Buatmu yang Ingin Mati

Apakah hidup ini menyakitkan?
Apakah terasa berat?

Jika memang hatimu sakit, dengan menahannya terus, apakah bisa menebus rasa penyesalanmu terhadap hidup yang tidak bisa diulang ini? Apakah lantas kamu merasa bersalah karena Kamu masih hidup?

Jangan. Tolong Jangan disesali seperti itu.

Hidup ini sendiri sudah cukup sulit. Karena itulah kamu harus menjalani hidup yang sulit dan berat ini dengan sepenuh-penuhnya dan dengan sekuat-kuatnya.

Kamu harus tetap bernafas, makan, dan tertawa. Berusahalah untuk bertahan. Dan jangan lah sekali-kali berharap untuk mati.

Kamu harus menjalani yg terbaik dalam hidup ini, demi orang tuamu, demi segala orang yang menunggumu pulang.

Segala beban berat yang kita rasakan. Segala kepedihan dan kepahitan yang tersimpan. Segala amarah dan tangis yang tidak bisa kita keluarkan. Itulah hukuman dari semesta yg harus kita terima atas dosa-dosa kita.

Penjara ini tidak akan berlaku selamanya, diantara sela-sela hukuman ini, memohonlah agar Tuhan dan Semesta berbelas kasih atas semua luka yang telah kita alami.

Dunia inilah penjara. Penjara kelam yang harus kita semua hadapi. Jangan lari dari sini, jalani masa tahananmu dengan sabar.

Semoga dunia menjadi penempaan yang sebaik-baiknya untuk diri kita, dan semoga semua mendapat buah dan berkat yang dipetik dari semua kesabaran ini.[]

Rebahan

Gw single dan sibuk bukan main. Mengurusi pekerjaan, piaraan, perkebunan dan segala tetek bengek perihal keduniawian. Rasanya 24 jam nggak akan pernah cukup. Kesibukan ini nggak hanya terjadi sekarang. Sejak gw masih sekolah dulu, hidup gw juga udah sibuk. Sibuk sekolah, sibuk les, sibuk sosialita. Kayaknya gara-gara kesibukan itu, otak gw jadi terlalu aktif. Tanpa sadar gw jadi pemikir, filsuf. Filsuf ecek-ecek, amatiran. Tapi believe me, kesibukan itu sangat menguras tenaga. Dan untuk kembali bertenaga, cara ngecas gw cuma satu: spent time untuk leyeh-leyeh, rebahan dan males-malesan. Gabut aja pokoknya.

Waktu jaman SD, gw sering tiba-tiba merasa lelah secara mental. Secara fisik gw nggak sakit. Tapi, I felt like so exhausted. Hang. Nggak bisa ngapa-ngapain. Makanya gw sering banget minta izin ke nyokap untuk bolos. Karena kalo pas kondisi kaya gini gw berangkat sekolah, gw malah nggak produktif. Gw pasti cuma skip class dan leyeh-leyeh di taman. Untungnya, nyokap gw orangnya selon banget, jadi kalo gw lagi kumat, pasti dikasih bolos, asal bolosnya di rumah aja.

Karena itulah gw menyadari pentingnya arti rebahan. Rebahan adalah salah satu kebutuhan pokok dalam hidup gw. Rebahan gw bukan tidur terus seharian ya, tapi lebih ke bangun siang, trus seharian glesotan di kasur nggak ngapa2in, sampe bosen, akhirnya main sama kucing, trus ujung-ujungnya bisa jadi malah baca buku berjilid-jilid, atau beberes rumah, atau masak, atau malah berkebun. Lalu anehnya, besoknya berakselerasi ke hal-hal yang lebih produktif lagi. Kalo pas jaman sekolah, nilai ulangan gw jadi bagus. Gw aktif dan kritis dalam setiap pelajaran di kelas. Kalo sekarang, pas kerja, ya nemu ide yang ujung-ujungnya dipuji sama atasan.

Rebahan is a luxury vacation for my brain. you guys should try too. This is something healthy and helps us feeling sober and alive. Setelah gw udah tua, gw baru sadar, kalo sesekali santai itu gak papa, sehat.

Namun, adakalanya sekarang gw sulit menemukan waktu untuk leyeh-leyeh. Otak gw nggak bisa berhenti mikir. I don’t know how to quit. Kelelahan mental yang keterusan ini akhirnya berujung ke stress, marah, gelisah dan ujung-ujungnya asam lambung. Waktu itu, di UGD gw berpikir keras, I need a way out. Gimana ini caranya rebahan tanpa rebahan? Gimana caranya bisa santay ditengah kesibukan kita tanpa harus bolos?

I nearly spend four frikkin’ months to finally find some way.

Dengan bersyukur, tersenyum kepada langit, bersikap sadar dan kagum terhadap keindahan disekitar kita, berbahagia atas segala hal yang telah kita peroleh dan kita jalani, mengamati orang asing di pinggir jalan dan berbahagia untuk mereka ternyata efeknya sama seperti rebahan.

