gimana, mereka punya hak kok untuk itu, toh dia kagak nyenggol guah dalam merealisasikan hak-hak mereka itu.

Dulu, semisal gw punya temen sekantor yang udah tinggal bareng dan kasarnya berzina tiap hari, mungkin gw akan menjustifikasi secara negatif lalu pergi dari orang itu, walaupun pada kondisi sebenernya, nih orang innernya baik. 
Tapi sekarang gw udah mulai belagu, mulai sok barat. Hehehe.

Yang pasti, selama temen gw tadi masih bersikap baik sama gw, gw bakalan tetep baik juga sama dia. Perihal dia mo ngapain kek, itu urusan dia sama Tuhan.

Tapi lantas, gw tergugah, gw berpikir kalau masalah ini, ternyata nggak sesimple dan seliberal itu. Gw inget obrolan gw sama Zikhry tentang kasus “the breaking windows”. Intinya, moral cerita “the breaking windows” adalah ingin memberitahukan kita, jika sebuah kejahatan itu, minimal, selalu bermula dari ignorance (ketidakpedulian).

Cerita “the breaking windows” itu lengkapnya begini: jika ada seseorang, sebut saja Mastur. Mastur tiap hari lewat disebuah rumah. Rumah itu dilihatnya selalu kosong. Lalu karena tampak tak berpenghuni, timbul rasa iseng si Mastur. Ditimpuklah salah satu jendela rumah pake batu bata, PRANG!!! satu kaca pecah.

Keesokan harinya Mastur lewat lagi. Jendela yang bolong itu masih disana. Rasa iseng si Mastur muncul kembali. Didekatinya rumah kosong itu, lalu dipecahkan kembali kaca yang lain. Begitu seterusnya, sehingga rumah itu akhirnya dibakar oleh si Mastur.

Lalu, apa kaitannya dengan ketidakpedulian?

Hm, seandainya ada orang yang perduli saat itu, lalu mengganti kaca yang ditimpuk si Mastur, tentu Mastur akan berpikir lagi untuk melakukan aksi timpuk-menimpuk yang kedua. Pastinya Mastur mikir dong: Oh, rumah itu ada orangnya loh!

Toh, walaupun Mastur pecahkan lagi, dan seseorang yang perduli tadi kembali mengganti kaca yang pecah. Lama-kelamaan, percaya deh, Mastur capek dan nggak akan melakukan aksi anarkis itu lagi.

Hal ini juga kejadian di Amrik (apa dimana gitu, gw lupa). Jadi waktu itu tingkat kejahatan di stasiun kereta bawah tanah sangat tinggi. Sepele banget sebabnya, cuma gara-gara coret-coretan ditembok stasiun (wall-grafiti).

Kalo nggak salah, waktu itu dimulailah aksi anti-ignorance tadi. Para polisi kota itu, setiap hari (iya EVERYDAY) melakukan pengecatan tembok yang digambari grafiti. Walaupun malamnya akan timbul grafiti baru, tapi siang harinya, polisi akan mulai mengecat ulang lagi. Demikian seterusnya. Sehingga tingkat kejahatan di stasiun kereta bawah tanah kota itu betul-betul menurun drastis.

See? hanya dengan cara yang sangat sederhana (namun butuh kesabaran, animo tinggi, serta mental yang betul-betul sober and sane), kita akan betul-betul mampu menekan tingkat kriminalitas. Amazing!

Tapi yang terjadi sekarang apa? Masyarakat kita sudah betul-betul cuek bukan kepalang. Bagi gw, semua tindak diam (atau pura-pura nggak ngerti/nggak liat) terhadap semua kejahatan, baik yang mengatasnamakan Agama atau nggak, itu ibarat kecanduan ngerokok.

Lo bisa jadi sangat paham jika merokok itu berakibat buruk untuk kesehatan. Tapi semua efek samping buruk itu tetap nggak cukup untuk membuat lo berenti ngerokok. Karena secara nggak sadar, lo mulai menikmati ritualnya: the slender shape of cigarette, the way the tobacco smolders, the fragrant smoke curling around your fingers. ya kan?

Gw jadi inget, gw dulu suka banget sama satu film judulnya: se7en. Suka bukan gara-gara aktor yang maen ganteng (Brad Pitt), tapi gw demen banget ama penjahatnya, si serial killer: John Doe.

John Doe ini melakukan konsep pembunuhan berantai sesuai sama 7 list dosa besar yang harus dihindari: gluttony (kerakusan), greed (ketamakan), sloth (kemalasan), envy (iri), wrath (angkara murka), pride (kebanggaan), dan yang terakhir lust (nafsu birahi).

Suatu hari, John Doe ini menyerahkan diri begitu aja ke kantor polisi. Setelah diinterogasi, banyak kata-katanya yang kerasa mak njuss di bathin gw, dan itu membuat gw berpikir, bisa jadi si John Doe ini, walaupun pembunuh sadis, sebenarnya dia malaikat utusan Tuhan.

John Doe bilang: “We see a deadly sinner in the corner of the street, at home, and we tolerate it. We tolerate it because it’s common. It’s true (that) we tolerate it morning, noon, and night. Well, not anymore. I am shitting the example. And what I’ve done is gonna be puzzled over, and studied, and followed, forever.”

Gw pikir si John Doe ini benar. Kita terlalu biasa mentolerir segala dosa yang lewat depan mata kita demi sebuah kata: toleransi dan pengertian.

Yah walaupun gw juga ngerti, pada dasarnya kita juga nggak boleh memaksa penghapusan ketidakperdulian tadi melalui kekerasan!

Kalau kata orang intelejen: percuma menyiksa orang untuk mendapatkan keterangan penting, karena nantinya, melalui siksaan itu, orang tadi akan mengaku. Tapi mengaku dalam rangka untuk mengurangi rasa sakit akibat siksaan yang dia derita, bukan karena kebenaran yang ingin dia ungkap. Jadinya malah kebohongan kan yang didapat? Percuma dan sia-sia aja kalau gitu kan?

Gw tipikal orang yang sangat-sangat asertif (ya untuk ya, dan nggak untuk nggak). Tapi jujur, gw bingung. Gw sendiri belum menemukan titik penyeimbang antara harus jadi manusia yang memiliki sikap toleransi tinggi, atau jadi manusia yang sepenuhnya peduli dalam rangka menumpas kejahatan dimuka bumi (alakh..).

Kata pepatah kuno: Life without risk is a life unlived. So, sebenere gw nggak harus milih. Justru gw harus menyeimbangkan kadar dari keduanya: Manusia dengan toleransi tinggi namun peka dan peduli terhadap kondisi masyarakat tempat dimana dia bernaung. Nggak realistis memang, tapi gw akan berusaha kesana.

Yin dan Yang, harus ada keseimbangan. Itu yang paling penting.[]

Cara Mengkritik

Masih jam kantor. Gw usap-usap ujung jejari tangan gw. Jari gw pada lecet-lecet dan nyut-nyutan gara-gara motongin (setengah meteran) satu rol kabel CAT-5, trus di krempling satu-satu ke RJ45. Kalo satu rol ada sekitar 50 meter, gw ngerjain 100 kabel LAN berarti, duh.

Well, sebenernya asyik juga sih, secara gw terkadang suka mendadak autis. Sekalian lah dalam rangka nostalgia juga, ngerjain tugas prakarya kayak jaman SD.

Gw usap lagi pelan-pelan. Yah ujung jari gw jadi.. kasar. Hm, gw berpikir gila sejenak, amatlah sungguh malang laki-laki yang nanti seumur hidup menggandeng tangan gw, yang gw raba wajahnya saat dia lagi demam atau meriang, yang gw sentuh bahunya perlahan dengan maksut menguatkan untuk bangkit lalu menjalani hidup.

Ya tentu karena apa yang dia harapkan dari kecil (believe me, men always do), dapet seorang putri jelita yang tangannya halus putih gemulai bak sutra, eh ini malah dapet tangan gw: kasar-kasar dan rada gelap lagi. Hahaha.

Lagi asik-asik becanda ama pikiran gw sendiri, eh ponsel gw jumpalitan. Satu message di inbox. Hm, gw senyum senyum aja bacanya. Dari seorang teman, teman menggila gw (sebut saja mas Alang). Oh, rupanya mas Alang rada protes soal penilaian gw terhadap foto beliau di salah satu situs fotografi tanah air.

