Andaikata aku jatuh ditengah-tengah perjalananku,
aku akan mati bahagia, Sebab bagaimanapun jalan telah terbuka.
[Habis gelap terbitlah terang, Door duisternis tot licht – April 1911]
Selamat Hari Kartini, Wahai para wanita..
berbahagialah kita atas 96 tahun pelepasan rantai dan “pasung” perbedaan Gender yang sempat menghimpit arah, ruang gerak dan visionari kita sebagai Perempuan..
_________________________________________________
“Hoaaahhh………..” Udah 6 kali lebih sedikit gw menguap. Dan udah 2 jam lebih 5 menit gw cuma ketap-ketip. Ada perputaran misterius dikepala gw yang berebut minta dihapus. Seribu pertanyaan gw tentang “Perempuan” yang telah banyak terjawab, tiba-tiba menimbulkan sebuntel masalah baru yang membuat gw KEMBALI terjebak.
Gila!! Ini Labirin tak berujung! Seperti ada yang aneh dan PALSU disitu.
Hmm, secara TEORI (yaitu menurut KONSEP “Kartini”), harusnya gw sebagai perempuan, telah MERDEKA sekarang, tapi menilik kejadian yang sudah-sudah, justru realisasi ‘konsep Kartini’, kini menjadi semakin blur and absurd buat gw. Gw tetap merasa kalo para perempuan masih “terpasung” dalam teori kebebasan ini! Masih terjajah oleh laki-laki.
Terpasung dari sisi luar berupa ‘siksaan’ mantap egosentris lelaki, ataupun terjajah dari dalam berupa pembatasan dan creativity congest akibat kata-kata sakti: KODRAT PEREMPUAN yang membuat kami stuck sehingga takut untuk bergerak mengikuti visi dan nurani kami sendiri. Akibatnya? mau mundur salah, mau maju juga akan tetap jadi masalah. Dengan kata lain, apa yang diharapkan, dengan bagaimana kenyataannya, SUNGGUH jauh bergeser dari titik awal tujuan konsep Kartini bermula.
Wacana ini timbul hanya dari hal sepele. Bermula dari diskusi singkat dengan Zachrie, seorang kawan, tentang “Mengapa Perselingkuhan di Indonesia kian marak terjadi.”
Sebagai statement pembuka, Zach berasumsi bahwa sebenarnya. Istri juga turut mengambil peran penting dalam menentukan tinggi rendahnya probabilitas perselingkuhan yang dilakukan suami.
Then my question is: “WHY?”
Apakah karena Istri mengalami perubahan secara fisik seiring waktu?
Apakah karena karena Suaminya bosan?
Apakah karena kebutuhan seks semata?
Apakah karena kenaikan pangkat suami?
Apakah karena gelimang harta dan tahta?
Apakah karena karena prestige?
Zach menjawab sendiri pertanyaan itu: “YA! TENTU SAJA! Itu manusiawi”
Gw cuma cengar-cengir blo’on, namun secara serius gw merasa ada ketimpangan disitu. But my next question is: “HOW? Bagaimana itu bisa terjadi?”
Secara diplomatis Zach menjawab: “Wajar lah sweetheart, dalam dunia pekerjaan beserta tantangannya, Suami mampu terus mengupayakan dirinya untuk lebih maju, lebih kompleks, lebih majemuk, lebih survived dsb dsb sehingga secara automatic, seiring bertambahnya waktu, pencapaian sang suami terhadap kualitas hidupnya dapat terus meningkat secara significant!”
Gw cuma bertopang dagu.
Zach melanjutkan: “Well, as you may know, Istri itu lebih banyak dirumah, dan perubahan kualitas hidupnya nggak berjalan begitu cepat, dunia istri berjalan jauh dan jauh dan jauh lebih lambat dari sang suami.. dan akibatnya bisa kamu prediksi kan? sang suami akan merasa nggak puas, lantas mencari sosok wanita ‘baru’ yang dapat berimbang dengan dirinya, yang selevel dengan pencapaian kualitas dia..”
