Merajut Hati Yang Patah – Part 3

Ada sedikit tips dan saran dari gw untuk orang-orang yang lagi berusaha sembuh dari kedukaan/kehilangan. It worked for me. Healingnya super fast. Boleh dipraktekin sesuai kepercayaan masing-masing.

Step 1 – Never stop holding on to God

Gw nggak neko-neko kok. Ngadu dan nangis aja sepuas-puasnya sama yang pegang takdir dan rancangan hidup lo. Abis sholat, banyakin istigfar (supaya hati tenang), shalawat khitab yang banyak (supaya perasaan kita adem), ama baca Yasin 41x setelah sholat (sekali aja untuk meredakan panasnya amarah di dada). Say it out loud: Qobiltu!

Step 2 – Ganti Semua Bau-bauan dan Wangi-wangian

The smell of something can so immediately trigger a detailed memory or even intense emotion of the past. Luka menganga kalo mau sembuh ya rajin dibersihin, ganti perban dan dikasih sulfatilamid. Kalo lukanya malah dikopek-kopek, trus menyenyeh lagi, kapan mau kering? Wangi-wangian itu bukan hanya minyak wangi lho. Tapi semua. Iya, semua, kaya toner rambut, sampo, sabun, pewangi ruangan, wangi-wangian mobil, minyak aroma defuser, pewangi cucian, pengharum ruangan, deodoran, bedak tabur, wangi-wangian apapun yang bakal bikin kita flashback ke masa lalu.

Step 3 – No music. Apapun jenisnya.

Music also can be a fatal trigger for memories. Makanya kalo lagi nyetir sendiri, radio pasti gw matiin. Nah, sambil nyetir, gw ngumpulin dzikir sama sholawatan sebanyak-banyaknya. Kalo terkadang sampe nggak sengaja nangis-nangis lagi, ya nggak papa, itu proses. Kalau sudah terasa agak ringan gejala sesaknya. Boleh dengerin Classical Music yang sifatnya menenangkan, bikin happy dan riang. Contoh lagunya bisa di search ya: Je Te Veux – Satie

Step 4 – Cari Orang dengan Masalah Hidup yang Lebih Berat

Setelah mental break down gw sudah agak membaik, gw memutuskan untuk silaturahim ke handai taulan. Nggak tau yaa, dari dalam hati gw nyuruhnya begitu. Ya gw ikutin. Ternyata ada hikmahnya banget. Dan ini menjadi salah satu hal penting yang bikin mental gw cepet banget sembuh. Anyway, harus ditekankan ya: kita silaturahim itu bukan untuk menceritakan kepedihan hidup kita ke orang lain. Justru kita mau tau kabarnya semua orang itu gimana supaya kita lupa sama nasib naas kita sendiri. Di perjalanan silaturahim itu, gw menemukan kalo ternyata banyak orang lain yang masalah hidupnya jauh lebih berat dari gw. Namun gilanya, dengan kondisi hidup yang lebih berat tersebut, mereka masih bisa tetap tabah dan survive menjalani kehidupan mereka.

Case 1. Temen gw ini udah 3 kali jadi janda. Dan semua mantan suaminya dia: tukang pukul. Heavy physical abuse dan selalu pergi setelah ninggalin satu anak. Jadi anaknya dia ada tiga dan bapaknya beda-beda. Pekerjaan temen gw ini serabutan. Bukan pegawai negeri ataupun swasta. Kebayang kan? ada anak tiga, sekolah semua, tapi pendapatan hidup dia nggak tetap. But you know what? She looks fine and happy menjalani hidupnya yang sulit. Bahkan bantuan gw pun dia tolak secara halus.

Case 2. Sama, temen gw ini divorce juga karena masalah ekonomi. Anaknya dua. Belom selesai ngurusin acara divorcenya dia, eh bapak ibuknya yang umurnya udah 68 tahun, ikut bercerai juga. Gara-gara bapaknya ini main gila sama pembantu rumahnya. Nggak hanya itu, dia harus mengalami kisruh kekacauan rumah tangga orang tuanya yang ternyata full physical abuse. “Kebayang ngga lo, ngeliat aki-aki sama nini-nini lempar-lemparan belati di rumah? Belom lagi lo harus terpaksa kelempar gelas mug tepat di jidat, gara-gara mau misahin mereka berantem?” Katanya tertawa terbahak-bahak sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Case 3. Temen lama. Menikah sudah 11 tahun. Belum dikaruniai anak. Setelah cek intensif, suaminya mengalami penyumbatan di saluran sperma dan harus dioperasi ringan. Operasinya betul-betul ringan lho ya, nggak sampai 4 jahitan. Simple kan? eh tapi, nanti dulu. Ternyata si suami temen gw ini menolak dioperasi. Ego dia sebagai laki-laki terluka. Surat vonis dan panggilan operasi dari dokter akhirnya disobek-sobek. Si suami ini, menolak punya anak. Temen gw cuma bisa menyeka matanya yang basah, sambil mendekatkan jari telunjuk dan jempolnya selebar 5 milimeter didepan muka gw: “Padahal tinggal segini lagi.. gw bisa jadi ibu.” Sedih ngga lo?

Case 4. Temen gw yang ini juga belum punya anak. Usia pernikahannya sekitar 8 tahunan. Dia settle kalo urusan ekonomi. Pekerjaan dan pendapatannya stabil. Bisnisnya dimana-mana. Wanita sukses lah. Tapi.. si suami kerjanya serabutan. Dan gilanya, si suaminya ini selingkuh 4 kali dan 2 diantara selingkuhannya itu.. hamil. And she plans to adopt the kids.

Nah! Masalah idup gw cuma: pacar gw dan keluarga besarnya ngebohongin gw and doi nikah ama temen gw sendiri.

See? Sependek itu masalah idup gw. Dan gw masih mau nabrakin diri ke KRL? mau nenggak baygon? mecahin pala ketembok? Malu gw. Aselik. Malu woy. Disitulah, gw merasa Gusti Allah lagi mengelus kepala gw sambil tersenyum manis: “I gave you nothing to worry.. just a little bitterness to make you grow.”

Makanya, daripada mikirin paitnya hidup, lebih baik kita cari remahan kebahagiaan di hal-hal yang membuat kita lebih mensyukuri hidup. Mencoba silaturahim, ketemu orang-orang, tanya kabar mereka, sambil sesekali bersedekah dan jangan lupa untuk selalu berbuat baik sama orang.

Step 5 – Find a new hobby

Hobby buat gw banyak sih definisinya. Bisa being workaholic, do jogging, walking, writing, shopping, inspiring people, berkebun, masak, baking, miara kucing, menekuni drama korea, jadi fangirls, jadi kpopers, belajar trading, ikut kursus online, ikut les jahit, dll.
Kata orang, Time will heal – ‘waktu’ itu menyembuhkan. Ada benernya sih, tapi nggak 100% bener. Kalau proses healing kita cuma mengandalkan waktu dan mostly do nothing, ya ngga sembuh-sembuh. Kita betul-betul butuh positive distractions untuk membangkitkan kembali fungsi diri kita sebagai manusia. Jadi, jangan pernah takut untuk mencoba ‘bergerak’. Inget ya, bergerak lambat, mati muda. Makanya seperti kata pak Gerry di film World War Z: “Key for survival is to keep on moving“.[]

Merajut Hati Yang Patah – Part 2

At some point in everyone’s life, pasti kita akan mengalami kedukaan/kehilangan. Bisa karena kematian, kehilangan pekerjaan, kehilangan kekasih, kehilangan hewan peliharaan, ataupun ketipu bisnis habis-habisan.

Setiap orang bergelut dengan kedukaan/kehilangan dengan cara beragam. Tapi, biasanya polanya sama. Seperti yang digambarkan Elizabeth Kübler-Ross dalam bukunya “On Death and Dying”, kedukaan/kehilangan terbagi dalam 5 tahap:

Tahap menolak fakta yang terjadi (denial)
Tahap terjadinya kemarahan terhadap fakta yang ada (anger)
Tahap tawar menawar untuk menolak fakta yang ada (bargaining)
Tahap merasa bersedih atas fakta yang terjadi (depression)
Tahap pasrah menerima fakta yang ada (acceptance)

Dalam proses melalui kedukaan/kehilangan dalam diri gw. Nggak semua 5 hal diatas gw alami. Dan urutannya pun, nggak sesuai seperti itu. Tapi itu nggak papa, setiap orang memaknai kedukaan/kehilangan dengan cara yang berbeda-beda kan? Kalo di gw urutannya lebih ke:

Anger, Acceptance, lalu Deppression.

ANGER

He’s cheated on me. Just thinking about it again will bring back all my anger. I know, it’s only the past. But whenever I think back on that moment, I feel so bad to my old self.

Kalo kata Rachel, temen gw, yang baru divorce: “Demented bastard are everywhere, and they always using a broken marriage as an excuses for cheating.”

Dan gobloknya, cowok-cowok ini kalo sudah ketangkep basah, kita sebagai perempuan selalu kembali memaafkan sambil berpikir “It’s okay, men are inherit to be a cheater once a while. It’s a women’s job to forgive and fix them.”

Ya.. tapi dengan begitu, kita salah. Membenarkan sesuatu yg sudah jelas salah seperti mengalikan apapun dengan nol. Makanya gw ngga merasa ada hal lain yang bisa dinegosiasikan lagi kalau sudah menyangkut kata “selingkuh“. I rather choose to leave.