Sambil nyengir, gw taro lagi ponsel gw disamping tumpukan configurasi file yang sudah selesai gw kerjakan. .

Hidup ini tercermin dalam lingkaran dualisme, baik secara kebendaan ataupun secara sifat. Namun, manusia cenderung hanya mau menerima separuh dari lingkaran tersebut. Menerima kelahiran, tapi tidak kematian, menerima kemenangan tanpa menoleh pada kegagalan, meraih glamoritas dunia, bukan akhirat. Padahal the true liberation itself comes from appreciating the whole cycle (fully!). Dan bukan hanya sekedar berpegang pada separuh bagian, dimana kita merasa cocok dan nyaman disitu.

Jadi inget, sekitar hampir seminggu lalu, gw pernah bersitegang dengan seorang om-om, karena umurnya 44 tahun katanya. Gara-gara debat pada salah satu forum diskusi. Dia marah sekali dengan kritikan gw. Sampai dia perlu repot-repot mengirim mail dan menjelaskan panjang lebar tentang dirinya. Berasa HRD aja gw, pakek nerima CV segala. Hehehe.

Beliau menjelaskan nama, asal-usul, umur, profesi, tempat bekerja, jabatan, banyak anak buah yang dimiliki untuk saat ini, keadaan keluarga, anak, istri, serta nana dan nini yang lain. Gw cuma mengelus dada. Sambil nyengir tentunya.

Heran aja gw. Ternyata selama ini seorang manusia belum boleh dinilai dari cara berpikirnya tanpa melibatkan atribut yang melekat didirinya, dihargai dari ketenangan dan kebijaksanaan jiwanya bukan dari jabatan serta banyak anak buat yang dia miliki. Well, it¡¦s so much oldies sekali man! (bukan konservatif, karena ada kalanya konservatif itu baik).

Emosi timbul ketika seseorang mengkritik kita, mengacuhkan kita, menyepelekan kita atas sesuatu hal yang kita peroleh, dan diluar itu, sebenarnya kita nggak setuju, kita malah dengan angkuhnya beranggapan jika kita berhak mendapatkan lebih dari itu. Dan parahnya, orang kadang suke ketlisep (misuderstand) tentang pengertian mengkritik dan menghujat. Mengkritik itu walaupun pahit tapi tetap berbuah solusi. Tapi kalau menghujat, ya hanya berkoar-koar tanpa solusi, bahkan tanpa mengikuti norma-norma serta etika yang jelas.

Dari semula, kita memang bermasyarakat namun kurang memperhatikan estetika, karena kita tak pernah dididik untuk memiliki taste yang baik dalam bergaul, tidak dididik untuk beradab, tidak dididik untuk memperhatikan martabat, derajat, serta kemuliaan sebagai manusia.

Memang sih, gw akui, within each emotion there is always an element of judgement. Selalu tetap ada yang dinilai. Misalnya ada seseorang yang berpendapat: “gw kan temen lo, maka lo nggak boleh ngeritik gw”. Nggak gitu brur.

Suatu hari, gw juga pernah berantem sama Zikhry di subway. Gara-gara menurut Zik, gw selalu berkelakuan baik sama orang karena ada ekpektasi lebih. Maksutnya gini, gw baik sama orang, dan (gw berekspektasi) orang lain juga harus baik sama gw, tapi kalo pada kenyataannya orang itu nggak baik sama gw, ya gw bakal kecewa, dan itu menurut Zik nggak worthed aja, mending cuek, orang mau ngapain juga terserah.

Trus pada end line kalimatnya, klise, kata-kata yang sangat typical keluar dari seorag Zikhry, sebuah iklan: “kalo gw sih..”. I don’t care kalo elu. This is me, this is who I am.

Akhirnya saat itu dengan marah gw tereak “Lo sinis banget ya jadi orang?!”. Walaupun padahal tadinya gw hampir menerima kritikan Zik. Kalo aja dia nggak iklan.

Ah, mungkin Tuhan nggak (atu belum) mengizinkan gw untuk jadi orang cuek kayak Zik. Kami berdua sama-sama Aries, mungkin karena itu kerasnya sama. Yah tapi walaupun besoknya tetep biasa lagi, gosip-gosip lagi. Namanya kawan. Yasyuddu ba’dhuhum ba’dho, saling memperkuat satu sama lain. Kalau kata Recto Verso-nya Dee, ada keindahan di balik penderitaan, ada kegembiraan di balik penderitaan, semuanya ada dua sisi. Secara cuman Zik juga temen gw disini ya akhirnya ujung-ujungnya, walau manyun-manyun gw tetep baekan sama dia.

Balik lagi ke urusan emosi dan kritik tadi. Intinya, adalah diri kita sendiri sebagai makhluk, hanya sebatas makhluk, yang menciptakan ketakutan itu sendiri. Ketakutan terhadap neraka, surga, kekalahan, umur, kekecewaan, sakit hati, kebenaran, kejujuran. Seperti yang pernah gw diskusikan kepada seorang guru yang gw anggap ayah, bahwa jujur itu sulit, tapi menerima sebuah kejujuran itu jauh lebih sulit.

Apapun yang terjadi, kalau kita menciptakan destruksi, artinya jika kita melakukan perbuatan yang kita yakini benar, tapi dengan toriqoh, kafiyah, siasah, atau cara, yang ternyata menciptakan destruksi, itu tetap tidak lulus dalam teori kesalehan sosial. Menimbang definisi dari DR.H.Mohammad Sobary, kesalehan sosial adalah ketika perbuatan baik didalam ide dan gagasan kita itu baik serta diaplikasikan secara tidak menimbulkan masalah sosial.

Jadi jika kita baik, tapi dalam penerapannya menimbulkan satu masalah, ada orang yang menderita karena kebaikan kita, menjadi tidak sholeh. Sholeh adalah kita kebaikan kita lulus menjadi kemaslahatan sosial, rahmatan lil alamin untuk orang banyak.

Semoga lain kali kita semua dianugerahkan kesolehan serta kearifan budaya, sehingga kita mampu untuk mengkritik orang secara baik, lalu orang yang dikritik malah akan berterimakasih dan minta nambah (demi kebaikan dirinya sendiri). Amin.[]

Lelaki dan Kedangkalan Pikiran

Beberapa waktu kemarin gw mulai berani untuk membuka diri perihal memulai sebuah relationship. Tapi berangsur-angsur (untuk sekarang) keterbukaan itu kok rasanya pengen gw tutup lagi. Gw jadi parno ajeh gara-gara si Zikhry.

Kemarin di subway, Zikhry cerita, katanya kalo mau nikah itu, kita harus cek kesehatan. Gw cuma diem aja, gw yakin pasti cerita si Zikhry ini kelanjutannya aneh-aneh. Akhirnya bener dugaan gw, Zik cerita kalo temennya dia (sebut saja Bang Udel) nyaranin, kalo misalnya elo mau nikah, supaya nggak ada rasa was-was, penyesalan, penasaran, atau apa lah sebelum nikah, harus diadakan dialog terbuka untuk saling jujur.

Paling nggak alur dialognya ya seputar si cewek masih perawan atau nggak, si cowok udah pernah begituan belum, punya sejarah penyakit apa aja. Ya intinya, demi masa depan cemerlang gitu loh. Gw menganggap semua itu merupakan hal yang wajar, secara emang hidup gw lurus dan normal-normal aja, ya dialog kayak gini nggak jadi masalah buat gw. Ya ngga?

Tapi yang jadi concern mendasar gw (bahasa simple: bikin gw senewen) adalah sewaktu Bang Udel berstatement:

“Semisal dialog itu nggak berhasil, dan you masih belum percaya apakah tu calon bini lo jujur apa kaga, ya lo harus cek langsung, kalo perlu (ekstrimnya) lo suruh dia bugil (tuing tuing tuing). Supaya lo kagak kaya beli kucing dalem karung. Siapa tau bini lo toketnya gede sebelah atau bulu ketekan. Wajarlah, hanya sebatas cek up ala militer gitu. Ibaratnya kan, lo mau beli barang buat dipake seumur hidup, kalo tau-tau lo dapet barang apkiran hayo?! ntar bakal nyesel dah lu.”

Anjrit. Gw beneran tersinggung kali ini. For God’s sake, apa maksutnya barang apkiran? Barang second grade? Barang kw-2? Apa kabarnya kalo cewek itu juga manusia? Punya perasaan, nalar, naluri dan juga emosi. Edan cowok-cowok jaman sekarang!