Gw menarik nafas, mencoba berargumen, “Why that husband just don’t give his wife a chance? Maksutku, biarkan Istrinya bekerja.. atau yeah at least, let her does some activities untuk menjadikan dirinya juga bisa maju, bisa menjadi lebih kompleks, lebih majemuk, juga lebih survived seperti sang suami.. Kalo memang suaminya mengerti, lantas kenapa tidak memberikan hak dan kesempatan yang sama? the solution is so simple..”
Zach bersikap moderat, optimis, mendukung serta mengamini jawaban gw. Pria ini benar-benar pintar dan tau cara mengambil hati gw. ‘Old school’ trick. Hehehehe.
Namun dari situ, tatanan konspirasi murni di otak gw bergejolak, jangan-jangan, pembodohan ‘konsep Kartini’ yang kayak gini masih berlanjut pada banyak perempuan yang nggak punya “Zach” kayak gw.
ANJRIT!!
Gila banget kalo diluaran sana ada lelaki bodoh dan apatis ingin berlari kencang guna mencapai segala kesempurnaan hidup seorang diri (padahal menikah itu berarti ada dua orang, bukan?) lalu setelah semua pencapaian dan kesempurnaan itu dalam genggaman, si lelaki bodoh ini merasa Istrinya nggak “selevel” dia dan tidak patut mendampinginya lagi, sehingga dia tinggalkan si Istri dan mencari wanita lain yang dirasa mampu mengimbangi kesempurnaan hidup si lelaki hebat ini.
Sementara itu, bisa jadi, si Istri menjadi “congest” (melambat) bukan karena emang secara lahiriyah bodoh, melainkan karena rayuan busuk sang suami: “Sayang, Biar saya yang melakukan semuanya untuk kamu, Kodrat istri (maaf) dirumah saja ya?”
SINTING!
Ini namanya Azas manfaat, pertamnya memanfaatkan keluguan dan kepatuhan perempuan,dan beberapa waktu setelah kepatuhan itu, laki-laki berkata: “Buset, perempuanku ini terlalu lambat, nggak sesuai jaman, buang saja!”
Ini Gila namanya!
Pria ber-euforia dengan kondisi yang ada, sehingga dalam diri mereka nggak ada sense of crisis yang mampu membangkitkan kesadaran moral mereka akan adanya kompleksitas dan kekuatan terdalam seorang perempuan. Kebayang deh pada masa dimana kondisi pencapaian kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan masih berimbang, lelaki itu akan berkata:
“Neng, Lelaki adalah kepala keluarga dan harus bertanggung jawab terhadap keluarga yang dimilikinya, Well, sebenernya Abang sangat setuju kalo kamu harus menjadi wanita yang memahami dunia kehidupan dan memiliki pengalaman yang segudang..
Abang dukung kamu untuk memiliki berbagai kesibukan, tapi neng, sampai kapan? apakah ketika sudah menikah.. dirimu akan tetep jd wanita super? Kamu harus bisa mengurangi kesuperanmu karena kamu harus melayani keluarga, itu kodrat perempuan”
NAH! ini yang namanya terjebak dalam pasungan! IT’S NOT FAIR!
Apanya yang harus dikurangi? Tingkat keSUPERan seorang wanita? Bullshit!
Dengan berkeluarga harusnya lelaki berharap para wanitanya menjadi semakin cerdas! Ngurus rumah tangga, ngurus anak, ngurus suami, ngurus kerjaan, membutuhkan kesabaran dan kecerdasan tingkat tinggi, Bung!
Gw ribed banget mikirin pola pikir cowok bodo kayak gini (tolong dimaafkan, ini cuma sekedar luapan emosi tak terduga aja..).
kita perhatikan disini,
1. Lelaki cenderung nggak sadar telah memulai proses pelambatan pada perempuan,
2. Perempuan cenderung ‘manut’, nurut, dan luluh cuma gara-gara kata: “Kodrat”. (tuh! Kurang apa pengorbanan perempuan???)