Kemarahan dapat membuat fakta (atau kebenaran) yang ada terasa berat. Terus berbuat baik adalah hal tepat yang bisa kita lakukan. Memang pada saat kita dikuasai amarah, kita bisa menjadi hysterical dan brutal. Kita menjadi tak bisa menahan. Tapi, jika tidak ditahan, kita akan hidup penuh dengan penyesalan.

ACCEPTANCE

Pak Mardigu Wowiek pernah bilang, “People don’t change, even once dia dapet wisdom, pandangan dia hanya melebar saja. But surely, they will remain the same“. So, nggak salah dong kalo ada nasehat: a cheater, will always be a cheater. Well anyway, if a man cannot keep a promise with a woman, what else can he keep?

There is a latin epigram: if it’s false in one thing, then it’s false in everything. Dia tak akan kembali walau kita menangis. Sekarang kita sendiri. Sebisa mungkin kita harus tabah menerima semua keadaan ini. Walaupun getir dan pahit di hati.

Hal ini yang mendasari gw akhirnya menerima semua kepahitan gw dengan penuh rasa syukur. Nyatanya, melalui kehilangan atau tidak, hidup ini tetaplah hangat (sekaligus menyedihkan). Humans are build to endure all great sorrow in this world, so let’s start using our humanoid feature right now. We can do it!

DEPRESSION

To be in touch with a profound sorrow is never been easy. Gw hilang arah dan terus merasa kurang dan salah. Gw pasrah, cenderung menyerah. For months, I cannot sleep and eat well, cannot breath freely and I keep crying everywhere for no specific reason. It just felt hurt and pressing this chest deeper.

The pain feels so horrible.

Sulit sekali rasanya berusaha menggapai-gapai nafas. Terasa tenggelam namun berada diatas permukaan. Seisi dunia berputar, seperti komidi putar yang putarannya semakin cepat dan membahayakan.

So? Menangislah sepuasnya. Gak papa. It’s okay. Gwenchana. All is well. Everything will be allright.

Pada saat di puncak frustasinya, Dr. Ji (Drakor: The World of The Married) menangis di pinggir pantai sambil berencana bunuh diri. Kalo gw, waktu itu, malah nangis sejadi-jadinya di cafe, didepan temen gw yang bingung gw kenapa (karena gw udah nangis duluan sebelum bisa cerita panjang lebar). Hahahahah.. Sampe diliatin orang-orang. Well, I don’t really care. I need to get it out.

Sakit yang tertahan di dada bisa bikin konslet. Harus kita keluarkan. Tekanan itu harus dikeluarkan supaya nggak jadi stress. Remember, a continous stress can kill you.

Akhir kata, kita sebagai orang yang ditinggalkan harus hidup sebahagia mungkin. Kita terkadang akan menangis, tapi juga akan sering tertawa dan terus hidup dengan tegar. Itulah balasan yang tepat, atas semua nikmat hidup yang telah kita terima.[]

Merajut Hati Yang Patah – Part 1

Kita semua adalah pejuang kehidupan. Selayaknya pergerakan kurva elliot wave, ada saat dimana setiap manusia akan mengalami level resisten (bawah) dan support (atas). Tidak ada masa kejayaan yang datang terus menerus dan tidak ada pula masa kesedihan yang akan terjadi terus menerus. Perubahan itulah yang membuat kita menyebutnya sebagai lika-liku kehidupan (bukan “lurus”nya kehidupan).

Now, I’m in the resistent level of my life. For these past 2 years, gw megap-megap melakukan pertahanan hidup. Ibarat ikan koi di akuarium toples, ya tadi itu, gw dicomot keluar dari toples. Nyaris mati.

Gw patah sepatah-patahnya. Pacar gw nikahin temen gw diem-diem. Ibunya dia bohongin gw juga. Well, dikhianati dua orang yang saat itu gw sayang dan gw percaya.

Dan belom kelar paitnya, karena gw kerja satu bidang ama pacar gw itu, ya gw nggak hanya kehilangan keluarga dan cinta. Gw juga kehilangan lingkaran teman, kolega, kesempatan, jabatan, uang, kepercayaan sekaligus ‘waktu’ gw yang sangat limited.

Singkatnya 2/3 kehidupan gw terenggut seketika dan itu terjadi saat gw bener-bener lagi nggak siap. Pukulan telak. TKO. Skak Mat.

It’s been two profoundly shitty years for me. I’m breaking apart. Gw jatuh sejatuh-jatuhnya. Hancur sehancur-hancurnya.

Dulu, di bulan-bulan pertama menghadapi masalah ini, gw cuma bisa tidur di atas sajadah. Lebay? Nggak. Itu life support gw.


Untuk sembuh dari patah hati hebat, memang kita nggak bisa sendiri. Buat gw, perlu 4 hal penting ini:

  1. Pegangan/Iman
  2. Dukungan orang terdekat (versi gw: orang tua)
  3. Niat dari diri kita sendiri untuk sembuh
  4. Rancangan proses menjalani terapi kesembuhan yang tepat

Keilangan 1 dari 4 poin ini? ya siap-siap aja. Level 3 nya lo bisa stress, Level 2 nya lo bisa konslet/gila dan separah-parahnya level ultimate dari patah hati: ya mati. Kalo nggak mati bunuh diri, ya mati karena tekanan psychosomatic. Gw ngomong ini ada samplenya, banyak udah kok contoh casenya. Makanya, alhamdulillah gw masih bisa cerita lah disini about “How can you mend a broken heart (in a proper way)”.

Semua orang, apapun jenis patah hatinya, awalnya sama. Pasti selalu mikir the shortest way to end the pain. Segala tangisan yang sudah keluar atau bahkan yang nggak keluar, pasti bikin sesak di dada. Dan sesak ini yang nyakitin kita banget dan pengen cepet-cepet kita sudahi. Makanya, ibarat lagi megang bara api ditangan, kita mau cepet-cepet buang baranya karena panas dan perih, eh tapi baranya bara plastik, meleleh dan nempel cuy di tangan kita. Gimana dong?

Setiap orang punya level ketahanan yang berbeda soal perbaikan mental break down akibat broken heart ini. Gak bisa juga semua orang disamakan cara penyembuhannya. Ada yang mentalnya ditekan sedikit, tapi udah nggak kuat. Ada yang mentalnya ditekan sampe mau meledak, tapi dia tetap kuat. Itulah hebatnya manusia. Tetapi.. tetap semua healing itu sama standarnya. Secara garis besar ada hal-hal yang bisa kita jadikan pegangan.

Contoh, ada orang yang kaya Dr Ji (Drakor: The World of The Married) yang mengalami patah hati dengan level berat, perceraian dengan anak remaja yang mental si anak juga jadi beban dia, full domestic abuse, dikhianati pula sama satu kota, dan she’s still intact, masih bisa berfikir logis, dan level sabarnya gilak.

Tapi ada juga, iparnya sepupu gw, sebut saja namanya mbak Mawar. Doi punya pacar dari SMA, pacaran 3th, trus bapaknya mbak Mawar nggak setuju. Lantas mereka dipaksa putus dan pacarnya mbak Mawar diusir dari rumah. Kebetulan si bapak galak dan otoriter (maklum, orang militer) dan mbak Mawar bukan tipikal cewek yang mentalnya mental pendemo/protester kaya gw. Akhirnya cuma bisa diem dan nahan. Nah, karena cara nahannya salah, akhirnya konslet deh. Beneran gila cuy. Sampe harus dipasung. Gw inget, di bulan ke 3 gw patah hati, gw ketemu sama si Mbak Mawar ini di kampung bapak gw pas acara khaul keluarga. Dalam waktu beberapa tahun sakit mental, mukanya mbak Mawar bener-bener 100% berubah. Dari gadis jawa ayu, sekarang jadi beneran kaya orang gila full timer. Wajah kusam kuyu, bola mata yang bergerak-gerak cepat, wajah nggak terurus, rambut mekar, gigi berantakan karena harus konsumsi obat anti depressan. Waktu ketemu mbak mawar, gw nangis sejadi-jadinya. I feel awful, full of despair. Because, She could be me. I could be her.


Dalam proses menjalani kesembuhan gw yang belum 100% ini, gw banyak melakukan self evaluation. Mungkin karena gw insinyur yang kerjaannya selalu monitoring dan evaluating project, ya jadinya kebawa kali ya.

Ada 3 kesalahan utama yang merusak mental kita pasca broken heart:

  1. We always tend to blame ourself
  2. We always tend to make a short cut (Berfikir bunuh diri)
  3. We always tend to think that we loose everything

MY MISTAKE NO #1: ALWAYS BLAMING MYSELF

Awal gw patah hati, gw dapet omongan dari sekertarisnya ex gw: “Bapak seneng sama calonnya yang sekarang karena calonnya bapak itu montok dan putih. Kata bapak, calonnya ini juga nggak neko-neko orangnya dan menghargai bapak sebagai laki-laki”

I was shaking and in deep-shock, gw nggak berhenti menyalahkan diri gw sendiri, apa yang bikin dia akhirnya milih perempuan itu? apa kurangnya gw? apa gw kurang putih? Apa gw terlalu mendominasi? apa gw terlalu pintar? apa dia merasa ada kesenjangan sosial? apa gw selama ini nggak menghargai dia sebagai laki-laki? apa dia merasa insecure sebagai laki-laki?

I blamed myself with all those questions.