“Tapi lo pikir lagi deh rum, bener juga kan? Loe realistis aja deh, kalo misalnya calon lo itu nggak perfect, gimana?” Kalimat terakhir dari Zikhry itu bener-bener nampol. Weh, dunia kayanya kejam banget terhadap kaum perempuan. Kenapa jadi kami yang musti telanjang? Kenapa juga jadi kami yang harus dites dan dibuktikan?

Kalo misalnya abis disuruh bugil ternyata nggak cocok? Tetep direject? Atau nggak jadi beli? Muke gile. Serius dah, sakit tau nggak mendengar kenyataan kalo ternyata jenis cowok kayak Bang Udel masih berkeliaran dimana-mana. Nyali gw jadi ciut lagi. Secara gw emang kagak percayaan ama cowok anaknya. Hilang deh semua khayalan gila gw about how we still can fall in love, but in a free way, even without any fear of being rejected.

Trus gw tanya ke Zikhry, kalo misalnya pacarnya dia sekarang memang apkir, alias kaga perawan, gimana? Zikhry njawab sambil cengar-cengir: “ya kan dia udah berani jujur. Mending jujur kayak gitu, setidaknya ya gw masih bisa terima, gw anggap itu karma gw ajah.”

Gw potong: “Kok gitu?”

“Ya iyalah, daripada gw menemukan ketidaksempurnaan itu sendiri? Hayoh, lebih sakit ati lah gw. Kalo udah gitu mah, paling ekstrimnya, gw.. kawin lagi..”

Hm, jadi kangen Zuber, laki-laki ini dulu selalu mensemangati gw kalo gw lagi mellow, dan selalu protes kalo gw selalu ngedumel soal kelakuan cowok yang nana dan nini. Kalo udah mentok, si zuber biasanya bilang: “kalo mau diterima apa adanya, ya harus bisa menerima apa adanya”. Dalem banget tuh kalimat.

Hm, hari dimana Zikhry ketawa-ketawa menceritakan semua hal tadi emang dah lama lewat. Tapi masih ada berasa pilu aja gw. Daripada manyun puasa-puasa, gw memutuskan untuk jalan-jalan sendiri pas wiken. Eh pas banget baru berapa meter dari kosan, hujan, mana gw nggak bawa payung, yah nasip.

Udah hampir seperempat jam gw berdiri mandangin hujan. Hujan kali ini terlalu basah untuk ditambah air mata. Yet for a serious seeker seperti gw, inspiration is everything. Jadi, mau bagaimanapun berasa gundah hati ini, tetap harus ada hikmah yang diambil.

Well, reality is not necessarily lethal, tetapi (at least) kudu mampu membuat kita berpikir satu dua kali untuk lebih waspada terhadap hidup dan tetep kembali pada jalur shirotol mustaqim (jalan yang lurus). Toh sekalipun misalnya jalan kita nggak lurus, Tuhan yang Maha Baik pasti akan tetap mengizinkan kita untuk berputar.

Kesempurnaan itu sendiri merupakan suatu identitas. Dan identitas tidak boleh dibentuk, identitas harus selalu terbentuk dari dalam. Karena ketika identitas hanya merupakan susunan orisinalitas yang notabenenya dibentuk maka kesempurnaan hanya akan menjadi kosmetik.

Lain halnya jika kesempurnaan itu terbentuk dari dalam, hal itu akan menjadi identitas yang matang. Dan identitas yang matang adalah identitas yang berguna bagi penyandangnya.

Like Buddha ever said once: Do not mingle (bercampur, bergaul), because you have different intentions, therefore your views are different and your actions will of course be different. Walah, mbuh lah. Ila allahi marji’ukum – Kepada Allah kembalimu semuanya.

Well, thinking that someone is beautiful is only a concept. But have you ever thought: what is beauty? We may say that it is in the eye of the beholder. Nah makanya didalam geraian rintik hujan, gw sedikitnya mulai dapet pencerahan, jika mungkin, someday, somehow, gw bakal nemu cowok yang cinta dan nerima apa adanya gw, tanpa harus nyuruh gw bugil. Jadi gw semestinya nggak boleh jiper cuman gara-gara Zikhry cerita hal konyol beginian.

These kind of problems are just like the sky, which has no end in space. Bisa jadi ini Cuma sekedar perihal yang ingin disampaikan Tuhan melalui bala tentara langitnya ke gw, bahwa sesungguhnya the real source of fear is ‘not knowing’. Kalo kata bokap gw: “Wes nrimo ae nduk, jo keakehan mikir, uwong ki wes ono dalane masing-masing”.[]

Tentang Sedekah

Semenjak puasa, gw jadi Narkoleptik (suka ngantuk berlebih kalo siang), dan percayalah, saat itu gw pengen bet bales dendam, jadi nanti abis teraweh gw bertekad mau langsung molor. Tapi pas udah jam abis teraweh, ngantuknya malah ilang. Asem. Ngajak berantem banget kan??

Tapi memang kalau malam, gw jadi jarang ngantuk. Mungkin karena pikiran gw suka mengambang kemana-mana, terlalu liar..! (Jangan mesum loh).

Coba deh lo bayangin, gimana gw kaga mikir? Ternyata masih aja ada orang macem gini. Orang yang dengan sangat entengnya mampu ngasih tips 50 dollar ke doorman untuk ngebukain pintu, sementara diwaktu yang lain orang ini masih maksa nawar kaos dipedagang kaki lima sampe abis-abisan, padahal kaos itu harganya cuma 15 dollar. Gila man! Itu seorang pedagang kaki lima yang ibaratnya banting tulang siang malem buat ngasih makan anak dan keluarganya gitu loh.

Well, gw tau, semua orang itu nggak sama. Tapi mbok ya’o.

Gw tanya sama temen sekantor gw, dengan harapan, mungkin cuma orang tadi aja yang begitu, “elo kalo ada orang minta-minta, lo kasih duit nggak dul”. Temen gw njawab “ya nggak lah, kebiasaan, duit tuh nyarinya pake keringet, pake kerja keras, enak aje”.

Lalu beberapa hari selanjutnya, gw tanya lagi, “kalo misalnya dia nggak ada kerjaan lain selain ngemis, lo masih nggak mau ngasih juga?”. Bisa ditebak, temen gw jawab “nggak lah!”.

Lalu beberapa hari setelah hari yang tadi, gw tanya lagi, “kalo misalnya dia bener-bener butuh, lo masih nggak mau ngasih juga?”. Temen gw jawab “nggak”.

Jika kita ingin pintu rezeki atas kita terbuka, maka kita harus membuka pintu rezeki dahulu bagi orang lain. Itu pepatah paling kuno yang selalu gw pegang. Bagaimana kamu mau memuliakan dirimu sendiri, jika kamu belum mampu untuk ikhlas bersedekah demi memuliakan orang lain?

Waktu kapan hari, di suatu ceramah, ustad gw cerita, sebut saja ada dua orang bernama Joni dan Paino. Dua orang ini ketemu sama pengamen jalanan, masih anak-anak. Karena kasihan, Joni merogoh sakunya, tapi Paino menahan tangan Joni.

Paino: “Aduh Jon, Plis deh, jangan daaah dikasih duit anak kecil itu. Nggak mendidik tauk!”

Joni: ” (menghela nafas sebel) Saya ndak bisa mendidik, bisanya ngasih!” Joni lantas memberikan uang kepada pengemis tadi, sembari melirik Paino, “Daripada ngasih enggak, mendidik juga enggak….”. Horotoyokono![]

Kesamaan Sosial

Weekend minggu lalu, seperti biasa, gw menjelajahi kota saat pagi menjelang siang. Ini nggak sekali-dua kali gw mampir ke bioskop paling rame di Mongkok (bukan Mangkok lho ya?). Tapi ya, waduw, baru sekali ini gw kedapetan apes. Haha A-P-E-S.

Pas lagi antri masuk ke bioskop (disini beli tiket diluar, nanti baru masuk ke dalem untuk nyari studionya). Tiba tiba aja gituh, ada pria tua, mungkin umurnya sekitar 45-50 taun lah. Ngeliatin gw, sinis banged (pake ‘d’ biar mantebh), dari ujung jempol kaki sampe ujung jidat. Trus tiba-tiba aja, dia marah-marah.