I walk a lot, to everywhere. While doing it, I observe people and things. It makes me calm.

Saat berjalan, kadang, gw tanpa sengaja bertemu langit yang berwarna ungu. Warna yang sama yang kita temui di flight senja atau flight subuh hari, dimana semua orang terlelap dan hanya ada kita, rasa bahagia dan horizon berwarna jingga bercampur ungu dikalungi semburat biru.

Atau tak sengaja, di trotoar gersang bertumpuk debu, kita bertemu sebatang bunga kucai berwana pink yang serbuk sarinya berkilauan berwarna kuning seperti pisang. Hal yang sangat indah sampai kita berbahagia dan harus menitikkan air mata saat melihatnya.

Atau melihat pasar buah di malam hari, dari balik gerbong kereta yang membawa kita pulang. Lampu yang tergantung berkilauan bertemu dengan tumpukan kulit apel, pear dan alpukat yang mengkilat karena diusap minyak kelapa atau dilapisi lilin sebelum dijajakan. Berkombinasi warna, mendebarkan dada.

Perasaan ringan itu, membuat nadi berdetak lebih lambat. Membuat kita terjaga bahwa semesta selalu memberikan hiburan yang tidak pernah kita sangka. Seberat apapun hidup yang kita jalani selalu akan terasa indah jika kita mampu menemukan hadiah dan penghiburan Tuhan didalam setiap laju perjalanan kita. Yang kita butuhkan hanya kesadaran untuk “mampu menemukan” dan banyak bersyukur setelahnya.[]

Merajut Hati Yang Patah – Part 3

Ada sedikit tips dan saran dari gw untuk orang-orang yang lagi berusaha sembuh dari kedukaan/kehilangan. It worked for me. Healingnya super fast. Boleh dipraktekin sesuai kepercayaan masing-masing.

Step 1 – Never stop holding on to God

Gw nggak neko-neko kok. Ngadu dan nangis aja sepuas-puasnya sama yang pegang takdir dan rancangan hidup lo. Abis sholat, banyakin istigfar (supaya hati tenang), shalawat khitab yang banyak (supaya perasaan kita adem), ama baca Yasin 41x setelah sholat (sekali aja untuk meredakan panasnya amarah di dada). Say it out loud: Qobiltu!

Step 2 – Ganti Semua Bau-bauan dan Wangi-wangian

The smell of something can so immediately trigger a detailed memory or even intense emotion of the past. Luka menganga kalo mau sembuh ya rajin dibersihin, ganti perban dan dikasih sulfatilamid. Kalo lukanya malah dikopek-kopek, trus menyenyeh lagi, kapan mau kering? Wangi-wangian itu bukan hanya minyak wangi lho. Tapi semua. Iya, semua, kaya toner rambut, sampo, sabun, pewangi ruangan, wangi-wangian mobil, minyak aroma defuser, pewangi cucian, pengharum ruangan, deodoran, bedak tabur, wangi-wangian apapun yang bakal bikin kita flashback ke masa lalu.

Step 3 – No music. Apapun jenisnya.

Music also can be a fatal trigger for memories. Makanya kalo lagi nyetir sendiri, radio pasti gw matiin. Nah, sambil nyetir, gw ngumpulin dzikir sama sholawatan sebanyak-banyaknya. Kalo terkadang sampe nggak sengaja nangis-nangis lagi, ya nggak papa, itu proses. Kalau sudah terasa agak ringan gejala sesaknya. Boleh dengerin Classical Music yang sifatnya menenangkan, bikin happy dan riang. Contoh lagunya bisa di search ya: Je Te Veux – Satie

Step 4 – Cari Orang dengan Masalah Hidup yang Lebih Berat

Setelah mental break down gw sudah agak membaik, gw memutuskan untuk silaturahim ke handai taulan. Nggak tau yaa, dari dalam hati gw nyuruhnya begitu. Ya gw ikutin. Ternyata ada hikmahnya banget. Dan ini menjadi salah satu hal penting yang bikin mental gw cepet banget sembuh. Anyway, harus ditekankan ya: kita silaturahim itu bukan untuk menceritakan kepedihan hidup kita ke orang lain. Justru kita mau tau kabarnya semua orang itu gimana supaya kita lupa sama nasib naas kita sendiri. Di perjalanan silaturahim itu, gw menemukan kalo ternyata banyak orang lain yang masalah hidupnya jauh lebih berat dari gw. Namun gilanya, dengan kondisi hidup yang lebih berat tersebut, mereka masih bisa tetap tabah dan survive menjalani kehidupan mereka.