Tapi setelah gw ngobrol banyak sama emak bapak gw, trus gw ketemu juga sama temen-temen lama gw, ngopi bareng. Gw akhirnya tau value gw sebagai manusia. Gw sadar kok, kalo gw ini berharga, gw orang baik, gw masih dibutuhkan/dicari orang, gw masih disayangi banyak orang.

It was my mistake that I was blinded to put himself first other than me (nah, masih aja gw nyalahin diri gw sendiri kan? hahahahaha)

Lagian kalo dipikir-pikir, selama taunan, dia nyaman-nyaman aja buktinya hidup sama gw. Makanya, akhirnya ya gw mikir, “ah.. gw nggak sepenuhnya salah. Titik.”. Dan with his ex before me juga sama kok, dia bertahan cuma sampe 5 tahun. Repeating himself. Maybe, he always ngerasa bosen setiap 5 tahun. Udah kaya RAPBN aja tiap 5 tahun ganti.


ANOTHER MISTAKE NO #2: NEKAT MAU MATI

Iya, gw goblok banget emang. Cetek. Terserah deh, lo mau bilang gw apa. Hahahahaha.. tapi itu beneran terjadi sama gw. Waktu itu, gw bener-bener ngerasa bersalah banget sama orang tua gw. The pain was so horrible that the only thing you can think is to end things.

Walhasil, gw pernah niat buat nabrakin diri ke KRL, tapi pas keinginan gw untuk nabrakin diri ke KRL lagi on-fire, ndilalah kok gw selalu ketemu temen lama gw di Stasiun. Eh malah gw ditarik ke cafe lah, diajak ngobrol dengerin dia curhat lah, trus gw jadi lupa mau bunuh diri. And believe it or not, it always happenned like that. God really works in a misterious way.

Pernah juga gw nyoba minum Baygon, ternyata pas minum, gelasnya kegedean. Padahal niatnya mau langsung tenggak kaya minum miras trus kelar, mokat, koit. Tapi, karena gelasnya kegedean, pikiran gw malah kebawa kaya mau minum teh anget: gw sruput lah tu Baygon, HAHAHAHA ya karena disruput, rasanya sumpah: pait dan terbakar di lidah, gw langsung lari nyari keran sambil nangis-nangis. Ya nangis-nangis antara kesakitan sama nangis-nangis karena menyesal. Untung belum sampe ke tenggorokan. Batal deh akhirnya nenggak baygon. Well, ternyata bunuh diri itu nggak semudah yang kita pikirkan.

Hidup adalah kecemasan tanpa henti. Living a life itu seperti berjalan dipinggir jurang. Nah, kita kan paham kalo posisi ini bahaya. Pilihannya bisa kepleset dan mati masuk jurang, atau.. kita sebisanya mencoba bertahan untuk hidup walau berjalan disisi jurang. How? Bagaimana caranya menjalani hidup bahaya seperti itu dengan tenang?

The real source of fear is not knowing. When you begin to notice the damage that emotion can do, awareness will develop. When you have this awareness, you will understand the dangers before you. Now, you know the fear that haunts you, you understand them. And walking on a cliff (living a life) is not so frightening anymore. In fact, it is thrilling.


MY MISTAKE NO #3: MINDER KARENA MERASA LOST EVERYTHING

Gimana sih rasanya dikhianati sama orang yang paling kita percayai saat itu? yang kita udah invest disegala hal, baik materi ataupun perasaan? Yang kita sudah invest kasih sayang, kesetiaan, kepercayaan, semangat hidup, dan masa depan?

Gw udah all in banget lah saat itu. Gw udah nggak ada deh kepikiran berpisah atau hidup sama orang lain. Semua kesalahan dan kekurangan dia yang paling fatal sekalipun gw maklumi demi masa depan. Ya beginilah jadinya, jika kita bergantung sama manusia.

Ibarat pemilik perusahaan bangkrut, gw karam. Bankrupt is really complicated. Starting over is complicated. And I don’t do complicated. I never have.

Satu-satunya cara membuat gw ikhlas dan tabah tentang kehilangan ini adalah menerima sekaligus mengakui kalo gw kalah. Selayaknya orang kalah, ya gw memilih pergi dan menertawakan kebodohan gw sendiri (bahasa lainnya: konslet skala kecil).

Because once.. some old man said: recognizing the humor in our most bitter situation prevents suffering. We still experience some emotions, but they can no longer play tricks on us.Buat gw, kekalahan ini rasanya sangat manis hingga terasa pahit. Pahit yang melonggarkan pikiran dan melapangkan dada gw.

Every life is touched by God at least once. If someone or something nudged you back in the right direction just when you were drifting away from the world, that is the moment that God stays by your side. And God really be with me all the time. I feel blessed.


It’s been 20 months. I am getting better. Koreng di dada gw udah mulai sembuh. Makan dan tidur rasanya sudah enak. Almost normal. Udah breaking point lah kalo istilah anak-anak trading.

Namun, walau waktu sudah berlalu, rasa sakit tetaplah terasa sakit. Pikiran bawah sadar gw masih menyimpan rasa traumatik tersendiri. Ada kalanya, setiap tiga atau enam bulan sekali, didalam setengah tidur gw, tekanan dan rasa sakitnya datang lagi tanpa bisa dikendalikan. Sakit yang sama, tekanan yang sama. Persis kaya kita kram otot. Datangnya tiba-tiba. Beneran. Gw bisa lho, langsung kaya dikagetin, dan inget sama semua sakit dan tekanan yang gw udah lupakan itu dalam sekali jentik. Jedar! Duer Duer! datangnya menggebuk sekaligus tanpa ampun. Tapi ya untungnya, hilangnya pun lebih cepat. Ibarat immunity, now my body can handle it well.

Kalau lagi kumat begitu, biasanya, gw menekan dada gw, menahan nafas sebisanya dan nggak berenti berdoa supaya Gusti Allah segera menarik keluar rasa sakitnya. Pokoknya, I was holding my breath until that horrible feeling is gone. Tapi ya gitu, seperti layaknya kehadiran angin muson barat dan datangnya musim penghujan disetiap tahun, they will come again. Ya.. disabarin aja.

Kita tau, hidup ini berat. Tapi, semua keputusan akan kembali kepada diri kita. Keputusan itu bisa jadi menguatkan atau bahkan melemahkan kita. Anything happens for a reason, just don’t give up. Bersemangatlah. Chaiyo! Manse! Ganbatte!

Love causes cancer. Like everything else. But it’s still love. It has its moments. So, I think I’m gonna gather up the tattered remnants of my dignity and say goodbye.[]

Pria dan Puisi


“Jane, where are you?”

Membaca message dari lelaki itu di ponsel gw, detak di dada ini spontan terasa dialiri aliran listrik 15 juta Kilovolt. Suddenly stop beating, I feel very light and loose and I felt that there’s million sparkles around.

This man, sebut saja Bimo, has been so delicate, sympathetic, loyal, caring, untutored, gentle, and I am.. in love with him.

He’s the man I am looking for. Totally, head to toe. At least for current.

Senyum-senyum girang, gw mereply message dari dia: “Gw lagi di kosan bim, biasa lagi ngitung kancing, kira-kira siapa yang bakal traktir gw dinner malem ini”

Ngga lama ponsel gw kembali berbunyi: “kalo gitu gw aja yang traktir. Mau gw jemput atau.. Lo jemput gw?”

OMG. Another heart attack! He’s in town!

Gw berasa heng selama 10 menitan. Sambil berusaha mengumpulkan segenap jiwa raga gw yang tersisa, gw senam pernafasan sebentar, huffffttt. “Errrttt, Earth is calling Jane, errrtttt.. Please get back to earth.. Errrt, where the hell are you, Jane?!”. Gw pikir gw udah gilak. But it did happen. Gw beneran Heng!

I run crazily inside kostan gw sendiri! Padahal sempit lho kamar gw. Chaotic banget lah pokoknya. Bingung mau mandi apa nggak, mau pake minyak wangi yang kebuah-buahan atau yang keseksi-seksian, make warna alis coklat atau item, make kebaya kartini atau jeans+kaos aja, Ah I am too.. HAPPY!!
Sambil mengetuk-ngetukan jemari gw ke setir mobil, gw nunggu Bimo dideket tempat dia nginep. Rasanya resah. Kayak balon aer yang hampir pecah.

Gw bolak-balik nelen ludah sambil ngeliat kaca spion. Damn, it feels like forever for waiting him like this. Where is he? Is he okay? Does he know the road for getting to this parking lot? Is he really here? Is he still remember my car?

I can’t control my self. I fall for this guy. It’s been a while for I never met this kind of guy anymore, After ahmad, after Bilven, after I lost my Ahmad and my Bilven.

Dan gw akhirnya melihat siluetnya dari jauh. Still the same. Same old Bimo. Tinggi, Kurus, Ceking, dengan bahunya yang panjang dan lebar. Just wearing simple T-shirt and jeans. Of course, masih sama, megang rokok ditangan kiri. Yep, dia kidal.

Bimo mengetuk kaca jendela gw, “tuk-tuk”. Gw melirik sekilas. Pura-pura acuh. Kacamata Rayban Bimo, yang juga jadi kesayangan gw, tepat menempel dikaca dari sisi lainnya. Gw tersenyum sambil membuka kaca perlahan, “Lama nian, Tuan?”.

Bimo cuma tersenyum, menghisap rokoknya sekali, lalu membuangnya entah kemana. Dia memberi isyarat agar gw pindah dari posisi gw duduk. He’s taking the wheels.

Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya adalah seni. Tapi mana bisa ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang keramat, yang luhur, well.. segala yang indah dalam hidup ini buat gw adalah puisi.

Persis seperti Bimo. Bagi gw, dia adalah puisi. Dia seperti kata indah yang mendebarkan jiwa. Dia bak rima kalimat yang mampu melangutkan rasa.

Dia indah. Dia penjarah. Penjarah hati gua.
 
Gw ketemu Bimo secara nggak sengaja di kota yang berbeda. Bimo tinggal di Muara Enim, kerja di pertambangan batubara, sedangkan gw tinggal di Palembang yang jaraknya kurang lebih 8 jam via jalan darat. Biasalah, gw kenal Bimo karena ternyata dia adalah temennya temen gw. Setelah kenal lumayan akrab, kami kerap saling mengunjungi satu sama lain.

At first, I’m not paying so much attention to him. He’s just like ordinary guys with no special sparkle. Even Bimo betul-betul jadi makhluk extrateresterial buat gw. Until that day. The day that I have to be in his car for hours, stuck with him, only him. And we both did everything to kill the boredom.

We’re talking about politics, jokes, interests, hobby, routine activity, work, about shores and mountains. Listening U2 together for hours. Ugh, Gw menemukan orang yang betul-betul mampu berdialog dengan gw. Both way. Perfectly.

There are lots of ways to appreciate something. Can be appearance, can be substance. Bagi gw, isi dibalik krempengisme si Bimo adalah poetic. I fall for his substance. As we drifted to another place in time, this feeling of mine was so heady and sublime, I lost my heart to him.

Hari itu, Bimo juga cerita soal love lifenya dia. He is enggaged with a girl. And he loves her very much. They will get married next year. Pertamanya gw merasa kecewa. Tapi gw pikir, toh selama ini gw emang selalu jatuh cinta sama orang yang salah kok, makanya gw nggak ambil pusing. Gw nggak mengharapkan Bimo ngawinin gw jugak kan? Lagian, gw cuma seneng aja punya temen ngobrol di tempat asing kaya gini, Hahaha..
Bimo bagi gw adalah laki-laki bebas. Dia bisa menentukan langkah dan tujuan hidupnya dan dia konsisten dan persistent terhadap hal yang dia pilih. Ketabahannya itu yang bikin gw jatuh cinta sama dia.

Dia bisa saklek sekaligus fleksibel dalam waktu yang bersamaan. Dia bisa basah dan kering dalam waktu yang bersamaan. Dia bisa jadi santa sekaligus jadi pit hitam berbarengan. Dia mampu menjadi tiada dalam suatu keadaan. Dualisme yang dia miliki bukan merupakan suatu ke’plin-plan’an buat gw, melainkan suatu hal yang sangat extra-ordinary dan poetic.
 
“Jane, U2 mau manggung di Bali..” katanya singkat.

“O really?” Jawab gw surprised.

Gw tatap matanya lekat-lekat. Ada ketenangan yang gw temukan disana. Bimo tertawa. Ada emosi yang tertanam juga disana.

“Jane, will you come to my wedding..?” katanya singkat.

“I will..” Jawab gw tenang.

Bimo mungkin tau tentang segala rasa yang berkibar di dada gua. Rasa itu terasa transparant sekali. But we both know, it’s impossible to continue our relationship to futher step. We both know it’s forbidden.

Malam itu, safely, gw anter dia ke tempat dia nginep. He say take care and good bye like usual. 
Diiringi Electrical Storm-nya U2, gw balik ke kosan. Rasanya lega sekali. It’s been a while gw nggak merasa jatuh cinta seperti ini.

Have you ever thought that you love a man so much that you will not be at peace until you see him? On the contrary, your sanity and sober mind take place. They keep telling you that actually it’s possible for you to make he loves you and no other can do that or should do that.

Ya ampun, it feels so complicated. Comme il fault, as it should be. Complicated.

“Innallaha ma ‘ashshabirin, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” Bathin gw sambil mengurut dada. Ya Allah, ada dua orang nggak ya, yang kayak Bimo? Kalau bisa yang idle ya? Aku mohon, ya Allah. Dan gw tertidur sambil tersenyum setelahnya.[]

If you want to ease the pain, you can lean from me, my love will still remain..
 

Tentang Lelaki Dibawah Hujan

Kota Kembang, Januari 2010.

Gerimis enggan berhenti sedari pagi. Dingin yang mencekik paru-paru tak membuatnya beranjak lalu. Matanya basah tapi bahunya bersedu sedan. Kaku yang merindu. Merindukan sesuatu yang tidak bisa ia jangkau kembali.

“Maaf jika aku tak pernah bisa memenuhi janjiku..”

Nona bermonolog. Dipejamkan paksa matanya yang panas untuk meretaskan air mata terakhir yang bisa ia hempaskan. Gerimis masih meretas, membasahi serat-serat kerudung Nona, menembus masuk ke kepala, ke otak, lalu ke jantungnya. Di dada, terasa pahit, namun melegakan. Setidaknya Nona merasa punya alasan untuk datang kembali ke tempat ini.

Fachri, satu nama yang nyaris Nona lupakan.

Dari laki-laki ini Nona belajar arti berbagi. Sebelumnya Nona tidak pernah mengerti bagaimana harus ‘berbagi’, baginya ‘memberi’ itu lebih penting. Namun Fachri mampu meyakinkan Nona bahwa, berbagi lebih memiliki arti.

Nona bersahabat baik dengan Fachri. Fachri tak banyak bicara, tak punya banyak koleksi kata mesra, tapi mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sekedar memandangi senja dari atap gedung kampus, ataupun turun ke sungai untuk melihat kilauan sinar matahari mengambang di atas air.

Jika hari hujan, Fachri tanpa diketahui siapapun akan meletakkan payungnya disebelah tas Nona. Fachri tau persis, betapa ceroboh, pelupa dan malasnya Nona. Sebaliknya, kadang Nona menemani Fachri berjam-jam di depan layar monitor, tanpa dialog. Nona tau persis, Fachri senang ditemani, padahal Nona mengantuk minta ampun.

Mereka bersama-sama tahun demi tahun. Kenyamanan dan kebersamaan telah terjalin begitu mesra tanpa ada kata. Sampai pada akhirnya Nona berpikir, Fachri tak kuasa ia jangkau. Fachri seperti imajinasi, utopia yang tak mungkin ada. Sehingga walaupun hadir, Fachri seperti tak terjangkau olehnya.

Dan pertikaianpun mulai terjadi. Nona berpikir perpisahan yang dia rencanakan ini adalah yang terbaik dan akan membuat Fachri bahagia, sedangkan Fachri berpikir jika Nona sok tau, “Kamu gak tau, hal apa yang terbaik buatku dan perihal siapa yang bisa membuat aku bahagia” Kata Fachri.

Namun Nona sekeras batu. She thought she’s not worthy at all for him. Perbedaan yang membentang terlalu jauh. Perbedaan Suku. Perbedaan Fisik. Nona berpikir dia hanya wanita biasa yang tidak akan membuat Fachri, Mahasiswa paling tampan dikampus ini bahagia.

Hal ini membuat Fachri marah dan kecewa. Jembatan kemesraan mereka pun retak.

Sepatu kanvas basah, tubuh yang menggigil, langkah yang tak kunjung terhenti, dan lampu-lampu kota yang mulai menyala. Nona still can feel him here, there, and everywhere. Lamat-lamat ditundukkan kembali wajahnya ke bawah. “I want you back and forever be mine..”. Hanya kata itu saja yang terlintas.

Nona tak kuasa mengingat kembali semuanya, saat beberapa tahun lalu, laki-laki ini, dibawah hujan, menatapnya untuk yang terakhir kali, lalu bertanya dan memaksanya untuk berjanji.

“Don’t give up on me.. and on us. Jangan Pergi.”

Tak ada jawaban dari Nona. Hanya rintik hujan.

“Please..” Fachri mengambil genggaman tangan Nona.

Nona masih terdiam. Menahan getaran hebat dibibirnya. Dan Laki-laki inipun menyerah. Tertunduk dan pergi. Pergi meninggalkan Nona dengan sekotak coklat basah di tangan. []

Rasa Patah Hati


Di gerbong kereta Commuter Line.

“Mbak, novelnya sedih banget ya? Sampe sembab begitu?”

Novel ber-genre fiction-horror itupun dia benamkan diwajahnya. Bagi Nona, mengalihkan konsentrasi ke media manapun nggak akan membantu banyak, segala aliran rasa dan air matanya tetap tak bisa dia hentikan.

———————-

Di kantor.

“Udahlah mbak, muka lo itu emang udah maksimal, nasip lo cuma dua, kalo nggak ditolak, ya diputusin…”

Pulpen murah meriah itupun akhirnya mendarat di kepala adik kelas, dan sahabat, sekarang teman satu kantor Nona yang memang sedari dulu hobi nyela tanpa pandang bulu.

———————-
Di sms.

“Hah kerokan lagi…? Lo penyakitan amat semenjak diputusin adek gw… hahaha…”

Nona tertawa keras, menertawai dirinya sendiri. Ternyata, sudah sebegitu parahnya psikosomasis phase yang dia alami. Mungkin sebentar lagi nona betul-betul akan memasuki fase skizofrenik . Nona nggak akan pernah tau.

———————-

Semua kenangan Nona bersama Dia bersifat transendental, yaitu berkaitan dengan sesuatu yang berada diluar jangkauan pengalaman biasa dan ilmiah.

