Farewell Pai Lian Bang


Per akhir Januari ini, gw positif pindah ke Jakarta tercinta kembali dan meninggalkan Palembang beserta es kacang merah, kueh 8 jam, sarikaya dan mpek-mpek lenggang kesayangan gw. Biasa deh, gw pindah karena (lagi-lagi) urusan kerjaan.

Gw, pada akhirnya, secara sadar, memutuskan untuk stop dari project ini. Kali ini, urusan menjaga kestabilan jiwa dan kewarasan otak betul-betul udah mengalahkan urusan slip gaji.

Masalahnya ngga sekompleks atau sesimple yang dibayangkan. Misalnya aja simple seperti cuma sekedar masalah, “ah projectnya ribet, males ah”. Oh believe me, I won’t quit because of that. Karena gw hobby banget ngelurusin benang kusut.

Atau alasan gw berhenti bukan juga karena problem yang demikian kompleksnya, seperti contoh adanya beberapa task force besar dengan target deadline sama dan semua dilakukan sekarang juga tanpa trial error atau exercise dulu. Itu tantangan buat gw, dan gw suka tantangan. Jadi ngga mungkin gw berhenti karena itu.

Dan di project gw sekarang, boss gw lose communication dengan gw, dalam artian, kami berjalan pada misi dan visi yang berbeda. Dia pada misinya mendelivery project dengan lempeng dot kom, dimana tanpa dia sadari di kanan dan kirinya, semua orang teamnya bergelimpangan, gugur di medan perang. Walaupun pada akhirnya misal, dia masuk dalam target delivery yang telah ditetapkan, but at that final victory line: he’s alone, coz all his men are dead already.

Bukan berarti gw ngga berorientasi pada delivery project. Itu tujuan utama gw. Tapi, believe me, manage orang itu ngga kayak sepotong kueh (piece a cake). Disatu sisi lo harus deeply understand about technical, maintain quality delivery lo, while disisi lain, lo juga harus mikirin kesejahteraan anak-anak buah lo. They can be paid less than us, but they don’t deserve being happy and comfortable with the war zone LESS than us.

Well, bertahun-tahun gw kerja, gw amati, ternyata gw selalu betah alias stay long term di suatu perusahaan cuma karena urusan komunikasi yang lancar sama atasan. Dan disini, gw nggak dapet trust itu dari boss gw sendiri. Lo bayangin, setiap kali lo mencoba berkomunikasi sama dia, hasilnya selalu: failed.

Kalimat-kalimat negatif itu selalu dilontarkan ke gw, as I always reviewing what the hell happened with myself that he hated me so much, I began to wondering, is it he who had problems with how to communicate with people, or me?. Yah memang garis merahnya: adalah sangat menantang saat lo mencoba berkomunikasi dengan orang yang sulit untuk diajak berkomunikasi.

Gw ngga bermaksut rasis, boss gw ini Indiahe. Totally ass-licker and seperti kata senior kampus gw yang juga kerja di project yang sama (tapi beda region) “your boss, that guy, should go home to Mumbai and play some movie. He’s not suitable here.” Ya itulah, everybody can be a boss, but hell yeah, not everybody can lead a project.

Dulu, dulu banget, gw punya boss namanya Ricky Kwok (Sumpah, dia ngga sodaraan ama Mulan Kwok). He’s cantonese, galak dan judesnya minta ampun, tapi baiknya juga minta ampun. Dia bisa bilang “I will kill you!!” Ke gw, tanpa gw merasa terintimidasi. Instructions dari dia: J.E.L.A.S, dan otomatis delivery gw juga J.E.L.A.S. Komunikasi kami terjalin harmonis dua arah. He listened to my problem, and also I listened to his instructions very well. Seperti kata dia waktu itu: “In a rush and competitive match, if you want to know how to play a good ball, you have to know how to get the ball, and pass it to your team.” Ya of course kalo nggak, kita bakal kalah.

Banyak kata-kata mutiara Ricky yang gw jadiin panduan gw untuk nge-lead beberapa project gw belakangan ini. Well, as far as I know, the target always been achieved. Semua user gw satisfied ama gw. Gw pun masih suka skype-an sama si Ricky ini.

Setelah itu, gw juga punya boss yang lain. Namanya Mr K. Dia senior di kampus, temen maen juga, temen diskusi, eh tak dienyana (halah) tau-tau gw ngikut kerja ama dia.