Case 1. Temen gw ini udah 3 kali jadi janda. Dan semua mantan suaminya dia: tukang pukul. Heavy physical abuse dan selalu pergi setelah ninggalin satu anak. Jadi anaknya dia ada tiga dan bapaknya beda-beda. Pekerjaan temen gw ini serabutan. Bukan pegawai negeri ataupun swasta. Kebayang kan? ada anak tiga, sekolah semua, tapi pendapatan hidup dia nggak tetap. But you know what? She looks fine and happy menjalani hidupnya yang sulit. Bahkan bantuan gw pun dia tolak secara halus.

Case 2. Sama, temen gw ini divorce juga karena masalah ekonomi. Anaknya dua. Belom selesai ngurusin acara divorcenya dia, eh bapak ibuknya yang umurnya udah 68 tahun, ikut bercerai juga. Gara-gara bapaknya ini main gila sama pembantu rumahnya. Nggak hanya itu, dia harus mengalami kisruh kekacauan rumah tangga orang tuanya yang ternyata full physical abuse. “Kebayang ngga lo, ngeliat aki-aki sama nini-nini lempar-lemparan belati di rumah? Belom lagi lo harus terpaksa kelempar gelas mug tepat di jidat, gara-gara mau misahin mereka berantem?” Katanya tertawa terbahak-bahak sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Case 3. Temen lama. Menikah sudah 11 tahun. Belum dikaruniai anak. Setelah cek intensif, suaminya mengalami penyumbatan di saluran sperma dan harus dioperasi ringan. Operasinya betul-betul ringan lho ya, nggak sampai 4 jahitan. Simple kan? eh tapi, nanti dulu. Ternyata si suami temen gw ini menolak dioperasi. Ego dia sebagai laki-laki terluka. Surat vonis dan panggilan operasi dari dokter akhirnya disobek-sobek. Si suami ini, menolak punya anak. Temen gw cuma bisa menyeka matanya yang basah, sambil mendekatkan jari telunjuk dan jempolnya selebar 5 milimeter didepan muka gw: “Padahal tinggal segini lagi.. gw bisa jadi ibu.” Sedih ngga lo?

Case 4. Temen gw yang ini juga belum punya anak. Usia pernikahannya sekitar 8 tahunan. Dia settle kalo urusan ekonomi. Pekerjaan dan pendapatannya stabil. Bisnisnya dimana-mana. Wanita sukses lah. Tapi.. si suami kerjanya serabutan. Dan gilanya, si suaminya ini selingkuh 4 kali dan 2 diantara selingkuhannya itu.. hamil. And she plans to adopt the kids.

Nah! Masalah idup gw cuma: pacar gw dan keluarga besarnya ngebohongin gw and doi nikah ama temen gw sendiri.

See? Sependek itu masalah idup gw. Dan gw masih mau nabrakin diri ke KRL? mau nenggak baygon? mecahin pala ketembok? Malu gw. Aselik. Malu woy. Disitulah, gw merasa Gusti Allah lagi mengelus kepala gw sambil tersenyum manis: “I gave you nothing to worry.. just a little bitterness to make you grow.”

Makanya, daripada mikirin paitnya hidup, lebih baik kita cari remahan kebahagiaan di hal-hal yang membuat kita lebih mensyukuri hidup. Mencoba silaturahim, ketemu orang-orang, tanya kabar mereka, sambil sesekali bersedekah dan jangan lupa untuk selalu berbuat baik sama orang.

Step 5 – Find a new hobby

Hobby buat gw banyak sih definisinya. Bisa being workaholic, do jogging, walking, writing, shopping, inspiring people, berkebun, masak, baking, miara kucing, menekuni drama korea, jadi fangirls, jadi kpopers, belajar trading, ikut kursus online, ikut les jahit, dll.
Kata orang, Time will heal – ‘waktu’ itu menyembuhkan. Ada benernya sih, tapi nggak 100% bener. Kalau proses healing kita cuma mengandalkan waktu dan mostly do nothing, ya ngga sembuh-sembuh. Kita betul-betul butuh positive distractions untuk membangkitkan kembali fungsi diri kita sebagai manusia. Jadi, jangan pernah takut untuk mencoba ‘bergerak’. Inget ya, bergerak lambat, mati muda. Makanya seperti kata pak Gerry di film World War Z: “Key for survival is to keep on moving“.[]

Merajut Hati Yang Patah – Part 2

At some point in everyone’s life, pasti kita akan mengalami kedukaan/kehilangan. Bisa karena kematian, kehilangan pekerjaan, kehilangan kekasih, kehilangan hewan peliharaan, ataupun ketipu bisnis habis-habisan.