Bener kan? jika posisinya seperti itu, perempuan pasti berada dalam kondisi terhimpit seperti sandwich, mau mundur salah, mau maju, tetap akan bermasalah. Mau mundur, laki lo cari ‘mistress’ baru, mau maju dibilang melawan kodrat.
EMANSIPASI MBAHMU!
Gw jadi inget, gw pernah terlibat dalam sebuah diskusi seru tentang “perempuan”..
Awalnya kita lebih membahas tentang bagaimana orang-orang selalu memandang perempuan sebagi objek, titik. Well, anggap saja itu benar. Tapi sebagai objek, perempuan nggak statis gitu aja perempuan juga merupakan substansi yang bisa berfikir dan ada kemungkinan.. LEBIH cerdas dari laki-laki.
Fakta itu merupakan saah satu produk emansipasi. Karena emansipasi untuk masa sekarang, juga berarti: “pemberi inspirasi”. Kebayang kan pribahasa: “Behind great man lies a great woman”? Lalu Kebayang juga nggak, gimana majunya bangsa kita kalo kualitas dari segi mental dan psikis seorang perempuan meningkat lebih baik?
Hahaha.. lewat tulisan-tulisan gw seputar feminism, gw pernah dicap wanita nggak tau diri yang merasa paling superior, yang nggak butuh lelaki dan nggak mengindahkan “kodrat” gw sebagai seorang perempuan. Halah mental manusia jajahan! kebiasaan nggak mau mengkaji lebih dahulu, tetapi langsung memvonis!
Ini bukan masalah butuh atau nggaknya gw sama lelaki, ini cuma memberikan pandangan bahwa nggak boleh ada penciptaan “pasung” jenis baru yang menghambat kemajuan seorang wanita dalam menata kehidupannya. Lelaki juga harus bersikap lebih cerdas untuk mesikapinya, jangan hanya berkata sepakat, tapi dibelakang mengumpat.
Bagaimanapun peran lelaki suangat penting untuk mengupayakan penghilangan pasung-pasung penjerat kebebasan wanita ini. Kita butuh lelaki yang semakin cerdas dan mampu melihat what’s beyond. Lelaki yang dapat mengesampingkan ego dan mampu memberikan dukungan penuh agar konsep ‘Kartini’ nggak sekedar berada dalam garis teori.
Kita butuh lelaki yang “bermoral”. Dimana kearifan moral itu nggak murni dari otak (pemikiran) mereka, tetapi lebih bersumber dari hati. Kita nggak hanya perlu meningkatkan kecerdasan berpikir seorang perempuan, tapi kita butuh penciptaan kondisi sinergis dan kondusif disekitarnya, dimana keterlibatan seorang pria yang bijak, cerdas, dan memiliki nurani menjadi main ingridient dalam resep “pembebasan pasungan” ini.
Sempat sih, gw berfikir mau mengadakan mass revolution, untuk ngebongkar skandal “pasungan” perempuan ini. Tapi teori “mass revolution” itu runtuh gitu aja. Mau gimana lagi?? gw cuma perempuan biasa-biasa aja, sendirian pula. Revolusi kan ibarat memformat ulang hardisk secara keseluruhan, jadi memang HARUS sadis dan tanpa ampun. Well, masalahnya, elemen masyarakat kita terlalu majemuk, dan sangat sulit menyamakan persepsi.
Lagipula, tak ada yang tega berevolusi sampai mati (se-gila ataupun se-idealis apapun orang itu..). Karena wacana revolusi sampe mati ini terlalu imajinatif untuk direalisasikan.
So, ada ide untuk keluar dari labirin setan ini?
Yah seperti apa kata Barack Obama, kita harus percaya adanya “audacity of hope” (kekuatan dari harapan) (Pasti gw diketawain mbak Mel gara-gara cinta banget sama bapak satu ini). Sekali lagi Selamat Hari Kartini, Wahai para wanita. Semoga belenggu, rantai dan “pasung” itu benar-benar lepas sekarang.
Jadilah lebih cerdas, wanita Indonesia! Demi masa depan anak-anakmu![]