Mr K ini orangnya stright forward. Dibahasakan kembali sama dia: sharp-tongue. Walaupun sumpah dah dia ini ya, udah galak, judes, suka teriak-teriak dan kadang suka ngga jelas (abis marah trus nyanyi-nyanyi), dia itu visi misinya jelas, maunya banyak, konsepnya padat. Dan orangnya simple dan “pokoknya jadi”, ngga ribet ama proses. Kalimat dari dia yang paling gw inget adalah: “Gw tau banyak orang yang nggak suka ama gw, tapi kan gw nggak bisa entertain semua orang. Jadi ya gw deliver apa yang bisa gw deliver.”

Mr K ini juga care sama anak buah. Karena dibalik apatisme dan ke-bodoamatan dia sama tekanan kerjaan, dia itu orangnya nggak tegaan. Dia selalu punya jalan keluar yang “win win solution”-lah intinya. Sampe sekarang, walaupun udah nggak satu perusahaan, gw masih suka contact and nanya nana nini sama dia.

All project is tough, and it is our obligation and our challange to finish it. But we have to be supported by our superordinate. Our boss. Kalo nggak kaya gitu, ya kayak gw sekarang, mati gaya, mati kutu, mati skak (skak mat – halah), dan akhirnya nggak betah kerja deh disini. Oleh karenanya, if you wanna be a good leader, you must have high capability to communicate with your subordinate. Other ways, you’ll loose. Either loose the project, or loose your good man. Sayang kan, kalo suatu project kehilangan orang-orang talented cuma karena bossnya bego. Semoga gw nggak setolol itu kalo kapan-kapan gw jadi boss. Well, just try to your best for being a “good” leader, not only a “good” boss. Pahalanya Insya Allah gede.[]

a Work Attitude

Semoga menjadi inspirasi untuk para engineer indonesia.

Belakangan ini Boss gw kasian sama gw, katanya makin hari, makin banyak kerjaan yang dibebankan ke gw, dan semuanya itu menuntut gw untuk bisa lebih pintar memotong-motong konsentrasi gw seperti puzzle, lalu merangkainya kembali secara tepat di detik-detik terakhir.

Tapi anehnya, gw kok malah berasa makin enteng, nggak ada kerjaan. Gw nggak ngerasa ribet ataupun pusing kayak dulu-dulu lagi. Gw pun ngerjain semua kerjaan itu (mengutip kata Will: Those Hell Jobs) lebih santai, tapi tepat waktu dan semua pihak senang. Gak ada tekanan sama sekali, kayaknya fun-fun aja gitu.

Hahaha (sembari berdiri dengan dua kaki terbuka lebar, tangan di pinggang lalu tertawa puas, mirip adegan di film-film kartun), Gw berkata dalam hati: “Makin keren aja gw ini!”. Abis ini dilempar bola bowling sama icha kayaknya. Hehehehe.

Dalam kondisi yang luar biasa ruwet gini, entahlah, gw malah menemukan suatu kelegaan tersendiri. Gw makin merasa berjalan ke arah titik terang dalam mencari some way out to chase a freedom to liberate my own self.

Ya tapi kan nggak dalam waktu sedetik, ting, lantas gw bisa secara otomatis beradaptasi dengan demikian cepat. Freedom isn’t free it self! you have to work hard to free your freedom, dude.
Dalam perjalanan hidup, gw selalu mencoba meraba peta implisit yang dibisikkan Tuhan melalui barisan tentara langit-Nya. Sehingga apapun kondisinya, gw sepertinya harus menemukan “the thin red line” alias pemaknaan yang bergolak didalamnya terlebih dulu, sehingga apapun yang terjadi, mau itu baik ataupun buruk, gw bisa lebih mensyukurinya aja.

Begitu juga gw dalam hal memaknai arti “pekerjaan”.

Kita harus bisa bekerja berdasarkan PASSION. Maksutnya ya.. being happy dengan apa yang kita kerjakan plus (kalo bisa) punya lingkungan yang juga mendukung. Pokoknya kata mbah gw, just don’t waste your time, pokoke make your works meaningful deh! (Haiiyah, mbah yang mana neh???.)

Mengutip dari blog gw sebelumnya bahwa: perbedaan mendasar antara pola pikir pekerja Indonesia dan pekerja yang bukan made in Indonesia, jelas terlihat pada cara dan apresiasi mereka mempertanggungjawabkan pekerjaan secara moral, terutama untuk dirinya sendiri. Yang gw amati, kebanyakan orang Indonesia lemah pada sisi Management, terutama Self Management (walah MADESU). Selain itu kita juga lemah dalam hal mengkombinasikan analisa dan intuisi.

Lalu nggak ketinggalan masalah keterampilan multibahasa, coz secara nggak langsung bahasa terkait dengan how to maintain your own personal communication (to make a good relationship). Kan kita jadi bisa iseng-iseng ngajak mereka berdialog cuma buat nyuri work attitude mereka yang menurut gw top markotop bin jos markojos buanget. (Ini untungnya kerja di perusahaan asing internasional).