Setiap orang bergelut dengan kedukaan/kehilangan dengan cara beragam. Tapi, biasanya polanya sama. Seperti yang digambarkan Elizabeth Kübler-Ross dalam bukunya “On Death and Dying”, kedukaan/kehilangan terbagi dalam 5 tahap:

Tahap menolak fakta yang terjadi (denial)
Tahap terjadinya kemarahan terhadap fakta yang ada (anger)
Tahap tawar menawar untuk menolak fakta yang ada (bargaining)
Tahap merasa bersedih atas fakta yang terjadi (depression)
Tahap pasrah menerima fakta yang ada (acceptance)

Dalam proses melalui kedukaan/kehilangan dalam diri gw. Nggak semua 5 hal diatas gw alami. Dan urutannya pun, nggak sesuai seperti itu. Tapi itu nggak papa, setiap orang memaknai kedukaan/kehilangan dengan cara yang berbeda-beda kan? Kalo di gw urutannya lebih ke:

Anger, Acceptance, lalu Deppression.

ANGER

He’s cheated on me. Just thinking about it again will bring back all my anger. I know, it’s only the past. But whenever I think back on that moment, I feel so bad to my old self.

Kalo kata Rachel, temen gw, yang baru divorce: “Demented bastard are everywhere, and they always using a broken marriage as an excuses for cheating.”

Dan gobloknya, cowok-cowok ini kalo sudah ketangkep basah, kita sebagai perempuan selalu kembali memaafkan sambil berpikir “It’s okay, men are inherit to be a cheater once a while. It’s a women’s job to forgive and fix them.”

Ya.. tapi dengan begitu, kita salah. Membenarkan sesuatu yg sudah jelas salah seperti mengalikan apapun dengan nol. Makanya gw ngga merasa ada hal lain yang bisa dinegosiasikan lagi kalau sudah menyangkut kata “selingkuh“. I rather choose to leave.

Kemarahan dapat membuat fakta (atau kebenaran) yang ada terasa berat. Terus berbuat baik adalah hal tepat yang bisa kita lakukan. Memang pada saat kita dikuasai amarah, kita bisa menjadi hysterical dan brutal. Kita menjadi tak bisa menahan. Tapi, jika tidak ditahan, kita akan hidup penuh dengan penyesalan.

ACCEPTANCE

Pak Mardigu Wowiek pernah bilang, “People don’t change, even once dia dapet wisdom, pandangan dia hanya melebar saja. But surely, they will remain the same“. So, nggak salah dong kalo ada nasehat: a cheater, will always be a cheater. Well anyway, if a man cannot keep a promise with a woman, what else can he keep?

There is a latin epigram: if it’s false in one thing, then it’s false in everything. Dia tak akan kembali walau kita menangis. Sekarang kita sendiri. Sebisa mungkin kita harus tabah menerima semua keadaan ini. Walaupun getir dan pahit di hati.

Hal ini yang mendasari gw akhirnya menerima semua kepahitan gw dengan penuh rasa syukur. Nyatanya, melalui kehilangan atau tidak, hidup ini tetaplah hangat (sekaligus menyedihkan). Humans are build to endure all great sorrow in this world, so let’s start using our humanoid feature right now. We can do it!

DEPRESSION

To be in touch with a profound sorrow is never been easy. Gw hilang arah dan terus merasa kurang dan salah. Gw pasrah, cenderung menyerah. For months, I cannot sleep and eat well, cannot breath freely and I keep crying everywhere for no specific reason. It just felt hurt and pressing this chest deeper.

The pain feels so horrible.

Sulit sekali rasanya berusaha menggapai-gapai nafas. Terasa tenggelam namun berada diatas permukaan. Seisi dunia berputar, seperti komidi putar yang putarannya semakin cepat dan membahayakan.

So? Menangislah sepuasnya. Gak papa. It’s okay. Gwenchana. All is well. Everything will be allright.

Pada saat di puncak frustasinya, Dr. Ji (Drakor: The World of The Married) menangis di pinggir pantai sambil berencana bunuh diri. Kalo gw, waktu itu, malah nangis sejadi-jadinya di cafe, didepan temen gw yang bingung gw kenapa (karena gw udah nangis duluan sebelum bisa cerita panjang lebar). Hahahahah.. Sampe diliatin orang-orang. Well, I don’t really care. I need to get it out.

Sakit yang tertahan di dada bisa bikin konslet. Harus kita keluarkan. Tekanan itu harus dikeluarkan supaya nggak jadi stress. Remember, a continous stress can kill you.

Akhir kata, kita sebagai orang yang ditinggalkan harus hidup sebahagia mungkin. Kita terkadang akan menangis, tapi juga akan sering tertawa dan terus hidup dengan tegar. Itulah balasan yang tepat, atas semua nikmat hidup yang telah kita terima.[]

Merajut Hati Yang Patah – Part 1

Kita semua adalah pejuang kehidupan. Selayaknya pergerakan kurva elliot wave, ada saat dimana setiap manusia akan mengalami level resisten (bawah) dan support (atas). Tidak ada masa kejayaan yang datang terus menerus dan tidak ada pula masa kesedihan yang akan terjadi terus menerus. Perubahan itulah yang membuat kita menyebutnya sebagai lika-liku kehidupan (bukan “lurus”nya kehidupan).