Malam itu sedikit temaram walaupun sepotong bulan tergantung agak terang. Nona ingin sekali sembunyi di tetes air di ujung daun talas agar meretas, dan melupakan jejak Dia yang meninggalkannya di sisa sisa hujan sore itu.

Tapi sungguh, disaat lupapun Nona tak dapat melupakannya. Retorika ini mungkin berarti beda. Tapi bagi Nona, keduanya sama saja. Sama-sama rentan, sama-sama kehilangan.

Dalam langkahnya yang diseret lambat-lambat, Nona berlari dari semua rasa yang dia batasi. Dia seka untuk yang kesekian kali tetes airmata itu menggunakan bahu tangannya. Nona tak pernah tahu berapa lama Dia singgah dihatinya, tapi irama Dia serupa iringan detak jam dinding yang dia hapal.

“Ampun Allah.. belas kasihanilah aku…”

bisiknya lirih lalu bersimpuh terisak ditanah basah.[]

Tentang Sakit Hati


Belakangan, gw menemukan teori bahwa besar kecilnya sakit hati kepada seseorang dapat secara tepat ditakar dari seberapa berarti seseorang bagi hidup kita.

Dan menurut gw, sakit hati itu bukan dendam, bukan irony, bukan juga rasa kecewa akibat suatu sebab yang endingnya nggak sesuai terhadap apa yang kita harapkan. Atau, sakit hati, bukanlah suatu hal keji yang mampu merubah seseorang biasa menjadi kriminal.

Sakit hati, bagi gw hanyalah seupil efek yang timbul disaat kita berusaha melepas apa yang kita anggap sebagai milik kita (padahal pada kenyataannya: BUKAN). Agak sarkastik, gw perjelas artinya sebagai greedy atau tamak.

Tamak untuk tidak berbesar hati mengakui bahwa Tuhan sesungguhnya maha adil, sehingga jika kita merasa hidup ini tidak adil, lantas kita sakit hati.

Atau, tamak untuk tidak berbesar hati mengakui bahwa kita hidup untuk saling berbagi kasih, sehingga jika kita hanya berbagi tanpa menerima bagian, akhirnya ada acara sakit hati.

Atau, tamak untuk tidak berbesar hati mengakui bahwa kita terlahir untuk mencintai, sehingga jika toh tidak dicintai, ujungnya sakit hati.

Gw pernah merasa mencintai seseorang. Gw menyelipkan kata ‘merasa’, karena belakangan gw tahu, bahwa orang ini sama sekali nggak merasa dicintai dengan cara gw mencintainya.

Saat ini gw berusaha berbesar hati untuk menyadari bahwa sebetulnya nggak ada cinta dibalik semua perhatian, kasih, janji, kata indah, dan sejuta rayuan dari lelaki ini. Tapi entahlah, untuk membesarkan hati ternyata sakitnya bukan main.

Dalam keadaan jatuh cinta kita menangkap senyuman sebagai perhatian, kita menemukan realitas lain bahwa sebait kata janji sebagai sesuatu yang istimewa. Mereka yang jatuh cinta sebenarnya sedang mendustai, mengubah realitas yang ada. Dusta tak lain dan tak bukan adalah bentuk lain dari cinta.

Jadi tersadar sejenak (dan tersenyum lagi tentunya) saat mendengar dialog dari sebuah film komedi lokal:

Pria 1 : Lepasin gw! Biarkan gw pergi! Lo tau, ketika kata sudah ngga bermakna, biarkan golok gw yang bicara..!!!

Pria 2 : Tenang bung!! Tahan diri!! senjata tajam tak hanya membunuh manusia, tapi juga bisa membunuh reputasi!!

Hahaha, gw jadi malu, gw nggak ada bedanya dengan pria di film itu. Membawa ‘golok’ untuk menyelesaikan masalah. Bukannya selesai, bisa-bisa malah gw yang ‘terbunuh’ karena gw memegang ‘golok’ tadi tanpa kesadaran penuh akan fungsi dan efek yang akan diakibatkan si ‘golok’.

Gw tau, saat ini, gw mengalami kegagalan. Kegagalan untuk sebuah penantian berumur 10 tahun, kegagalan untuk membuat diri gw percaya bahwa gulungan cinta dan waktu itu saling terkait satu sama lain. Lewat kegagalan itu, gw menerima jika cinta ya cinta, tak ada kaitannya sama sekali dengan ‘waktu’ yang ditarik, demi timbulnya benih bernama cinta.

Gw jadi ngikik sendiri, menertawakan kebodohan gw, teringat emak gw yang sering menghibur pada saat gw bad mood: ‘tenang ndut, kegagalan adalah sukses yang menghindar’. Hahaha..

Setidaknya sakit hati itu mulai hilang, hati gw mulai membesar sekarang. Sometimes, the person that we love the most, is the hardest to be loved, demikianlah aturan mainnya, kita harus sepenuhnya sadar akan hal itu, supaya nggak tamak, supaya nggak sakit hati. []

Cinta yang Terlupa

Gw melirik ponsel kelabu yang telah setia bersama gw selama 2 tahun ini. Tertera disana: “Frederic Chopin prelude in E minor”. Alunan piano ini kerasa pilu banget di dada. Bahkan angin sore yang silir semilir nggak mampu memalingkan gw dari derasnya rasa prihatin gw saat ini.

Temen kantor gw, Slinky Li, pernah bilang ke gw: “The only thing you can do to a dissaster is acceptance.” Menurut gw, filosofi hidup yang kayak gini nggak maen-maen. Ah, atau lebih tepatnya, gw aja yang terlalu oncom, mengada-ada untuk menggali lebih dalam tentang arti sebuah “acceptance”, acceptance terhadap kesalahan ataupun kebenaran yang berlalu lalang didepan mata kita.

Memang pada dasarnya, salah dan benar itu bukan milik kita. Kita hanya meminjam sebuah kebenaran dari Sang Pencipta. Dan saat kita melakukan kesalahan, itu hanya sekedar pertanda bahwa kita terlalu jauh dari-Nya.

Adalah seorang gadis, let’s call her: Monica. Gw kenal Monica bahkan jauh sebelum kami mengerti arti cinta dan laki-laki. Mungkin 20 tahun lalu. Monica pernah mengalami moment yang luar biasa berat, karena satu-satunya lelaki yang selalu memenuhi seluruh ruang mimpi dan bilik kenyataan hidupnya, melangsungkan pernikahan dengan wanita lain.

Well, sepertinya bagi gw, ini hanya kisah cinta biasa yang bisa aja terjadi dalam kehidupan setiap orang. Bukan hanya Monica, bahkan gw pun pernah mengalami hal serupa. So there’s nothing special about it, right?.

Wrong..!

“Eh Ting (Monica selalu manggil gw: keriting), eh tau ga? Aku lagi di rooftop, kalo mao, aku bisa aja terjun bebas dari sini. You know, after all, pernikahan Baskoro, really a knife in my heart..”

Monica menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Tapi, itu sama aja aku memberi ruang kebenaran atas kesalahan yang dulu aku perbuat. Kamu tau, Ting? Ngga ada yang salah dalam kehidupan ini. Yang keliru adalah ketika kita menyikapi segala sesuatu dengan tidak memperhitungkan akibat dari pilihan sikap kita..”

Monica menghela nafas.

“Waktu itu aku memilih untuk nggak memperjuangkan cintaku ke Baskoro. Karena, aku kira, dengan membiarkan semuanya mengalir, Sang waktu toh akan membuat Baskoro kembali ke aku. Ternyata, aku nggak nyangka, endingnya meleset sejauh ini..”

Monica menutup perbincangan kami. Tanpa kata-kata pemanis, terasa dingin dan sadis.

Monica yang secantik dan seanggun Dewi Jahnawi dari Jonggring Saloka, bisa saja menunjuk ataupun memilih secara acak a very high quality man dari segala penjuru jagad. Tapi entahlah, tampaknya memang harus ada orang-orang tertentu yang ditakdirkan memiliki kisah cinta yang complicated dan berujung tragis.

Monica selalu mencintai pria ini, seorang pria biasa, dengan kepintaran diatas rata-rata. Modal ketampanan pas-pasan dan postur yang slightly bersahaja. Ya, dia Baskoro. Waktu SMA adalah kali terakhir Monica bisa duduk berdua dengan Baskoro. Tertawa bahagia dibawah pohon akasia. Saat itu mereka tak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan cinta. Ya! hanya tertawa dan berbahagia dibawah pohon akasia. Bahkan mungkin, Monica terlalu sibuk menikmati setiap inci smiling curve dan mata bening Baskoro.

Bertahun-tahun selama gw mengenal Monica dan semua pacar-pacar perfecto-nya, tetaplah, selalu ada “Baskoro”. Kata emak gw, first love never die. Tapi, Monica selalu protes kalo gw bilang Baskoro itu first love dia.

Monica selalu bersikap tegar, dia tak ingin lagi menggali perasaan yang sudah begitu teguh untuk menjadikannya merapuh kembali. Tapi sering kali, gw menemukan Monica terpagut begitu lama, memandangi kerlip bintang.

Mungkin dia mencoba dengan sangat keras, untuk mengingat dan mencari smiling curve dan mata bening milik Baskoro disana, sambil sesekali berbisik lirih “I wanna kiss you underneath these stars..” Seolah Monica ingin malam menyampaikan lirih kerinduannya kepada Baskoro.