Pada suatu sore, Si Ricky bilang ke gw, “Arum, you should deeply understand one basic thing before you do any kind of hell works: Technical skill can be gone, but one thing would never gone.. it’s attitude (work attitude maksutnya), coz it’s the only way to tackle the world and help you to make a better life”.

Well, emang sih not in-a-hell-of-a-life you can reach any greatest achievement in your life before you can form and keep developing your work attitude. Dan dua hal yang punya “very significant role” terhadap pembentukan dan pengembangan work attitude, yaitu: Self Esteem (Rasa Percaya Diri) dan Good Habit (Kebiasaan Baik).

Self Esteem. Rasa percaya diri disini bukan berarti sama dan semakna dengan kePEDEan para Ababil (ABG Labil), melainkan lebih kepada: rasa percaya diri pada keunggulan pemikiran kita dan pada kemampuan kita untuk berpikir. Sehingga kita juga memiliki rasa percaya diri tentang mampu atau tidaknya kita menanggulangi tantangan dasar kehidupan, yang berdampak juga pada timbulnya kemampuan dari dalam diri kita untuk merasa bahagia dan menghargai diri sendiri (adanya peningkatan emotional quotion-kecerdasan emosi).

Atau secara mudahnya gw gambarkan sebagai: kepercayaan diri bahwa kita MAMPU untuk belajar, membuat pilihan dan keputusan, dan mengelola suatu perubahan.

Pekerja lokal jarang mau berpikir filosof kayak gitu. (Well jujur aja, gw kalo nggak ketemu Ricky juga pasti NGGAK akan tau bagaimana mengembangkan self esteem ini dari core terdalam diri gw). Pekerja kita cenderung nggak perduli terhadap segala perkembangan self esteem mereka karena dibutakan oleh materi. Money Rules, money rules, dan money rules melulu.

Tapi bagi gw, gimanapun, idealisme kerja akan TETEP sebanding sama materi. Pekerja yang memiliki kebebasan untuk bersikap kreatif, sisi baiknya akan muncul. Dan dalam naungan company yang terbuka dan adil, pekerja tersebut akan mempunyai nilai tersendiri. Secara otomatis, pencapaian itu AKAN diberi imbalan dalam hal keuangan. Dan nggak lupa sekaligus bonus bagi jiwa si pekerja tadi, karena apresiasi yang diberikan perusahaan atas nilainya itu. (Nilai bersifat abstrak dan nggak bisa dicairkan dengan uang.)

Habit (Kebiasaan). Berikut adalah beberapa kebiasaan yang gw liat emang fundamental banget dalam usaha pembentukan work attitude:

Pertama: Kebiasaan hidup dengan sadar. Mengambil kutipan Jack Welch of GE Company: “Rasa percaya diri, berterus terang, dan kemauan sungguh-sungguh untuk menghadapi kenyataan, meskipun hal tersebut sangat menyakitkan adalah inti dari hidup dengan sadar.”

Kedua: Kebiasaan menerima apa adanya. Dengan menerima diri kita apa adanya, kita akan lebih cooperative dan down to earth (semua perasaan defensif dan keinginan untuk tidak mau menerima kritik ataupun ide-ide yang berbeda akan jauh lebih berkurang). Sehingga kita bisa menerima banyak hal baru (yang ternyata tanpa kita sadari positif) tanpa menimbulkan konflik.

Ketiga: Kebiasaan bertanggung jawab terhadap diri kita sendiri. Kita adalah penentu pilihan dan tindakan kita sendiri. Untuk itu kita juga bertanggung jawab atas kehidupan, ketentraman dan pencapaian tujuan kita; dan jikapun kita membutuhkan bantuan orang lain untuk mencapai tujuan itu, kita harus memberikan sebuah “Nilai” sebagai imbalannya. Itu bentuk tanggung jawab kita. (Secara gamblang gini: gw mau hidup cukup, dan untuk mencapai tujuan gw itu, gw butuh kerja, otomatis ada imbalan yang harus gw kasih ke perusahaan yaitu: a value atau sebuah nilai dari diri gw.)

Keempat: Kebiasaan mempertahankan hak. Gw rasa ini lebih merupakan sikap kita untuk membela keyakinan dan pendirian kita menurut cara-cara yang memadai dan, jangan lupa, dilakukan pada situasi yang tepat.