Now, I’m in the resistent level of my life. For these past 2 years, gw megap-megap melakukan pertahanan hidup. Ibarat ikan koi di akuarium toples, ya tadi itu, gw dicomot keluar dari toples. Nyaris mati.

Gw patah sepatah-patahnya. Pacar gw nikahin temen gw diem-diem. Ibunya dia bohongin gw juga. Well, dikhianati dua orang yang saat itu gw sayang dan gw percaya.

Dan belom kelar paitnya, karena gw kerja satu bidang ama pacar gw itu, ya gw nggak hanya kehilangan keluarga dan cinta. Gw juga kehilangan lingkaran teman, kolega, kesempatan, jabatan, uang, kepercayaan sekaligus ‘waktu’ gw yang sangat limited.

Singkatnya 2/3 kehidupan gw terenggut seketika dan itu terjadi saat gw bener-bener lagi nggak siap. Pukulan telak. TKO. Skak Mat.

It’s been two profoundly shitty years for me. I’m breaking apart. Gw jatuh sejatuh-jatuhnya. Hancur sehancur-hancurnya.

Dulu, di bulan-bulan pertama menghadapi masalah ini, gw cuma bisa tidur di atas sajadah. Lebay? Nggak. Itu life support gw.


Untuk sembuh dari patah hati hebat, memang kita nggak bisa sendiri. Buat gw, perlu 4 hal penting ini:

  1. Pegangan/Iman
  2. Dukungan orang terdekat (versi gw: orang tua)
  3. Niat dari diri kita sendiri untuk sembuh
  4. Rancangan proses menjalani terapi kesembuhan yang tepat

Keilangan 1 dari 4 poin ini? ya siap-siap aja. Level 3 nya lo bisa stress, Level 2 nya lo bisa konslet/gila dan separah-parahnya level ultimate dari patah hati: ya mati. Kalo nggak mati bunuh diri, ya mati karena tekanan psychosomatic. Gw ngomong ini ada samplenya, banyak udah kok contoh casenya. Makanya, alhamdulillah gw masih bisa cerita lah disini about “How can you mend a broken heart (in a proper way)”.

Semua orang, apapun jenis patah hatinya, awalnya sama. Pasti selalu mikir the shortest way to end the pain. Segala tangisan yang sudah keluar atau bahkan yang nggak keluar, pasti bikin sesak di dada. Dan sesak ini yang nyakitin kita banget dan pengen cepet-cepet kita sudahi. Makanya, ibarat lagi megang bara api ditangan, kita mau cepet-cepet buang baranya karena panas dan perih, eh tapi baranya bara plastik, meleleh dan nempel cuy di tangan kita. Gimana dong?

Setiap orang punya level ketahanan yang berbeda soal perbaikan mental break down akibat broken heart ini. Gak bisa juga semua orang disamakan cara penyembuhannya. Ada yang mentalnya ditekan sedikit, tapi udah nggak kuat. Ada yang mentalnya ditekan sampe mau meledak, tapi dia tetap kuat. Itulah hebatnya manusia. Tetapi.. tetap semua healing itu sama standarnya. Secara garis besar ada hal-hal yang bisa kita jadikan pegangan.

Contoh, ada orang yang kaya Dr Ji (Drakor: The World of The Married) yang mengalami patah hati dengan level berat, perceraian dengan anak remaja yang mental si anak juga jadi beban dia, full domestic abuse, dikhianati pula sama satu kota, dan she’s still intact, masih bisa berfikir logis, dan level sabarnya gilak.

Tapi ada juga, iparnya sepupu gw, sebut saja namanya mbak Mawar. Doi punya pacar dari SMA, pacaran 3th, trus bapaknya mbak Mawar nggak setuju. Lantas mereka dipaksa putus dan pacarnya mbak Mawar diusir dari rumah. Kebetulan si bapak galak dan otoriter (maklum, orang militer) dan mbak Mawar bukan tipikal cewek yang mentalnya mental pendemo/protester kaya gw. Akhirnya cuma bisa diem dan nahan. Nah, karena cara nahannya salah, akhirnya konslet deh. Beneran gila cuy. Sampe harus dipasung. Gw inget, di bulan ke 3 gw patah hati, gw ketemu sama si Mbak Mawar ini di kampung bapak gw pas acara khaul keluarga. Dalam waktu beberapa tahun sakit mental, mukanya mbak Mawar bener-bener 100% berubah. Dari gadis jawa ayu, sekarang jadi beneran kaya orang gila full timer. Wajah kusam kuyu, bola mata yang bergerak-gerak cepat, wajah nggak terurus, rambut mekar, gigi berantakan karena harus konsumsi obat anti depressan. Waktu ketemu mbak mawar, gw nangis sejadi-jadinya. I feel awful, full of despair. Because, She could be me. I could be her.