Kadang kala, Monica pergi menemui Baskoro, frekuensinya pun nggak setahun sekali, tapi mereka bertemu. Dua jam, dalam hening, memandangi layar bioskop yang Monica nggak ngerti isi cerita film yang diputar, karena terlalu sibuk menggali perasaan yang mengalir hangat dalam nadinya. Sibuk menghirup lamat udara beku yang juga dihirup Baskoro. Sibuk menyimpan tiap detik berharga bersama Baskoro dalam setiap laci hatinya.

Setelah pertemuannya dengan Baskoro, anehnya, Monica malah selalu tampak lelah, pancaran sendu matanya seolah berkata, “Ah, hidup memang berat ataukah aku yang tak cukup kuat?”.

But I know, that’s just a retarded question. Dalam hati, gw mengagumi Monica.

Gw nggak nyangka ada makhluk macam Monica yang dapat menyelami arti mencintai lalu mampu memanggul beban cinta yang sebegitu beratnya dengan pasrah. Gw sendiri hingga saat ini, yakin, Monica nggak pernah menitikkan air mata barang setetespun atas pernikahan Baskoro. Walaupun pada kenyataannya, pernikahan Baskoro bagai racun mematikan yang meremas hatinya hingga luluh lantak.

Kehidupan bagi Monica tak lain adalah sebuah pengabdian, pengabdian kepada janji, pengabdian kepada keluarga, pengabdian kepada kerabat, pengabdian kepada kebenaran yang dipegang, pengabdian kepada kehidupan, pengabdian kepada sang pencipta. Juga.. pengabdian kepada cinta.

Pengabdian cinta Monica kepada Baskoro.

Monica paham, bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh ‘takdir kuasa manusia’. Tapi Monica memutuskan untuk menggantungkan diri pada Tuhan saja. Monica bersedia menanggung derita cintanya, asalkan dia rasakan itu memang kehendak Tuhan.

Walau dengan hati hancur, gw tau, Monica berhasil lulus dalam ujian kesabaran yang dihadiahkan Tuhan kepadanya. Monica berhasil lolos dalam ujian ‘acceptance’ yang diberikan kepadanya. Gimanapun, kekayaan diri adalah bukan apa yang dapat kita miliki, tetapi adalah bagaimana kita dapat menjadi apa adanya, sebaik-baik diri kita. Dan jangan pernah lupa satu hal, Gusti Allah mboten sare.

Lagipula, Tuhan itu maha adil.

==================

Ting!
Kapan pulang?
Kamu sehat disana?

kemarin aku main kerumahmu,
dan hebatnya, kamu nggak punya pohon mangga lagi tuh,

hahaha, pohon manggamu ditebang habis sama si Om.
Aku mau ngasih tau, aku mau nujuh bulanan minggu depan,
Si Woro udah nggak sabar pengen adiknya ini cepet brojol.

Cowok lho, Ting. Kamu pasti seneng banget.

Ting, aku mau menamainya Baskoro.

BR,
Monica

==================

Yups! Tuhan itu adil: only those who dare to fail greatly can ever achieve greatly. Monica telah menikah dengan seorang laki-laki, bukan Baskoro. Monica sangat mencintai laki-laki ini dan juga anak-anak mereka.

Tapi walaupun begitu, sepenggalan cintanya kepada Baskoro nggak pernah mati. Bak kisah cinta Bisma Dewabrata kepada Dewi Amba. Sepenggal cinta itulah yang disimpan Monica untuk Baskoro, mungkin Monica berharap, dikehidupan berikutnya, Baskoro adalah miliknya. Karena penerimaan itulah, Monica akhirnya melepaskan Baskoro.

Kisah hidup Monica juga ibarat video clip youtube kiriman Zuber, temen lama gw. Kalo nggak salah video clip itu milik Keroncong Chaos, judul lagunya: Kuburan Cinta. Model video clipnya, walaupun nggak secantik Monica, tetaplah spektakuler. Inti videonya ada seorang pemuda yang ditinggal kawin oleh model spekta tadi, lalu pemuda itu memutuskan mau mengakhiri hidupnya dengan cara nyebur sumur. Tapi nggak jadi, eh malah pemuda itu ambil wudhu. Video klip selesai.

Gw jadi ingat seseorang. Seseorang yang selalu ada disetiap langkah perjalanan hidup gw. Namanya adalah satu-satunya nama laki-laki yang berani gw sebut dan gw ceritakan ke nyokap-bokap gw. For these whole years, nama yang sama, selalu nama yang sama. Tapi, gw cuman mingkem, manyun lantas masuk kamar kalo bokap gw nanya: “Kapan dong dia diajak main ke rumah?..”

Karena gw selalu tau, laki-laki ini nggak pernah mencintai gw. Ironisnya, mungkin dia menikah tahun ini, dan bukan sama gw pastinya. Haha.

Gw tertawa! Ya, gw masih mampu tertawa! Gw harus mampu belajar menertawakan diri gw, karena kata pak ustad di pengajian: makin tinggi kemampuan seseorang dalam menertawakan dirinya sendiri, maka akan semakin meningkat pula kebesaran jiwa mereka. Semakin luas pengetahuan seseorang atas kedunguan-kedunguannya sendiri, semakin matang dan tegar kepribadiannya. Dan gw berharap, gw bisa begitu.

Mirip Monica, pada malam yang legam, kelam, dan hanya ditemani sepenggalan sinar bulan, gw sempat juga terpagut lama memandangi kerlip gemintang.

Lalu mencoba juga dengan sangat keras, untuk mengingat dan mencari wajah lelaki itu disana.[]

Him, the only man with his silly and rainy face.

Lelah Tanpamu

Aku masih mencintaimu meski diatas kertas cinta itu terlarang.

Kusadari bahwa aku telah mencintaimu semenjak dulu. Semua foto dan surat telah terlanjur kubakar, setidaknya agar kita berdua menjadi tenang. Walaupun sesungguhnya hatiku hancur saat api menghanguskan hartaku yang paling berharga itu.

Tetapi gambar, suara, dan bayang jelas dirimu dihatiku.. mustahil bisa kusirnakan.

Pesan ini bukan simbol bahwa aku mengajakmu rujuk dan bisa menerimaku kembali. Aku hanya ingin menyampaikan berita tentang aku. Tentang aku yang lelah.. dan sangat lelah hidup tanpa dirimu.[]

Sakit Sendiri


“Please don’t go, I’d take care of you for the rest of my life..”.

The air is as silence as it might be frozen. The impuls of the moment, nearly kills your nerves. Barely kills you, when the truth is even harder to absorb then a light.

Kalimat terakhir dari James benar-benar membuat gw mikir setengah mati. Namun apa daya, gw dengan teganya pergi gitu aja, bahkan tanpa sepatahpun kata a dieu ke dia. Well, kalaupun gw ingin, I’m in a half way back to Indonesia, dan rasanya gw bukan superman yang dengan oncomnya bisa terbang balik ke negara antah berantah itu.

Gw bahkan nggak kenal James sebelumnya. Gw baru kenal James setelah minggu pertama gw dinyatakan bebas menjelajahi that urban-living city by Boss gw.

Gw ketemu James saat gw sedang melepas ragu dan menikmati keramahan senja Star Avenue pada weekend itu. Akhirnya setelah beberapa test, gw memutuskan kalo James adalah jenis alien yang harmless dan bisa dinobatkan sebagai my new alien friend. Anyway, as he has lived for years there, so bisa dong, doi gw manfaatin jadi tour guide gw selama gw ada di this urban-living city.

Walaupun emang sih, dari pertama ngeliat gw, James nggak pernah lagi memalingkan matanya yang kadang biru kadang hijau dari gw. I know from the first time, he likes me.. a lot.

James always bilang, muka gw unik, mata gw begitu bening dan besar. James juga bilang, gw bahkan nggak perlu pake eye shadow atau Sharma (eye-liner) untuk mempertegas keindahan mata gw. James bilang, aura gw beneran kuat untuk membuat dia nggak bisa tidur setiap malamnya gara-gara gw. Pujian yang menurut gw aneh dan nggak wajar, coz I never being flattered like that before.

Cowok-cowok lokal (made in indonesia) yang bersama gw jarang ada yang bisa sejujur James. And I admit it, lama-lama, gw jadi penikmat kalimat-kalimat manis yang terlontar dari James.

Well anyway, I’d never take everything as a serious matter. Coz gw pikir, semua cowok alien itu memang suka terlalu ekspresif, jujur dan lebay, and fortunately, gw juga tipikal cewek yang perkasa dan kebal terhadap kata-kata perpisahan ataupun rayuan busuk seorang pria, sehingga gw lebih menikmati acara jalan-jalan gw dibanding kebersamaan gw bersama James.

Gw juga percaya pepatah kuno: “Janganlah tergesa-gesa, supaya tidak ada yang terluka” dalam membina sebuah relationship.

Well, anyway, gw merasa kalaupun gw jatuh cinta sama James, this kind of relationship will never work for us. We are just too different. Mata James terlalu biru untuk bisa melangutkan kehangatan cinta yang pastinya nggak berhenti dia kasih ke gw. James terlalu mirip tiang bendera untuk bisa gw pegang pipinya, saat gw pengen mengekspresikan betapa gemesnya gw sama segala jokes yang dia kasih. Rengkuhan James terlalu dalam untuk gw jadikan sandaran saat kami berdua terdiam menikmati malam.

Bayangan-bayangan itu terlalu nggak irrasional, absurd dan impossible buat gw.