Kelima: Kebiasaan hidup dengan tujuan. Hidup dengan tujuan itu sangat penting dan nggak mudah. Kita harus mampu mengidentifikasi sasaran (baik jangka pendek dan jangka panjang), lalu memprediksi tindakan yang diperlukan untuk mencapainya, belum lagi usaha buat ngatur perilaku kita untuk memperoleh sasaran ini (disiplin oy!), ditambah lagi perlunya memantau tindakan-tindakan yang udah kita lakukan untuk meyakinkan bahwa apakah kita udah berada pada “track’ yang benar apa nggak, dan terakhir, jangan lupa untuk memperhatikan hasilnya apakah udah sesuai sama goal kita atau belum (semoga aja udah, karena kalo belum, lo harus feedback lagi keatas.. Capeee deyyh).

Keenam: Kebiasaan memiliki integritas pribadi. Jadi gini, integritas pribadi adalah hidup sesuai dengan apa yang kita ketahui, apa yang kita nyatakan, dan apa yang kita lakukan; berkata benar, menepati janji, memberi teladan tentang apa yang kita yakini, dan memperlakukan orang lain dengan adil dan murah hati adalah beberapa langkah kongkritnya.

Anjrit, banyak amat sih gw nulis? Hahaha kesurupan lagi kayaknya.

Ya terlepas dari kesurupan atau nggak, pokoknya, gw cuma ngingetin, Lo melakukan sesuatu hal, bukan karena hal tersebut menyenangkan buat Lo (meskipun memang demikian). Dan Lo melakukan sesuatu hal, bukan karena secara politis memang benar. Tapi Lo melakukan sesuatu hal tersebut karena Lo harus sangat percaya dan meyakini bahwa antara ekspresi kreatif seorang pegawai dengan suksesnya suatu perusahaan (diucapkan dengan penuh intensitas) sangat-amat-terkait-erat.

Dan untuk mencapai kebesaran diri lo sendiri, mulailah dari tempat dimana lo berada sekarang, gunakan apa yang lo punya, dan lakukan apa yang lo bisa. Just remember, when you’re high on a mountain you cannot be anything but what you are.[]

Idealisme dan Sebuah Kontroversi Realitas

Weekend days. Tadinya gw niat mau makan-makan di Solaria Plaza Semanggi karena BJ, Senior Manager Finance gw, ultah. Tapi rencana itu gagal. Gw “diculik” Ricky (Boss gw), buat ngobrol seputar kerjaan. Katanya sih cuman 5 menit, tapi buset.. (jangan tanya deh..).

Ricky tuh best friend gw di kantor, walaupun beda negara, bahasa dan budaya, dia concern banget sama gw, secara emang dia dulu yang interview gw waktu recruitment gitcuu. Intinya gw sama Ricky diskusi masalah “work idealism and reality controversion”.

Why? Karena untuk mencari pekerjaan yang fit pada kondisi apapun, kita selalu dijejelin sama dua pilihan yang paling common: Money (Reality) atau Work Passion (Idealism).

Money. Nggak mungkiri, kita sebagai manusia cenderung ingin pemuasan materi, yang kalo kata Lia: “Realistis aja nyet, semuanya tuch dibeli pake uang, Money rules! Belom lagi kalo ntar lo udah jadi nyokap-nyokap, kebutuhan banyak, ini itu, iya kalo suami lo ntar pejabat negara yang suka korupsi, lo tinggal sante. Makanya rum, mumpung masih muda, kita harus bisa terus naikin rate sallary kita.”

So??

Kita pasti nggak akan berenti nyari kerjaan yang ngasih gaji pualing gede, kalo bisa: sekian (3 digit) juta perak tanpa dipotong pajak. Haiyyah.

Work Passion. Kadang, ada orang yang nggak ngerasa fit atau cocok sama kerjaan dia sekarang, ConSo (Contoh Soal) kayak temen gw si Riza. Riza kerja di salah satu Bank milik negara yang ngasih gaji & tunjangan gila-gilaan. Tapi apa? Dia nggak puas!! Lha wong dia anak teknik bergelar engineer, tapi kok kerjaannya dealing sama finance (kalo kata gw sih why not?). Yaa ada semacam sesuatu yang ketahan dan undescribed didalam diri dia yang nggak terima kalo dia harus kerja di Bank.

Terakhir ketemu, Riza bilang ke guah, “Yoem, gw mau resign aja deh dari sini, gw nggak betah kerja di Bank. Gw tuh Engineer IT, kalo gw tetep kayak gini terus-terusan gw ngerasa ada puzzle pencarian diri gw yang missing.”

NAH! Bingung kan lo?