Karena marah-marahnya pake bahasa alien, ya gw lempeng dot kom. Mana gw tau artinya apa. Rupanya, semakin gw lempeng, dia makin marah. Lama-lama do’i sadar, gw kagak ngaruh kalo dimarahin pake bahasa die, lah emang gw ngga ngerti siy. So, akhirnya, dia marah-marah pake bahasa Inggris.

“Look people, look at her (nunjuk ke gw), is she not feeling hot? This summer! What a moron!”. MORON. Gw cuman diem bin mingkem. Ngeliat respon gw yang datar, dia makin heboh dong.

“Get cat over your tongue, kun yant? You are not supposed to scare people with your clothing style!”. KUN YANT = PEMBOKAT. Gw baru sadar, dia nggak suka liat gw panas-panas gini (summer) pake jilbab. Gw mah tetep cuek. Ndablegh aja.

Nah puncaknya pas mau masuk kedalem ruangan bioskop, dia (sengaja) nabrak pundak kanan gw dari belakang, kenceng banget sambil bilang: “Get move on!! You’re fvcking freak!!”. FVCKING FREAK. Masya Alloh. Mulai gerah juga gw.

Gw menghentikan langkah gw. Entahlah, yang bisa gw lakukan cuma istighfar. Berasa pasrah aja.

Gw sempet nangis pas udah duduk di korsi bioskop. Well, belakangan ini beban dipundak gw lagi banyak emang sih. Temen-temen gw lagi pada menjauh, disini gw sendiri, dan nggak ada satu orangpun yang tanya kabar gw. Yah jadi tambah mellow gituh. Saat itu gw sempet mbatin: “Apa dosa gw dah?”.

Tapi trus gw berasa di TAMPAR lagi. Gw keingetan ama nasehat temen gw, Isro: “Kalau sedang diuji, janganlah menguji”. Gw ini lagi diuji, ngapain juga gw nantangin Tuhan balik: “Apa dosa gw ya, Tuhan”.

Lah, dosa gw kan emang udah banyak. Ngapain pake nanya? Sungguh Dodol. Makanya begitu inget lagi diuji, sedikit demi sedikit, gw mulai terhibur dan nggak nangis lagi.

(Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’in – Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan).

Trus nggak lama, mungkin 1-2 hari setelah kejadian itu, gw dapet pesen dari teman, sebut aja Mas’ud. Mas’ud curhat: “Yum, gw baru dapet treatment gak enak dari temen seruangan, ini orang yg sama yang memperlakukan gw sebagai second grade creature, just because I am ugly..”

Hm..Terserah lo mau percaya apa nggak, tapi bagi gw, Mas’ud ini nggak jelek. He’s a very special and unique human being. So special that I always admire how he’s speaking, they way he’s thinking. Well, his ideas is always been amazed me!

Why most people that have a different way of style, have different way of how they see, listen and understand about something were always considered as a freak?. We are so running out the appreciation of others for being special.

Lo liat deh, liat semua orang. Semua orang sekarang berusaha keras untuk sama. Labeled by Kenzo, LV, Gucci, Armani.

Kalo tetangga punya sejumlah x benda, lo harus punya, al least, x+1 benda seperti mereka.

Kalo temen lu berkata A, at least lo harus punya tendensi 75% setuju akan A (or else lo akan di marginalisasi, dikacangin, dianggep aneh, nggak ditegor lagi, baik langsung ataupun lewat YM).

Kalo sekarang summer and semua orang pake baju kurang bahan, lo juga harus pake bikini?? Atau? Lo akan dibilang Moron a.k.a Fvcking freak kaya gw.

Kalo lo nggak rapih, necis, bergaya borjuis kaya komunitas lo, lo bakal dibilang secondary creature, dibilang ugly. Kaya si Mas’ud.

Plis people, Lo melakukan sesuatu hal, bukan karena hal tersebut menyenangkan buat Lo, ataupun bukan karena secara politis memang lo harus gitu. Apa sih? Cuma demi sebait kata: S-A-M-A? Lalu lo nggak boleh being unique, dan lo nggak boleh look special.

WTF?

Ini semua simbol kesombongan. Dignity yang gw rasa nggak perlu ditonjolkan.

Kenapa sih orang nggak boleh berbeda? Kenapa kita harus meributkan perbedaan? Kenapa orang selalu gatel kalo ngeliat sesuatu yang beda? Kenapa orang jadi emosi kalo ada golongan yang lain yang nggak sama ama dia? Kenapa semua harus sama?

KENAPA?

Gw rasa bloody-crusade war which costing thousands of lives, juga terjadi karena adanya enforcing for the different visions of morality. Nah tetepkan? Gara-gara PERBEDAAN.

(sigh)

May God have mercy on us.

Gw pernah dengerin ceramah pendeta Buddha, pendeta itu punya cerita sederhana tentang teh. Katanya: Bagi kita, Tea is only leaves in a hot water. Tapi bagi pecinta teh yang betul-betul fanatik, ada teh yang dibuat dengan komposisi campuran khusus dan diolah dengan sangat special. Campuran special itu dikasih label: Iron Dragon. Trus dijual dengan harga menggila untuk sebungkus kecil saja. So, bagi para fanatik teh Iron Dragon, tea is not about a leaves in a hot water.

Kesimpulan: It is not the appearance that binds you, it’s the attachment to the appearance that binds you.

Jadi, janganlah menilai seseorang sebelah mata hanya karena dia berbeda. Pahamilah, mungkin dia punya alasan untuk berbeda. Bukan lantas kita menjadi apatis dengan nggak perduli atau lantas nggak protes akan perbedaan dia, bukan. Tapi justru karena kita menghargai perbedaan itu.

Pendeta itu juga bilang: When the self is full of pride, it manifests in countless ways: a narrow-mindedness, racism, fragility, fear of rejection, fear of getting hurt, insensitivity, etc. Semua keburukan itu bersumber dari ketidakpedulian.

Dan dengan diam dan berusaha mengerti, bukan berarti tak perduli. Karena ignorance is simply about not knowing the real facts, having the facts wrong or having incomplete knowledge.

Pendeta ini bijak banget. Gw ampe nggak perduli gw diliatin orang-orang karena gw satu-satunya muslim disitu.

Gw suka duduk aja sendirian di taman, memikirkan banyak hal. Ada kalanya gw berpikir, secara fundamental, people really like to have freedom only for theirselves but not for others. Padahal teorinya, as we liberate from our own fear, our presence will automatically liberate others. Yah namun, bagaimanapun, halah, namanya juga manusia.

Sebagai contoh, kita bisa aja marah, sangat marah, hanya karena: kita marah sedangkan orang lain nggak. Dan lo berpikir, orang lain itu harusnya marah juga.

Atau contoh lain, ada yang berpikir: “Arum tuh susah banget sih dibilangin, dasar kepala batu”. Sementara disisi lain, sebenernya gw bukan susah dibilangin, tapi gw lagi benar-benar berpikir, apakah dengan mengikuti pendapat lo, gw akan menyenangkan hati lo, padahal gw sendiri berbohong tentang apa yang sebenernya gw rasain.

Gw nggak mau lah jadi pembohong hanya demi kata: SAMA, Se-ide, nurut, dll. Called me: EXTREMELY impatient, selfish, short fuse, egotistical or whatever! (kata ramalan zodiak sih, gw gituh :p)

See? Orang lebih mau nerima kebohongan (atau hal yang SAMA ama pikiran dia) dibanding menerima kenyataan yang sebenarnya.

I am laughing so hard. Bukan menertawakan orang lain itu. Tapi I found that it’s really true, that emotions sometimes can be very childish. (I give another example: you might be upset one day because your partner is too possesive and the next day because he¡¦s not possesive enough. See? It just damn confusing, right?)

Gw berusaha keras menemukan integritas pribadi gw, karena melalui penelusuran karakter asli kita (lets called it integritas pribadi), kita bakal mampu untuk hidup sesuai dengan apa yang kita ketahui, apa yang kita nyatakan, dan apa yang kita lakukan.

Berkata benar, menepati janji, memberi teladan tentang apa yang kita yakini, dan memperlakukan orang lain dengan adil dan murah hati adalah beberapa langkah kongkritnya. Mungkin gw belum bisa sesempurna itu, setidaknya gw berusaha (sedang berusaha).