Gw selalu beharap dicintai laki-laki seperti halnya James mencintai gw. Gw selalu beharap dipandang just the way I am seperti halnya James menerima gw apa adanya. But once it happened to me, it just not right, everything went so wrong.

And finally, I hurt James so bad. Apalagi ketika dalam kalimat penolakan gw, James berujar: “Sungguh, kupikir semua akan menyakitkan buatku untuk sekedar mengingat dan menikmati senyumanmu dari jauh”

Hingga kini tiap malamnya, gw selalu melayang-layang, bermonolog, berdialog intensif dengan Tuhan. Ibarat Anritsu Wiltron, gw menerka-nerka apa yang salah dalam diri gw, nggak lupa memohon ampun sedalam-dalamnya kepada Tuhan atas segala luka dan kekecewaan yang gw goreskan didada kiri James.

Mencintai pada akhirnya bukan menjadi pilihan, melainkan sebuah keputusan. Itu merupakan suatu rumusan kesedihan yang tak terelakkan.

Gw harus bisa menata kembali perasaan gw yang juga hancur karena memikirkan kepedihan James. Gw harus bisa belajar menyederhanakan arti cinta, dan menerima segala kekacauan yang gw buat ini sebagai bentuk pertanggungjawaban gw.

Walaupun dalam hati kecil gw, gw sempat bersumpah, jika suatu saat, gw ketemu another “James”, gw akan mulai belajar mensikapi perbedaan itu searif mungkin. Sehingga nggak akan ada lagi yang merasa sakit atau disakiti. Karena, sumpah lo, menyakiti orang lain itu terasa lebih menghimpit dan menyesakkan dada lo sendiri.[]

Sebayang Pilihan

Kopi lampung dalam genggaman pria berbahu seksi ini masih penuh mengepul. Nggak heran lah, karena baru lima menit yang lalu, bubuk hitam (yang gw campur dengan sedikit gula saja) gw tuangin air super mendidih. Teringat wejangan emak gw: “Kopi lo nggak akan berasa sempurna, tanpa tempaan air mendidih yang sangar dan bergolak dengan keras..”

I’m not a good Barista though, karenanya setiap baris berselang, gw selalu menanyakan hal yang sama kepada pria ini: “kopinya NGGAK enak ya?”. Pria tampan ini cuma mengurai sedikit senyum jahil dan memberi anggukan tanda setuju, walaupun gw tau, Re selalu menikmati kopi jadi-jadian buatan gw itu.

Biasanya kalo kangen, Re memang suka tiba-tiba datang ke rumah, tanpa berita dan pemberitahuan apa-apa. Yang bikin gw takjub adalah bahwa ternyata Re masih juga hobby memasang tampang polos sambil berseloroh nggak jelas: “Tau ga? Gw sebenernya males ketemu lo, tapi anehnya, dari kemaren gw ngerasa kalo lo ngerasanin gw, ya daripada lo nanti kenapa-kenapa, gw terpaksa deh bela-belain kemarih, takut lu kangen gituh sama guah…”

Biasanya gw cuma ngacak-ngacak rambut keritingnya sambil bilang: “Onyon…”.
Malam itu Re masih memakai kemeja kerjanya. Celana stright black pipe dipadu dengan setelan kemeja lengan panjang junkies dominasi hitam, yang dibalut garis-garis tipis vertikal warna bronze, silver, dan orange. Terlihat manis dan so much sophisticated. I always like him when he being like this. He simply like a chocolate candy bar: delicious, melty sweet but strong and can be the best healer you can get, ever!. Hmm.. he is so much like a tree, he shelters me, and I lie in his shade.

Tapi cerita ini bukan romansa cinta recehan. Beneran, bukan!

Gw jadi kangen gaya bicara and tampang jeleknya Mas Lilik (senior LPM kampus) jaman masih suka memprovokasi gw untuk jadi ‘pemberontak’ di kampus (kebetulan waktu itu gw masih mahasiswa nan junior lagi polos yang gampang banget dikibulin).
Hmm.. (sedikit menyunggingkan bibir) segala diskusi kami, biasanya, memang jadi inspirasi menarik buat gw untuk berimajinasi dibawah rintik hujan malam yang menjadi satu-satunya pengantar gw pulang (ke kostan..).

Tapi malam itu kami nggak ngebahas soal kampus, kami malah ngebahas suatu kalimat pendek (atau tepatnya retorika) seputar: menjadi yang sempurna dalam suatu kesederhanaan dan menjadi yang sederhana dalam satu kesempurnaan.

Sampe sekarang gw masih berpikir dan membandingkan, manakah yang sesungguhnya lebih baik?
menjadi yang sempurna dalam suatu kesederhanaan atau menjadi yang sederhana dalam satu kesempurnaan?

Menurut pendapat orang-orang (terutama wanita), Re adalah sosok pria yang luar biasa (mendekati) sempurna. Tampan, pintar, lucu, dan sangat menggemaskan. Jujur aja, boong banget kalo gw nggak sampe suka sama Re. But I felt so wrong, so much in psychotic and weird feeling: I might like him (very much), but I just don’t fall for him. No love. At all.

Re yang tampan ini nggak bisa bikin gw singit bak layangan kobat kabit dilangit saat gw diam-diam menikmati senyumannya dari jauh. Re yang pintar dan cerdas ini juga nggak bisa bikin gw ngerasa mlompong saat hari-hari gw kosong. Re yang lucu dan kocak ini boro-boro bisa bikin gw memutar otak kiri untuk keep nyuri atensi.

Well intinya, Re yang (nyaris) sempurna, nggak bisa bikin gw.. ingin memiliki dia selamanya, sampe-sampe yang kalo kata chairil anwar: “dengan cerminpun ku enggan berbagi”.

Berjuta perasaan kosong dan aneh ini betul-betul menyekap dan menyengat imaji. Namun, saat batas terjauh nurani gw mengembara, menjadi sejingga, sewarna, bak Bunglon, then I found a reason: ketertarikan adalah bukan bentukan dari cinta.

Bukan semata-mata kesempurnaan rupa ataupun raga (pada dirinya) yang membuat gw jatuh cinta. Gw rasa ada misteri lain. Misteri lain ini sangat sederhana, bahkan kita sendiri nggak tau apa dan bagaimana itu. Namun se-absurd apapun rasanya, tetap dapat membuat kita merasa sempuna (because, he needs me). Hingga, gw yang sederhana, menjadi penyempurna buat Re. Yang sempurna dalam suatu kesederhanaan.

Tetapi pada masa antah berantah, gw juga pernah jatuh cinta sama pria biasa. Pria bertampang sederhana, lempeng, dan nggak begitu tampan. Garing, mengibur, kadang-kadang nggak gitu lucu. Orangnya walaupun pintar, tapi dia konservatif, kaku, stright, kacrud sumicrud, dsb dsb. Yet again, yang sederhana dalam satu kesempurnaan.

See? Keduanya sama-sama punya kata sederhana dan sempurna. So, is it still called a choice? Of course you still can choose, but not among choices.

Choices is a matter of good and bad. Sama halnya dengan sebuah impresionis instan, yang bahkan, kita bisa saja mengalami ketersesatan intelektual, kultural, spiritual, bahkan ketersesatan teknis untuk hal-hal yang sangat sederhana.

Well, we simply can choose our destination, and the destination itself is not a choice, it¡¦s our way through life. Jadi? Bagaimana? menjadi yang sempurna dalam suatu kesederhanaan atau menjadi yang sederhana dalam satu kesempurnaan? []

Another Broken Story

Bola mata gw nggak bergerak, terpancang jarak. Udah dua menit ini gw nggak mecahin rekor this skimming stone (lempar batu di air). The best rekor masih dipegang Abby, enam kali pantulan diatas air. Amazing!

Sebenarnya dari tadi gw dan Abby sama-sama lama terdiam, hanya menabung dan menimbun arogansi kami yang dibatasi oleh himpitan ruang rindu yang tersembunyi.

“Look Yoem, cinta itu universal. Hanya saja.. kita mungkin mencarinya dengan cara yang berbeda”.

Abby membuka kesunyian tak berujung itu.

“I am who I am, and I’ll suffer for that”. Bola mata gw tetap nggak bergerak, memandangi gumpalan awan senja yang pulang berarak-arak. “I love you so much ’till it hurts, Bi. You always know it”. Lanjut gw pelan dan ragu-ragu.

“Then why you wanna leave me?!”. Abby mulai nggak sabar menanggapi gw dan segala tembok kekakuan yang sengaja banget gw bangun.

“I really don’t know I can hold it.. or not.. I’m loosing you”. Gw mulai nggak bisa benahan buncahan rasa itu. Sayang kalimat terakhir tadi cuma ada didalem hati gw aja. Di depan Abby gw cuma bisa sedingin es.

Pipi gw basah, sebasah mata Abby saat dia cuma bisa mengumpat sekuat-kuatnya dan menendangi alang-alang rendah yang nggak bersalah. He’s so demolish.

But.. so am I.

Dan bisa ditebak, kami cuma diam disepanjang dua setengah jam perjalanan pulang kembali ke Ibu kota. The silence is deafening. Believe me, it felt like forever.

Caramel Macchiato, perpaduan halus antara pahit ekspreso dan kelembutan wangi susu yang ringan namun kuat, sekuat keyakinan membuat mimpi menjadi sebuah manifesto yang selalu nyata dan ada, sekuat keyakinan gw untuk mengenyahkan Abby dan cintanya dihati gw.