Ya walaupun kadang, gw juga menemukan ada beberapa orang naif yang dengan sangat tololnya bilang (yang ini gw nggak mau nyebut nama): “Ya elah Rum, plis deh, kenapa nggak cari kerjaan yang cocok trus ngasih gaji gede? Kayak susah aja nyari kerjaan, Jangan dibikin ribet deh..” (Gw sih waktu dia ngomong gitu cuman cengar-cengir aja, sambil dalem hati mbatin: “Ampuni aku Tuhanku, wahai yang maha pengasih, maha penyayang lagi maha pengampun, jika sampai terucap ataupun terdesir sumpah serapah dan harapan dalam dadaku tentang seburuk-buruk keburukan akan datang kepada orang ini..”

Woy!! Balik lagi dungs ke gw & Ricky tentang masalah idealisme dan sebuah Kontroversi realitas.
Di perbincangan itu, gw bilang ke Ricky kalo selama pengamatan gw setahun ini, ternyata ada dua type pekerja. Ada beberapa orang yang bekerja untuk kepuasan diri, tetapi ada juga orang yang bekerja demi uang.

Yang gw liat, sepertinya ini bukan masalah pilihan untuk menjadi type yang mana, tapi lebih ke: Mampu nggak sih orang itu memproyeksikan rasio ability yang dia punya terhadap jumlah uang yang dia anggap worthed atas level performansi yang dia capai?

People just don’t care. Pokoknya dengan performansi rendah, nggak bekerja sungguh-sungguh, tapi gaji harus setinggi langit.

Well, bagi gw pribadi (ini cuma opini lho), apapun yang kita perbuat, semua ada tanggung jawab horizontal dan vertikalnya. Horizontal salah satunya yah sama sesama rekan kerja (at least kalopun suatu saat lo sukses, orang nggak akan mencibir sinis tentang pencapaian lo itu). Dan kalo yang vertikal, bisa ditebaklah, itu tanggung jawab lo sama Tuhan. Walaupun ada beberapa orang yang bilang, “Nggak ada lah relevansinya, Rum”. Tapi gw insist, bekerja itu bagian dari ibadah, so pasti ada yang dipertanggung jawabkan secara vertikal.

Gw inget, si Dodi, temen gw pernah bilang: “Makan tuh idealisme lu, ngapain lo kerja ampe mampus-mampus, tapi yang lain pada santai gajinya juga sama aja, tuh liat sekarang lagi pada ketawa-ketawa maen tenis meja.”

NAH! Gw bilang sih itu pemaknaan yang keliru. Keliru pertama: Dengan melakukan pencapaian idealisme kerja, gw nggak berarti harus kerja keras banting tulang sampe mampus (jaman sekarang, otak mendominasi otot, bung!). Keliru kedua: Kita nggak perlu ikut-ikut orang yang punya work attitude santai dan nggak bertanggungjawab seperti contoh tadi (kalo santai, tapi bertanggung jawab penuh¡ atas pekerjaannya, ya nggak masalah).

Hmm.. gw jadi teringat kata-katanya Jerry Hung, temen gw yang lain: “The chance only given to the one who well-prepared!”. Gw lantas berpikir, mungkin itu bedanya engineer Indonesia sama engineer yang bukan indonesia. Perbedaan mendasarnya jelas terlihat pada cara dan apresiasi mereka mempertanggungjawabkan pekerjaannya secara moral, terutama untuk dirinya sendiri, sehingga aura tersebut berimpact keluar dari dirinya dan menghasilkan performansi kerja yang luar biasa baik (lalu otomatis lah, yang namanya duit juga bakal ngalir sendiri karena prestasi kerja yang kayak gitu).

Jadi, intinya (balik lagi), gw dan Ricky menyimpulkan bahwa Idealisme dan realitas (tuntutan hidup = money) bukanlah bagian yang terpisah. Idealisme kerja harus kongkrit sama realitas yang ada. Well, tapi nggak semudah itu, untuk mewujudkannya kita butuh pondasi yang kuat, yaitu Work Attitude.

Hahaha.. nggak pake Bahasa Indonesia atau bahasa apa, bisa ditebak: Gw selalu mendominasi pembicaraan. Tapi memang, saat ini yang bisa gw lakukan hanya berdialog, toh hanya melalui dialog seperti inilah kita nggak akan merasa asing, ataupun diasingkan.

Ricky pun malam itu pulang dengan membawa kebanggaan. Coz dia menutup malam itu dengan kalimat:”It’s really an honour to meet you, you are really smart, independent and mature woman. Your character is very strong, and I can see what you will be in the next few years.”

Dan pada malam yang sama, gw pun pulang dengan sejuta tanda tanya, tadi gw kesurupan apa yak… sampe bisa ngomong gitu? Hadeuh.[]