Mengambil kutipan Jack Welch: “Rasa percaya diri, berterus terang, dan kemauan sungguh-sungguh untuk menghadapi kenyataan, meskipun hal tersebut sangat menyakitkan adalah inti dari hidup dengan sadar”.[]

Menikah dan Keuzuran

Gw punya best friend (temen SMP), cewek, namanya Dara. Si Dara ini sering berkeluh kesah di status YM soal LDR (Long Distance Relationship)-nya dia. Gw liat Dara khawatir gitu sama hubungan dia ama pacarnya, padahal si pangeran ganteng dan baik hati itu udah minta Dara untuk nunggu 3 tahun lagi aja, karena si cowok ini masih ada di New York sekarang.

Well, segala sesuatu emang nggak pasti sih, tapi bagi gw, status si Dara udah lebih dari cukup. Kategori AMAN-lah. Nggak kayak gw, udah jomblo, kronis pula. Harusnya gw yang kebat kebit. Hahaha.

Ngomongin soal kawin gini, semalem gw yang sedang homesick dan sensitip serta suka marah-marah ini, ngakak sejeder-jedernya, gara-gara disuruh kawin.

Jadi ada temen, namanya Ipung. Nah nggak ada angin nggak ada ujan, si Ipung tiba-tiba aja nyuruh gw kawin, dengan alasan: ‘umur lo udah uzur!’

Jah, gw dibilang uzur. (~..~)v

Gw sih nimpalin sambil ngegaring aja, sampe pada satu moment si Ipung bilang, “Cepetan nikah lah yum. Hm, kalo berkenan, gw mau kok. Untuk menghindari lumuran DOSA yang tidak diinginkan. Karena pada hakikatnya, semakin lo uzur, ntar dosanya nambah kalo nggak nikah-nikah.”

BAH!

Asli, bukan lamarannya yang penting, tapi kata DOSAnya yang lebih nemplok di muka gw. Berasa pendosa banget kalo seumuran gw belon kawin. (sigh).

Even though we are perfect, but really, no one or nobody around us is perfect. Tetap aja, kerasa claustrophobic, kalo semakin banyak orang-orang (bahkan yang lo nggak kenal sekalipun) nyuru-nyuru lo nikah.

Baik sih, niatnya ngingetin, tapi kalo akhirnya bergunjing, nah ini yang gw kaga demen. Gw sendiri yang jalanin aja super santai trus kenapa orang-orang musti repot nana dan nini tentang ke-uzuran gw?

Tapi ini bukan ngebahas gw dan segala keuzuran gw kok. Gw cuma pengen ngasih tau para cowok aja, besok-besok kalo ngelamar cewek, yang jujur, apa adanya, nggak usah pake alasan pengen ngehindarin dosa.

Kalo ceweknya normal, ya kaga papa. Masalahnya cewek sekarang pinter-pinter, jadi rayuan lo musti dibikin lebih sadis, apalagi kalo ceweknya rada sableng kaya si Kanya temen gw ini, beuh, ati-ati aja yak?

————

“I can’t understand people who married for sex. Sex is not purpose but BONUS! Anything you shared with your beloved people is great, moreover, with S-E-X. Sex with unbeloved people can be FUN, but just.. NOT great”

Gw cuma mengangguk-angguk tanda mengerti. Gw ambil serauk kacang tanah gurih lagi asin favourit gw. Gw kupas dan kunyah-kunyah sambil terus konsentrasi mendengarkan ocehan si Kanya. Tanpa menyela.

“Gw jadi bisa ngerti, kenapa orang jaman sekarang jadi gampang banget memutuskan untuk cerai..” Kanya menghentikan kalimatnya, memberi kode dan mempersilahkan gw untuk menyanggah.

Gw cuma geleng-geleng kepala, menunjuk mulut gw yang penuh dengan kacang sambil naik-naikin alis yang secara implisit berarti meminta Kanya sendiri yang meneruskan kalimatnya.

“Kenapa coba? Kenapa orang cerai? KENAPA? That’s because they are not really falling in love at the beginning, Mereka pasti menikah karena sex, dan alasan paling KLISEnya: for AVOID sins. Gosh! It’s silly and stupid!”

Dan gw hampir keselek kacang bangkok (karena gendut banget kacangnya), saat Kanya memegang kedua pipi gw (setengah menampar kalo boleh curhat (T_T)v ) sambil bilang:

“So! My dearly friend, when a man comes to you and ask you for marriage and the reason is to AVOID sin, just leave him right away! Got it?!”. Sekali lagi kedua telapak tangan Kanya, berbarengan, menepok pipi gw. Kanan dan kiri. “PLAK!!!”.

Semprul bin sontoloyo. Sakit juga. Tapi gw cuma bisa mengangguk pelan, sambil berusaha menelan pelan-pelan kacang yang hampir masuk ke rongga pernafasan.

Kalo gw nggak sigap, bisa mati keselek guah!

Kalo jaman dulu, orang menikah memang hanya untuk menyalurkan hasrat yang satu itu (a.k.a = sex). Sex meant pleasure, which humans really crave. Tapi sekarang? Bicara diluar aspek religi, we can have this without marrying.

“Bullshit ngomongin soal menghindari dosa, kalo dibalik itu terselubung niat yang orientasinya cuma body, toket, dan seks juga.” Kanya menambahkan kalimat protesnya sambit mengikat rambut-nya yang sedari tadi tergerai lurus.

Sedangkan gw, masih mengupas dan mengunyah kacang-kacang malang itu.

Menurut Kanya, perempuan mustinya tersinggung, kalo diajak menikah hanya karena akan dijadikan sebagai objek pengeliminasi dosa, iya = D-O-S-A, instead of as a life time partner, or a lover, or a beloved wife, ataupun sebentuk subjek lain (bukan objek) yang setidaknya punya kesempatan juga untuk jadi pemeran aktif dalam suatu kehidupan pernikahan.

Setelah gw pikir-pikir, ya ada benernya juga sih. Alasan menghindari dosa tadi sepertinya bener-bener kekanak-kanakan. Mending tu cowok bilang yang lain gitu, misalnya:

“ayuk nikah, sunnah rosul”
“ayuk nikah, biar kita bisa nyicil rumah bareng”
“ayuk nikah, aku cinta banget sama kamu”
“ayuk nikah, ibuku udah nanyain terus tuh”
“ayuk nikah, tapi di KUA aja ya, miskin nih”
“ayuk nikah, sebelum dilangkahin adek-ku”
“ayuk nikah, sebelum aku dilamar orang”
“ayuk nikah, biar bapakku bisa nimang cucu taun depan”
“ayuk nikah, tapi kamu sabar nungguin aku pulang ya” (si Dara banget :p)
Gw rasa, akan terasa lebih jujur, lebih plong, lebih apa adanya. Ya nggak?

Versi gw pribadi sih, Pokoknya do NOT let marriage be your social alibi, do it because of love. Manis banget kan gw? Nggak pusing kaya si Kanya. (Hahaha. Digantung gw kalo dia baca tulisan ini).

Tapi tetep bagi gw, ke-uzuran gw akan bertambah parah aja nih. Karena gw percaya jika a person may love you, but avoid marrying you (or anybody else) if they somehow believe life with you will be difficult. Dan gw merasa, semua cowok akan kesusahan kalo hidup sama gw. Sigh. Mengutip apa kata Caca temen gw, “Cuma begundal gila aja yang berani nikahin elu, com. Hahaha!!”.

Baru selese mikar-mikir, gw dapet e-mail dari temen gw:

Aku bingung sekaligus salut sama kamu rum, rupanya kamu masih hobby pegang bola panas yang bergulir kencang, Hahaha..

eh Rum, bertahun tahun, aku memiliki pertanyaan yang belum kudapat jawabannya, Pacar mu siapa sie, atau kamu ga punya pacar? hehehe.. salam deh buat lelaki misterius mu itu.

-Qentang-

Sambil gigit-gigit apel ditangan, gw nyengir. Ngikik sendiri, siapa lelaki misterius lagi begundal gila itu ya? Ck ck ck¡K []

Hidup Tanpa Rasa Takut


‘Sevva’. Berkali-kali kening gw berkerut sebelum akhirnya pintu lift terbuka.

“Ding!”

Gw melirik lelaki disebelah gw ini. Tingginya sekitar 182 cm. Bahunya lebar. Matanya besar, dengan mongolian face-nya. Rambutnya mirip Bi Rain (penyanyi ganteng asal Korea itu loh).