Dalam proses menjalani kesembuhan gw yang belum 100% ini, gw banyak melakukan self evaluation. Mungkin karena gw insinyur yang kerjaannya selalu monitoring dan evaluating project, ya jadinya kebawa kali ya.

Ada 3 kesalahan utama yang merusak mental kita pasca broken heart:

  1. We always tend to blame ourself
  2. We always tend to make a short cut (Berfikir bunuh diri)
  3. We always tend to think that we loose everything

MY MISTAKE NO #1: ALWAYS BLAMING MYSELF

Awal gw patah hati, gw dapet omongan dari sekertarisnya ex gw: “Bapak seneng sama calonnya yang sekarang karena calonnya bapak itu montok dan putih. Kata bapak, calonnya ini juga nggak neko-neko orangnya dan menghargai bapak sebagai laki-laki”

I was shaking and in deep-shock, gw nggak berhenti menyalahkan diri gw sendiri, apa yang bikin dia akhirnya milih perempuan itu? apa kurangnya gw? apa gw kurang putih? Apa gw terlalu mendominasi? apa gw terlalu pintar? apa dia merasa ada kesenjangan sosial? apa gw selama ini nggak menghargai dia sebagai laki-laki? apa dia merasa insecure sebagai laki-laki?

I blamed myself with all those questions.

Tapi setelah gw ngobrol banyak sama emak bapak gw, trus gw ketemu juga sama temen-temen lama gw, ngopi bareng. Gw akhirnya tau value gw sebagai manusia. Gw sadar kok, kalo gw ini berharga, gw orang baik, gw masih dibutuhkan/dicari orang, gw masih disayangi banyak orang.

It was my mistake that I was blinded to put himself first other than me (nah, masih aja gw nyalahin diri gw sendiri kan? hahahahaha)

Lagian kalo dipikir-pikir, selama taunan, dia nyaman-nyaman aja buktinya hidup sama gw. Makanya, akhirnya ya gw mikir, “ah.. gw nggak sepenuhnya salah. Titik.”. Dan with his ex before me juga sama kok, dia bertahan cuma sampe 5 tahun. Repeating himself. Maybe, he always ngerasa bosen setiap 5 tahun. Udah kaya RAPBN aja tiap 5 tahun ganti.


ANOTHER MISTAKE NO #2: NEKAT MAU MATI

Iya, gw goblok banget emang. Cetek. Terserah deh, lo mau bilang gw apa. Hahahahaha.. tapi itu beneran terjadi sama gw. Waktu itu, gw bener-bener ngerasa bersalah banget sama orang tua gw. The pain was so horrible that the only thing you can think is to end things.

Walhasil, gw pernah niat buat nabrakin diri ke KRL, tapi pas keinginan gw untuk nabrakin diri ke KRL lagi on-fire, ndilalah kok gw selalu ketemu temen lama gw di Stasiun. Eh malah gw ditarik ke cafe lah, diajak ngobrol dengerin dia curhat lah, trus gw jadi lupa mau bunuh diri. And believe it or not, it always happenned like that. God really works in a misterious way.

Pernah juga gw nyoba minum Baygon, ternyata pas minum, gelasnya kegedean. Padahal niatnya mau langsung tenggak kaya minum miras trus kelar, mokat, koit. Tapi, karena gelasnya kegedean, pikiran gw malah kebawa kaya mau minum teh anget: gw sruput lah tu Baygon, HAHAHAHA ya karena disruput, rasanya sumpah: pait dan terbakar di lidah, gw langsung lari nyari keran sambil nangis-nangis. Ya nangis-nangis antara kesakitan sama nangis-nangis karena menyesal. Untung belum sampe ke tenggorokan. Batal deh akhirnya nenggak baygon. Well, ternyata bunuh diri itu nggak semudah yang kita pikirkan.

Hidup adalah kecemasan tanpa henti. Living a life itu seperti berjalan dipinggir jurang. Nah, kita kan paham kalo posisi ini bahaya. Pilihannya bisa kepleset dan mati masuk jurang, atau.. kita sebisanya mencoba bertahan untuk hidup walau berjalan disisi jurang. How? Bagaimana caranya menjalani hidup bahaya seperti itu dengan tenang?

The real source of fear is not knowing. When you begin to notice the damage that emotion can do, awareness will develop. When you have this awareness, you will understand the dangers before you. Now, you know the fear that haunts you, you understand them. And walking on a cliff (living a life) is not so frightening anymore. In fact, it is thrilling.


MY MISTAKE NO #3: MINDER KARENA MERASA LOST EVERYTHING

Gimana sih rasanya dikhianati sama orang yang paling kita percayai saat itu? yang kita udah invest disegala hal, baik materi ataupun perasaan? Yang kita sudah invest kasih sayang, kesetiaan, kepercayaan, semangat hidup, dan masa depan?

Gw udah all in banget lah saat itu. Gw udah nggak ada deh kepikiran berpisah atau hidup sama orang lain. Semua kesalahan dan kekurangan dia yang paling fatal sekalipun gw maklumi demi masa depan. Ya beginilah jadinya, jika kita bergantung sama manusia.