Tiga hari berselang sejak the skimming stone day. Hari dimana keputusan gw menjadi sesuatu hal yang sangat elusive (sukar dipahami) dan extravagant buat Abby. Tapi itu gw dan dunia gw. Gw cuma bersikap sedikit lebih protektif ke diri gw, ke hati gw.

But you know what? Actually, you cannot get your real love if you won’t surrender into it. Pasrah itu sebenarnya jalan keluar yang paling pas. Tapi buat gw, sulit banget untuk kehilangan orang yang bener-bener berharga buat lo. Memang, kenyataannya nggak semua perempuan sepengecut gw. Mungkin ini salah satu fakta kenapa icha selalu bilang “lu kan bukan cewe rum?!”.

Emansipasi, tidak berarti melakukan segala kegiatan yang “mirip” dengan yang dilakukan pria. Emansipasi bisa juga berarti: bisa menjaga diri sendiri. Mungkin, bisa jadi gw terlalu over dalam hal menjaga diri gw sendiri, sampai nggak sadar, sudah sedemikian dalamnya menyakiti orang lain. Tapi gw bukan batu, gw juga masih punya some tears to shed.

Happy Salma: Menurut Anda, perempuan itu yang penting cantik atau pintar?
Pramudya: Bagaimana dia membentuk dirinya saja. Belajar hidup.

Angan gw terus melayang, membayangkan jawaban sederhana Pramudya yang membelit paru-paru sekaligus memaksa gw untuk mengendapkan pikiran.[]

Kedewasaan dalam Beragama

Siang hari, setelah makan siang. Gw, Icha, Cokor naik ke atas, deket Helipad. kami ngeliat-liat koneksi microwave yang selalu bermasalah setiap kali mati lampu. abis itu duduk-duduk di tangga. ketawa-ketawa, cerita-cerita garing.

Gw: Gyahahaha iyh enak ya kayak gini bertiga ketawa-ketawa, sama sekali nggak kerasa kalo kita beda.

Icha: Iya beda, Tuhan gw ganteng, sementara Tuhan lu nggak keliatan.

Cokor: And Tuhan gw banyak..

Kami bertiga: [ngakak bersama]

Memang benar kata mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Syafii Maarif: “Kedewasaan dalam beragama itu terwujud dalam sikap toleransi dan menghargai”.[]

Laki-laki dibawah Hujan

Suatu sore, sambil sesekali memetik dan memeluk Kalyani, gitar tua gw, gw menerawang. Hari ini sekitar jam 12:16 pagi, gw menerima imel dari seorang kawan lama, Mas Tirta. Subjek imel masih sama, ngebahas ulang tahun gw, tapi isinya luar biasa merisaukan hati. Masih tergambar jelas bait terakhir di imel yang ditulis mas Tirta itu.

Ultimus bukanlah soal heroisme atau kontroversi, jangan tanya apa yang terjadi di sana. Ada buku-buku di sana yang menunggu untuk dibaca dan kita perbincangkan bersama. Ada tanggung jawab bagaimana buku-buku itu bisa lebih berharga dari secangkir kopi dan sebatang roti di kafe.

Intinya ya, bercerita seputar Toko buku Ultimus dan pembubaran sebuah diskusi tentang Marxisme ditempat yang sama. Yang turut disertai aksi anarkis dan diakhiri dengan penyegelan toko buku tersebut. Tapi bukan itu yang bikin hati gw kebat-kebit. Sudah terlalu sering nama itu disebut.
Disebut lagi.. lagi.. dan selalu lagi-lagi disebut, dalam setiap artikel yang gw baca dan disetiap perbincangan yang gw denger tentang insiden Ultimus. Bilven. Betapa nama itu begitu familiar di kepala gw. Di imel itu pula, terdapat potongan wawancara Mulyani Hasan (kontributor sindikasi Pantau di Bandung) dengan Bilven,

Pada 16 Desember 2006, saya menemui Bilven Rivaldo Gultom di sebuah kafe. Lelaki berkulit kuning langsat ini belum genap 30 tahun. Ia berusaha gembira, meski hatinya gelisah.

“Saya belum merasa bebas. Berdasarkan informasi dari orang-orang terdekat saya, ada banyak orang tak dikenal mencari-cari saya,” katanya. Sebentar-sebentar ia melihat layar telepon selulernya. Bunyi pesan yang masuk menyaingi suara hujan.

“Saya tidak mengerti tuduhan mereka. Mungkin saya dituduh komunis karena saya miskin,” katanya, lagi.
Secangkir kopi panas pesanannya tiba.

“Saya dan kawan- kawan hanya ingin mengembalikan filsafat Marx pada posisi terhormat sebagai ilmu filsafat yang layak dipelajari. Karena ilmu-ilmu sosial yang ada tidak bisa menjawab beberapa persoalan yang pokok yang berhubungan dengan kehidupan,” ujar Bilven.

“Selama ini, ajaran Marx banyak digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk merebut kekuasaan. Itu yang tidak saya sepakat. Karena itu akhirnya ajaran Marx juga ikut diberangus.” Ia terus bicara.

“Revolusi itu akan terjadi pada tingkat pemikiran. Indikatornya, tidak ada lagi pemberangusan, tidak ada korupsi dan orang-orang akan menggunakan akal pikirannya berdasarkan logika bukan lagi menggunakan hal-hal yang abstrak,” lanjutnya.

Bilven lolos saat Permak (Persatuan Masyarakat Antikomunis ) melancarkan penangkapan. Sejak saat itu ia tinggal berpindah-pindah. Namun, ia ternyata belum tenang. Selama tak ada jaminan dari polisi, anarki model Permak bisa terulang sewaktu-waktu.

Ah, Bilven. Freedom is like money, some other people might have it more than other. Bilven, dulu, selalu menyapa gw dalam kalimat sama: Apa kabar, Nona? Sambil akhirnya berlalu. Masih dengan topi panser hijau (gw menyebutnya begitu) dan jaket hitam kesayangannya yang lusuh dimakan waktu.

Gw nggak ingat pasti kapan mulai kenal dia. Yang pasti, wajahnya selalu ada disetiap diskusi yang gw datengin. Waktu warung rawon bude di kampus kami belum pindah ke sisi timur kantin, gw, mas Bintang, mas Wahyu, dan Bilven sering berbagi lembaran koran bersama disitu, berusaha memanfaatkan waktu luang, sambil menunggu jam kuliah. Terkadang bertukar joke seputar berita koran yang bikin kami ngikik setengah mati sendiri.

Bahkan dulu, saat Bilven masih ditengah usaha meraih gelar masternya dari ITB, dia masih suka nongol di kantin gw, melakukan hal sama, memesan secangkir kopi, masih ditemani topi panser dan jaket hitamnya, pernah sekali itu, saat senja bergerimis, gw ngeliat Bilven dari jauh.Menggenggam sebuah koran, dan sedang berpikir untuk menerobos hujan.

Hal yang dia lakukan benar-benar diluar dugaan gw, bukannya menjadikan koran itu sebagai “payung” agar air hujan sedikitnya tidak membasahi kepala, eh, malah koran itu diselipkan dibalik jaketnya, dan dibiarkan air hujan yang dingin itu memeluknya dalam diam.

Damn, dia lebih mencintai koran dibanding dirinya sendiri, Sinting!

Terakhir ketemu, awal tahun 2006. Waktu itu gw, Icha, Firza, Mas Lilik, dan Mas Tirta mampir ke Ultimus. Entahlah.. saat itu gw merasa itu kali terakhir gw bakal ngeliat Bilven. Gw sempat ngambil foto mas Lilik dan Bilven yang berangkulan dengan akrab. Sayang, waktu itu gw nggak punya nyali lebih banyak untuk ngajak Bilven foto bersama.

Gw masih ingat, sebelum itu, kami juga pernah ketemu, waktu itu ada acara diskusi tentang puisi dan kesenian. Kalo nggak salah, di pusat kebudayaan Perancis, Bandung. Usai acara, gw ngeliat, eh ada Bilven, dia juga ngeliat gw. Dan dengan gaya yang persis sama seperti yang lalu-lalu, dia tersenyum, “Apa kabar, Nona?” Katanya singkat.

What a deadly smile on earth, ever!

Gw selalu mengagumi semua ciptaan Tuhan. Tapi gw sangat bersyukur jika gw bisa, setidaknya sempat, bertemu dengan orang-orang kayak Bilven. Muda dan Idealis, berkarakter, cerdas, pekerja keras, cinta pembaharuan, jujur, penuh semangat, ramah, dan dapat memandang hidup dari sisi yang berbeda.

Gw selalu memuja para aktivis yang nggak pernah mau disebut sebagai aktivis itu. Bagi gw, mereka
adalah manusia yang berguna buat pembaharuan. Karena ide mereka nggak pernah berhenti ataupun mati. Kalaupun gw diberi kesempatan untuk memberikan cindera mata, Gw mau kasih potongan puisi Widji Tukul (Tujuan Kita Satu Ibu) buat Bilven:

Kita tidak sendirian
Kita satu jalan
Tujuan kita satu ibu: pembebasan!

“Ding!!!”.

Ada SMS masuk di ponsel gw. Lamunan gw buyar, meretas seperti air hujan yang membasahi Bilven hari itu. Gw bangkit meraih ponsel. Ternyata dari seorang mantan aktivis lain,

“Lagi dimana? Sedang apa? Sama siapa? Kepalaku pusing, baru pulang. Dari tadi pagi ikut training partai. Aku mau berangkat ke Norway.”

Gw letakkan ponsel gw tanpa membalas SMS-nya.[]