Dia yang gw lirik hanya balas melirik, mengernyitkan hidungnya dengan konyol, lalu merubah wajahnya yang (tadinya) serius menjadi sangat kacau, nggak karuan. Setengah terkejut, akhirnya gw nyengir maksa, sama kacaunya.

“Let me allow you, please..” Cowok ini membungkuk, bergaya bak pemuda era Reinassance, di jaman revolusi Perancis dulu.

“O Chris, phhhulease..” gw menggeleng-geleng, taking a long sigh, trus pasang tampang jijay sambil tersenyum lalu melangkah lempeng dan nggak memperdulikan sang tentara kolonial. Sementara sang tentara hanya menggaruk-garuk kepalanya yang jelas nggak gatel itu.

“What did I do? I just want to be polite..” Teriaknya sambil menyusul langkah-langkah gw dan tertawa.

Gw kenal Chris udah hampir 3 bulanan ini. Tapi karena kami banyak banget punya kesamaan sifat (sama-sama anak tunggal yang rada sableng adalah salah satunya), kami seperti orang yang sudah kenal bertaun-taun gitu. Ditambah, sebenernya, Mamaknya si Chris ini emang asli orang Indonesia. Hahaha. Produk Blasteran.

Princes Building, lantai 25. Hm, dari atas sini, gw bisa liat antena Wi-Fi yang dikerjain (atau lebih tepatnya ngerjain) mati-matian ama si Zikhry (di Statue Square, taman persis disebelah gedung ini) secara jelas banget.

“Do you know that many of the stars that we romantically gaze at the night sky are already long gone? Actually we only enjoying its rays that expired a million years ago”. Chris memandang langit gelap itu. Tanpa henti.

“I beg your pardon?”, gw menatap Chris serius.

“Nope, nothing.” Chris menjawab pasti, sambil menatap gw tak henti.

Gw nggak lanjut bertanya. Gw berusaha mengerti kalau saat itu Chris nggak mau diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan simple yang diapun nggak tau bagaimana menjelaskannya.

Sebenernya gw ngerti, Chris lagi berusaha ngehibur gw, karena beberapa hari yang lalu, gw cerita ke dia, kalo gw dapet kabar tentang salah satu mantan gw yang getting married.

Dan gw sedih, sedih bukan karena ditinggal kawin, tapi sedih karena untuk beberapa saat kemaren, banyak banget hal di kehidupan gw yang berubah secara drastis. Dan sepertinya gw merasa kalo gw nggak siap untuk ngadepin semua perubahan itu. Gw ngerasa takut aja ama masa depan gw.

Dan dari situ Chris banyak cerita, ngasih pandangan ke gw. Dan gw ngerasa, dia tuh bener banget. Coz untuk usianya yang cuma terpaut satu tahun diatas gw, ini anak were totally.. wise.

Human always afraid of the ‘unknown’ (sesuatu yang kita nggak tau pasti ‘apa’ dan ‘bagaimana itu). Dan secara nggak sadar, kita selalu terus mencari konfirmasi atas ketidaktahuan itu. Why? Ya untuk bersiap-siap atas kemungkinan terburuk lah. Karena kita sebagai manusia normal, selalu nggak mau kedapetan hal jelek, must been always delightful things, no room for sorrow!

Dari diskusi bersama Chris, gw mengetahui bahwa: fearlessness is generated when you can appreciate uncertainty. When you have faith in the impossibility of these interconnected components remaining static and permanent, you will find your self, in a very true sense, preparing for the worst while allowing for the best.

Maksutnya gini, lo nggak bakalan ngerasa takut akan apapun, jika lo mampu mengerti bahwa semua itu emang sudah diatur. How? Ya dengan memahami jika ada sesuatu yang telah nunggu lo dibalik “tikungan”. Bahwa no matter what, mau kita hindari atau nggak, sesuatu itu akan tetap disana, dibalik tikungan itu.

Dengan menerima, TANPA memperhitungkan atau mencoba menerka bahwa sesuatu kejadian itu bakal terjadi atau nggak, itu akan membuat lo memiliki suatu pervasive awareness (gw artikan simple: perasaan nyantai coy), sehingga lo mampu merasa biasa aja terhadap apapun yang bakal terjadi dalam hidup lo, mao masalah nggak penting sampe masalah yang paling berat sekalipun. Why? Karena emang harus begitu kok. Wis, nrimo ae. Ya jalanin aja, brur.

Gw inget-inget, bokap gw juga pernah ceramah tentang hal serupa. Bokap kalo nggak salah menyebutnya: perihal beriman kepada takdir.

“So, there’s no reason to have fear for the future, because you begin to know, the things are not entirely under your control and never will be, so there’s no expectation for things to go according to your hopes and fears.” Chris menjelaskan sambil menunjuk muka gw setiap kali mengucap kata ‘you’.

Tuhan emang Maha Pemberi Rahmat dan Kebaikan tiada tara. Gila man! Gw dapet ilmu beginian bahkan bukan dari seorang kiayi, bukan ustad, bukan muslim pulak.

Yaa Allah, Tuhanku, you are so cool.

Lalu apa kabar dengan ‘berusaha dan berikhtiar’ dong?

In my sober mind (diartikan: waras; semoga juga bijak), ini semua berkorelasi kok. Gw bisa kasih contoh cerita dari Bokap tentang kisah si Mimin.

Sementara temen-temennya pada nyari gaji milyaran rupiah, Mimin begitu terhanyut dalam upayanya menghayati dan menjalani proses kerja sehari-hari dengan penuh nikmat dan rasa syukur, intinya Mimin percaya jika ‘sesuatu’ telah menunggunya ditikungan situ. Perihal entah itu baik atau buruk, Mimin nggak perduli. Pokoknya Mimin pasrah aja, dijalaninya bait demi bait kehidupan dengan penuh rasa ikhlas sambil berserah diri serta menerima seburuk apapun takdir yang akan datang menyapanya.

Lalu ternyata, akibat kepasrahan dan kerja kerasnya, lama-lama, Mimin secara nggak sengaja punya gaji yang jauuuh diatas orang-orang kebanyakan. So? Mimin terpaksa kaya deh. Iya, T-E-R-P-A-K-S-A, karena niat awal Mimin sebenernya bukan untuk kaya.

Inilah wujud kerja keras yang dibumbui dengan keimanan dan kepasrahan.

However, kerja keras yang dilandasi dengan sikap PASRAH, lain dengan kerja keras karena ngangsa. Kerja ngangsa dilandasi keinginan akan hasil besar secara kongkrit dibelakangan hari. Dengan kata lain, ada target. YANG kalau target tersebut tidak tercapai maka akan membuat kecewa.

NAH! Just capture its intencity, feel it. You feel it like I do, don’t u?

Semoga kawan, with fearlessness, you will find yourself. You become dignified and majestic. And this qualities are the secret ingredient to enhance your ability to do work, wage war, make peace, create a good family, and enjoy love and personal relationships. Ayo! yang semangaaaat! []

Some fall from grace because they are smoke but don’t inhale.

Gemesnya Punya Pacar Bule

Kezzie: Do u feel offended ‘bcoz your close friend might be like that? Maybe that woman without veil, or else, act lousy and cause u to defense them??

Gw: No, you are now asking some stupid question.. I really don’t understand what are you saying, now. I said before, you mistreated me, Kez, please lets don’t start it, I’m tired keep arguing like this..

Kezzie: Aahh, but your word is about that

Gw: What words?

Kezzie: I open skype now! What mean “boyz got no brain??”

Gw: O C’mon, that’s not for you, honey..

Kezzie: that’s your typical style! You always like this!

Gw: Okay that’s it! You keep pointing at me! I’m done with this..

Kezzie: Gosh! You always react before have enough explanation from me!

Gw: But you did not giving me enough space to explain!

Kezzie: The trigger?? Geez, trigger would be different with explanation!

Gw: I’m tired of arguing!

Kezzie: Then?

Gw: I need Ice cream.[]

Kesalehan Sosial


“Tek.. Tek.. Tek..”

Tanpa suara, pria tuna netra itu terdiam dibawah derasnya hujan.

“Tek.. Tek.. Tek..”

Pria tuna netra yang sama masih tediam disamping lampu persimpangan jalan.

Sementara didepan pria itu, kendaraan besar dari pelabuhan tersibuk kota Kowloon, berlalu lalang dengan kejam. Menimbulkan sedikit getaran dan deburan angin bercampur air yang tanpa ampun melayang-layang kencang pada wajah pria itu.

Namun dia tetap tenang.