Ibarat pemilik perusahaan bangkrut, gw karam. Bankrupt is really complicated. Starting over is complicated. And I don’t do complicated. I never have.

Satu-satunya cara membuat gw ikhlas dan tabah tentang kehilangan ini adalah menerima sekaligus mengakui kalo gw kalah. Selayaknya orang kalah, ya gw memilih pergi dan menertawakan kebodohan gw sendiri (bahasa lainnya: konslet skala kecil).

Because once.. some old man said: recognizing the humor in our most bitter situation prevents suffering. We still experience some emotions, but they can no longer play tricks on us.Buat gw, kekalahan ini rasanya sangat manis hingga terasa pahit. Pahit yang melonggarkan pikiran dan melapangkan dada gw.

Every life is touched by God at least once. If someone or something nudged you back in the right direction just when you were drifting away from the world, that is the moment that God stays by your side. And God really be with me all the time. I feel blessed.


It’s been 20 months. I am getting better. Koreng di dada gw udah mulai sembuh. Makan dan tidur rasanya sudah enak. Almost normal. Udah breaking point lah kalo istilah anak-anak trading.

Namun, walau waktu sudah berlalu, rasa sakit tetaplah terasa sakit. Pikiran bawah sadar gw masih menyimpan rasa traumatik tersendiri. Ada kalanya, setiap tiga atau enam bulan sekali, didalam setengah tidur gw, tekanan dan rasa sakitnya datang lagi tanpa bisa dikendalikan. Sakit yang sama, tekanan yang sama. Persis kaya kita kram otot. Datangnya tiba-tiba. Beneran. Gw bisa lho, langsung kaya dikagetin, dan inget sama semua sakit dan tekanan yang gw udah lupakan itu dalam sekali jentik. Jedar! Duer Duer! datangnya menggebuk sekaligus tanpa ampun. Tapi ya untungnya, hilangnya pun lebih cepat. Ibarat immunity, now my body can handle it well.

Kalau lagi kumat begitu, biasanya, gw menekan dada gw, menahan nafas sebisanya dan nggak berenti berdoa supaya Gusti Allah segera menarik keluar rasa sakitnya. Pokoknya, I was holding my breath until that horrible feeling is gone. Tapi ya gitu, seperti layaknya kehadiran angin muson barat dan datangnya musim penghujan disetiap tahun, they will come again. Ya.. disabarin aja.

Kita tau, hidup ini berat. Tapi, semua keputusan akan kembali kepada diri kita. Keputusan itu bisa jadi menguatkan atau bahkan melemahkan kita. Anything happens for a reason, just don’t give up. Bersemangatlah. Chaiyo! Manse! Ganbatte!

Love causes cancer. Like everything else. But it’s still love. It has its moments. So, I think I’m gonna gather up the tattered remnants of my dignity and say goodbye.[]

Farewell Pai Lian Bang


Per akhir Januari ini, gw positif pindah ke Jakarta tercinta kembali dan meninggalkan Palembang beserta es kacang merah, kueh 8 jam, sarikaya dan mpek-mpek lenggang kesayangan gw. Biasa deh, gw pindah karena (lagi-lagi) urusan kerjaan.

Gw, pada akhirnya, secara sadar, memutuskan untuk stop dari project ini. Kali ini, urusan menjaga kestabilan jiwa dan kewarasan otak betul-betul udah mengalahkan urusan slip gaji.

Masalahnya ngga sekompleks atau sesimple yang dibayangkan. Misalnya aja simple seperti cuma sekedar masalah, “ah projectnya ribet, males ah”. Oh believe me, I won’t quit because of that. Karena gw hobby banget ngelurusin benang kusut.

Atau alasan gw berhenti bukan juga karena problem yang demikian kompleksnya, seperti contoh adanya beberapa task force besar dengan target deadline sama dan semua dilakukan sekarang juga tanpa trial error atau exercise dulu. Itu tantangan buat gw, dan gw suka tantangan. Jadi ngga mungkin gw berhenti karena itu.

Dan di project gw sekarang, boss gw lose communication dengan gw, dalam artian, kami berjalan pada misi dan visi yang berbeda. Dia pada misinya mendelivery project dengan lempeng dot kom, dimana tanpa dia sadari di kanan dan kirinya, semua orang teamnya bergelimpangan, gugur di medan perang. Walaupun pada akhirnya misal, dia masuk dalam target delivery yang telah ditetapkan, but at that final victory line: he’s alone, coz all his men are dead already.

Bukan berarti gw ngga berorientasi pada delivery project. Itu tujuan utama gw. Tapi, believe me, manage orang itu ngga kayak sepotong kueh (piece a cake). Disatu sisi lo harus deeply understand about technical, maintain quality delivery lo, while disisi lain, lo juga harus mikirin kesejahteraan anak-anak buah lo. They can be paid less than us, but they don’t deserve being happy and comfortable with the war zone LESS than us.