“treketrek-treketrek-treketrek-treketrek”

Bunyi bit ketukan yang berasal dari lampu persimpangan itu menjadi semakin cepat. Dan pria tuna netra itu (masih dibawah curahan hujan dan tentunya terpejam) melangkahkan kakinya kedepan, tak patah arang. Sedang kendaraan besar yang sedari tadi dengan sombongnya berlalu lalang seolah tunduk pada pria itu dan membiarkannya lewat secara aman, sampai di ujung jalan.

———-

6:00 pm. After-work Hour.

“0” Gadis ini memencet tombol ditembok lift. Orang-orang yang tiba-tiba muncul lalu saling berdesakkan dan memasuki lift yang sama, gadis itu tanpa ekspresi menahan tombol “door open” hingga akhirnya semua orang lengkap memasuki lift yang irit dan sempit ini.

“12-11-10-9” Gadis itu memegangi tas coklatnya dengan erat. Kali ini dia tertunduk. Diusap-usap bahunya yang kecil, berharap segala lelah dan penatnya hari itu dapat hilang jika diusap-usap pelan seperti itu.

“4-3-2-1” Gadis yang sama mendongak, memperhatikan gerak lampu seven-segment yang terpanjang didalam lift.

“Ding”. Ground Floor. Pintu Lift membuka. Kembali gadis itu menahan tombol “door open”. Sama. Tanpa ekspresi. Lalu sekelebatan melirik orang-orang berebut keluar dari lift. Setelah dirasa kosong. Dilepaskan jarinya yang lentik dan mungil dari tombol “door open”. Lalu dipijitnya angka terbesar pada deretan angka-angka penunjuk di dinding lift itu. “13”. Lalu Gadis itu beranjak keluar.

Pintu lift menutup dan melaju ke lantai 13.

———-

Wanita ini memakai blouse satin putih, dengan rok remple hitam berantai emas dipinggang. sungguh terlihat elegan. rambutnya panjang agak kelabu melewati bahu. Mata sipitnya samar terlihat karena dia membubuhkan eye-liner gelap.

Ditangannya teruntai gelang sewarna bumi yang sangat mencolok diatas kulitnya yang putih dan licin. Kukunya dihias sedemikian rupa. Sangat cantik. Jika dia melambaikan tangan sedikit saja, tak diragukan, setiap lelaki didepan situ, dijamin pingsan karena kecantikannya.

However, segala pandangan elegan, sophisticated, high-class, tak tersentuh, serta angkuh, seketika itu runtuh dipikiran gw. Dimana dengan tanpa merasa hina, melalui jemari ningratnya, wanita ini membantu mengangkat troli seorang tua yang sedang kesulitan menaiki tangga. Bahkan, troli itu kotor, besinya coklat dan berkarat. Lembab bercampur air hujan. Ternganga, gw beku lagi terpaku.

———-

Tiga kebaikan diatas, adalah kebaikan sederhana yang sangat samar (jarang diperdulikan) yang dilakukan oleh pelaku kehidupan yang juga samar (yang sama sekali tak perduli, apakah ada orang lain yang akan sadar atas kebaikan yang baru saja mereka perbuat).

Kebaikan pertama dilakukan oleh pemerintah juga komunitas sekitar yang perduli oleh para tuna netra (disini mereka bahkan bukan disebut sebagai “blind man” melainkan “person with visionary incapability”). Sehingga lampu merah dibuat mengeluarkan bunyi-bunyian, dimana bit pelan untuk menunggu, bit cepat untuk menyebrang. Fantastic.

Kebaikan kedua dilakukan oleh seorang gadis biasa. Tujuannya, mengembalikan lift ke lantai paling atas, supaya teman-temannya yang ingin juga segera pulang, tidak terlalu lama menunggu lift. Luar biasa.

Kebaikan ketiga dilakukan oleh sang wanita ningrat yang bisa gw bilang, nggak mungkin deh ada ¡§wanita ningrat¡¨ jakarta mampu melakukan hal yang sama seperti itu. (Bahkan edannya lagi, si wanita ningrat ini sempet-sempetnya membungkuk-dalam kepada orang tua tadi ketika orang tua itu mengucapkan terima kasih). Amazing!

Bokap gw pernah bilang, bahwa yang dimaksud dengan sholeh itu adalah segala kebaikan, kebenaran dan ibadah yang bisa diaplikasikan langsung ke publik sehingga manfaatnya dapat dirasakan untuk kebersamaan. Jadi, jika kamu beribadah sendiri, itu baik. Tapi lebih baik lagi jika kamu mengamalkannya sehingga kamu dapat berguna untuk orang lain. Dan akan sangat baik sekali jika dilakukan tanpa disadari oleh orang lain. Kurang lebih begitu. (waow, sangat sulit).

Nah, gw baru menyaksikan sebagian kecil “kesalehan” itu dengan mata kepala gw sendiri. Dan perasaan yang gw rasakan saat itu sebenarnya malah bukanlah sesuatu hal yang terasa bungah ataupun excited.

Kebalikannya, gw merasa kalo gw benar-benar sedih. Gw malu. Gw seolah terbantahkan. Gw bagai terlempar tak berguna ke sudut paling gelap dan sepi. Karena gw nggak merasa pernah melakukan kebaikan sederhana namun bermakna seperti itu.

Gw terbiasa hidup dalam komunitas yang memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk mendapatkan kejayaan. Yang juga membutuhkan kehancuran sesama manusia didalamnya untuk memperoleh sesuatu yang kami kira: kehormatan.

Sehingga apapun bentuk kebaikan yang terwujud, bukanlah merupakan suatu kebaikan murni tersembunyi yang terasa begitu indah dan menyejukkan seperti tadi.

Mengutip kata Cak Nun: di Indonesia, ‘kebaikan’ sukar berdiri sendiri dan murni sebagai kebaikan itu sendiri. Kebaikan selalu ‘dalam rangka’, ‘dalam pamrih’, ‘dalam niat-niat’ lain yang tersembunyi, yang belum tentu bersifat baik.

Sangat sedikit orang-orang di Indonesia yang mampu mangimplementasikan wujud keimanan dan kesalehan dalam kehidupan sehari-hari.

Kerongkoangan gw tercekat, semakin tercekat. Gw nggak perduli lagi gw ada dimana. Rasa malu ini sungguh menyesakkan dada. Memekakkan telinga. Melemaskan tenaga.

Hujan semakin deras dan keras. Segala istigfar dan airmata gw ikut terbawa bulir-bulir air yang entah datang darimana. Air itu mungkin kepanjangan tangan dari langit, entah, bisa jadi milik malaikat yang mengasihani gw saat itu. Ah, maafkan, maafkan hamba yang khilaf dari segala kebesaran-Mu, Tuhan.[]

Cinta yang Terlupa

Gw melirik ponsel kelabu yang telah setia bersama gw selama 2 tahun ini. Tertera disana: “Frederic Chopin prelude in E minor”. Alunan piano ini kerasa pilu banget di dada. Bahkan angin sore yang silir semilir nggak mampu memalingkan gw dari derasnya rasa prihatin gw saat ini.

Temen kantor gw, Slinky Li, pernah bilang ke gw: “The only thing you can do to a dissaster is acceptance.” Menurut gw, filosofi hidup yang kayak gini nggak maen-maen. Ah, atau lebih tepatnya, gw aja yang terlalu oncom, mengada-ada untuk menggali lebih dalam tentang arti sebuah “acceptance”, acceptance terhadap kesalahan ataupun kebenaran yang berlalu lalang didepan mata kita.

Memang pada dasarnya, salah dan benar itu bukan milik kita. Kita hanya meminjam sebuah kebenaran dari Sang Pencipta. Dan saat kita melakukan kesalahan, itu hanya sekedar pertanda bahwa kita terlalu jauh dari-Nya.

Adalah seorang gadis, let’s call her: Monica. Gw kenal Monica bahkan jauh sebelum kami mengerti arti cinta dan laki-laki. Mungkin 20 tahun lalu. Monica pernah mengalami moment yang luar biasa berat, karena satu-satunya lelaki yang selalu memenuhi seluruh ruang mimpi dan bilik kenyataan hidupnya, melangsungkan pernikahan dengan wanita lain.

Well, sepertinya bagi gw, ini hanya kisah cinta biasa yang bisa aja terjadi dalam kehidupan setiap orang. Bukan hanya Monica, bahkan gw pun pernah mengalami hal serupa. So there’s nothing special about it, right?.

Wrong..!

“Eh Ting (Monica selalu manggil gw: keriting), eh tau ga? Aku lagi di rooftop, kalo mao, aku bisa aja terjun bebas dari sini. You know, after all, pernikahan Baskoro, really a knife in my heart..”

Monica menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Tapi, itu sama aja aku memberi ruang kebenaran atas kesalahan yang dulu aku perbuat. Kamu tau, Ting? Ngga ada yang salah dalam kehidupan ini. Yang keliru adalah ketika kita menyikapi segala sesuatu dengan tidak memperhitungkan akibat dari pilihan sikap kita..”

Monica menghela nafas.

“Waktu itu aku memilih untuk nggak memperjuangkan cintaku ke Baskoro. Karena, aku kira, dengan membiarkan semuanya mengalir, Sang waktu toh akan membuat Baskoro kembali ke aku. Ternyata, aku nggak nyangka, endingnya meleset sejauh ini..”

Monica menutup perbincangan kami. Tanpa kata-kata pemanis, terasa dingin dan sadis.

Monica yang secantik dan seanggun Dewi Jahnawi dari Jonggring Saloka, bisa saja menunjuk ataupun memilih secara acak a very high quality man dari segala penjuru jagad. Tapi entahlah, tampaknya memang harus ada orang-orang tertentu yang ditakdirkan memiliki kisah cinta yang complicated dan berujung tragis.

Monica selalu mencintai pria ini, seorang pria biasa, dengan kepintaran diatas rata-rata. Modal ketampanan pas-pasan dan postur yang slightly bersahaja. Ya, dia Baskoro. Waktu SMA adalah kali terakhir Monica bisa duduk berdua dengan Baskoro. Tertawa bahagia dibawah pohon akasia. Saat itu mereka tak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan cinta. Ya! hanya tertawa dan berbahagia dibawah pohon akasia. Bahkan mungkin, Monica terlalu sibuk menikmati setiap inci smiling curve dan mata bening Baskoro.

Bertahun-tahun selama gw mengenal Monica dan semua pacar-pacar perfecto-nya, tetaplah, selalu ada “Baskoro”. Kata emak gw, first love never die. Tapi, Monica selalu protes kalo gw bilang Baskoro itu first love dia.

Monica selalu bersikap tegar, dia tak ingin lagi menggali perasaan yang sudah begitu teguh untuk menjadikannya merapuh kembali. Tapi sering kali, gw menemukan Monica terpagut begitu lama, memandangi kerlip bintang.

Mungkin dia mencoba dengan sangat keras, untuk mengingat dan mencari smiling curve dan mata bening milik Baskoro disana, sambil sesekali berbisik lirih “I wanna kiss you underneath these stars..” Seolah Monica ingin malam menyampaikan lirih kerinduannya kepada Baskoro.

Kadang kala, Monica pergi menemui Baskoro, frekuensinya pun nggak setahun sekali, tapi mereka bertemu. Dua jam, dalam hening, memandangi layar bioskop yang Monica nggak ngerti isi cerita film yang diputar, karena terlalu sibuk menggali perasaan yang mengalir hangat dalam nadinya. Sibuk menghirup lamat udara beku yang juga dihirup Baskoro. Sibuk menyimpan tiap detik berharga bersama Baskoro dalam setiap laci hatinya.

Setelah pertemuannya dengan Baskoro, anehnya, Monica malah selalu tampak lelah, pancaran sendu matanya seolah berkata, “Ah, hidup memang berat ataukah aku yang tak cukup kuat?”.

But I know, that’s just a retarded question. Dalam hati, gw mengagumi Monica.

Gw nggak nyangka ada makhluk macam Monica yang dapat menyelami arti mencintai lalu mampu memanggul beban cinta yang sebegitu beratnya dengan pasrah. Gw sendiri hingga saat ini, yakin, Monica nggak pernah menitikkan air mata barang setetespun atas pernikahan Baskoro. Walaupun pada kenyataannya, pernikahan Baskoro bagai racun mematikan yang meremas hatinya hingga luluh lantak.

Kehidupan bagi Monica tak lain adalah sebuah pengabdian, pengabdian kepada janji, pengabdian kepada keluarga, pengabdian kepada kerabat, pengabdian kepada kebenaran yang dipegang, pengabdian kepada kehidupan, pengabdian kepada sang pencipta. Juga.. pengabdian kepada cinta.

Pengabdian cinta Monica kepada Baskoro.

Monica paham, bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh ‘takdir kuasa manusia’. Tapi Monica memutuskan untuk menggantungkan diri pada Tuhan saja. Monica bersedia menanggung derita cintanya, asalkan dia rasakan itu memang kehendak Tuhan.

Walau dengan hati hancur, gw tau, Monica berhasil lulus dalam ujian kesabaran yang dihadiahkan Tuhan kepadanya. Monica berhasil lolos dalam ujian ‘acceptance’ yang diberikan kepadanya. Gimanapun, kekayaan diri adalah bukan apa yang dapat kita miliki, tetapi adalah bagaimana kita dapat menjadi apa adanya, sebaik-baik diri kita. Dan jangan pernah lupa satu hal, Gusti Allah mboten sare.

Lagipula, Tuhan itu maha adil.

==================

Ting!
Kapan pulang?
Kamu sehat disana?

kemarin aku main kerumahmu,
dan hebatnya, kamu nggak punya pohon mangga lagi tuh,

hahaha, pohon manggamu ditebang habis sama si Om.
Aku mau ngasih tau, aku mau nujuh bulanan minggu depan,
Si Woro udah nggak sabar pengen adiknya ini cepet brojol.

Cowok lho, Ting. Kamu pasti seneng banget.

Ting, aku mau menamainya Baskoro.

BR,
Monica

==================

Yups! Tuhan itu adil: only those who dare to fail greatly can ever achieve greatly. Monica telah menikah dengan seorang laki-laki, bukan Baskoro. Monica sangat mencintai laki-laki ini dan juga anak-anak mereka.

Tapi walaupun begitu, sepenggalan cintanya kepada Baskoro nggak pernah mati. Bak kisah cinta Bisma Dewabrata kepada Dewi Amba. Sepenggal cinta itulah yang disimpan Monica untuk Baskoro, mungkin Monica berharap, dikehidupan berikutnya, Baskoro adalah miliknya. Karena penerimaan itulah, Monica akhirnya melepaskan Baskoro.

Kisah hidup Monica juga ibarat video clip youtube kiriman Zuber, temen lama gw. Kalo nggak salah video clip itu milik Keroncong Chaos, judul lagunya: Kuburan Cinta. Model video clipnya, walaupun nggak secantik Monica, tetaplah spektakuler. Inti videonya ada seorang pemuda yang ditinggal kawin oleh model spekta tadi, lalu pemuda itu memutuskan mau mengakhiri hidupnya dengan cara nyebur sumur. Tapi nggak jadi, eh malah pemuda itu ambil wudhu. Video klip selesai.

Gw jadi ingat seseorang. Seseorang yang selalu ada disetiap langkah perjalanan hidup gw. Namanya adalah satu-satunya nama laki-laki yang berani gw sebut dan gw ceritakan ke nyokap-bokap gw. For these whole years, nama yang sama, selalu nama yang sama. Tapi, gw cuman mingkem, manyun lantas masuk kamar kalo bokap gw nanya: “Kapan dong dia diajak main ke rumah?..”

Karena gw selalu tau, laki-laki ini nggak pernah mencintai gw. Ironisnya, mungkin dia menikah tahun ini, dan bukan sama gw pastinya. Haha.

Gw tertawa! Ya, gw masih mampu tertawa! Gw harus mampu belajar menertawakan diri gw, karena kata pak ustad di pengajian: makin tinggi kemampuan seseorang dalam menertawakan dirinya sendiri, maka akan semakin meningkat pula kebesaran jiwa mereka. Semakin luas pengetahuan seseorang atas kedunguan-kedunguannya sendiri, semakin matang dan tegar kepribadiannya. Dan gw berharap, gw bisa begitu.

Mirip Monica, pada malam yang legam, kelam, dan hanya ditemani sepenggalan sinar bulan, gw sempat juga terpagut lama memandangi kerlip gemintang.

Lalu mencoba juga dengan sangat keras, untuk mengingat dan mencari wajah lelaki itu disana.[]

Him, the only man with his silly and rainy face.