Well, bertahun-tahun gw kerja, gw amati, ternyata gw selalu betah alias stay long term di suatu perusahaan cuma karena urusan komunikasi yang lancar sama atasan. Dan disini, gw nggak dapet trust itu dari boss gw sendiri. Lo bayangin, setiap kali lo mencoba berkomunikasi sama dia, hasilnya selalu: failed.

Kalimat-kalimat negatif itu selalu dilontarkan ke gw, as I always reviewing what the hell happened with myself that he hated me so much, I began to wondering, is it he who had problems with how to communicate with people, or me?. Yah memang garis merahnya: adalah sangat menantang saat lo mencoba berkomunikasi dengan orang yang sulit untuk diajak berkomunikasi.

Gw ngga bermaksut rasis, boss gw ini Indiahe. Totally ass-licker and seperti kata senior kampus gw yang juga kerja di project yang sama (tapi beda region) “your boss, that guy, should go home to Mumbai and play some movie. He’s not suitable here.” Ya itulah, everybody can be a boss, but hell yeah, not everybody can lead a project.

Dulu, dulu banget, gw punya boss namanya Ricky Kwok (Sumpah, dia ngga sodaraan ama Mulan Kwok). He’s cantonese, galak dan judesnya minta ampun, tapi baiknya juga minta ampun. Dia bisa bilang “I will kill you!!” Ke gw, tanpa gw merasa terintimidasi. Instructions dari dia: J.E.L.A.S, dan otomatis delivery gw juga J.E.L.A.S. Komunikasi kami terjalin harmonis dua arah. He listened to my problem, and also I listened to his instructions very well. Seperti kata dia waktu itu: “In a rush and competitive match, if you want to know how to play a good ball, you have to know how to get the ball, and pass it to your team.” Ya of course kalo nggak, kita bakal kalah.

Banyak kata-kata mutiara Ricky yang gw jadiin panduan gw untuk nge-lead beberapa project gw belakangan ini. Well, as far as I know, the target always been achieved. Semua user gw satisfied ama gw. Gw pun masih suka skype-an sama si Ricky ini.

Setelah itu, gw juga punya boss yang lain. Namanya Mr K. Dia senior di kampus, temen maen juga, temen diskusi, eh tak dienyana (halah) tau-tau gw ngikut kerja ama dia.

Mr K ini orangnya stright forward. Dibahasakan kembali sama dia: sharp-tongue. Walaupun sumpah dah dia ini ya, udah galak, judes, suka teriak-teriak dan kadang suka ngga jelas (abis marah trus nyanyi-nyanyi), dia itu visi misinya jelas, maunya banyak, konsepnya padat. Dan orangnya simple dan “pokoknya jadi”, ngga ribet ama proses. Kalimat dari dia yang paling gw inget adalah: “Gw tau banyak orang yang nggak suka ama gw, tapi kan gw nggak bisa entertain semua orang. Jadi ya gw deliver apa yang bisa gw deliver.”

Mr K ini juga care sama anak buah. Karena dibalik apatisme dan ke-bodoamatan dia sama tekanan kerjaan, dia itu orangnya nggak tegaan. Dia selalu punya jalan keluar yang “win win solution”-lah intinya. Sampe sekarang, walaupun udah nggak satu perusahaan, gw masih suka contact and nanya nana nini sama dia.

All project is tough, and it is our obligation and our challange to finish it. But we have to be supported by our superordinate. Our boss. Kalo nggak kaya gitu, ya kayak gw sekarang, mati gaya, mati kutu, mati skak (skak mat – halah), dan akhirnya nggak betah kerja deh disini. Oleh karenanya, if you wanna be a good leader, you must have high capability to communicate with your subordinate. Other ways, you’ll loose. Either loose the project, or loose your good man. Sayang kan, kalo suatu project kehilangan orang-orang talented cuma karena bossnya bego. Semoga gw nggak setolol itu kalo kapan-kapan gw jadi boss. Well, just try to your best for being a “good” leader, not only a “good” boss. Pahalanya Insya Allah gede.[]

Kota 3 Warna


Saat ini gw tinggal di kota Palembang. Kota dengan jumlah penduduk terpadat dan tingkat kriminalitas paling tinggi se-NKRI. Well a bit scary awalnya, tapi ternyata tawaran angka pada slip gaji memang sakti dan bisa mengalahkan ketakutan jenis apapun. Hahahaha.

Untungnya (sebagai orang jawa emang selalu adaaaa aja kata: “untungnya”), di kota ini gw ketemu temen SMA gw, panggil aja Ola. Dan satu orang lagi, namanya Cita, perempuan lucu ini sering kami panggil “adeknya” karena emang Cita paling kecil diantara kami bertiga.

Demi misi: nyari temen atau minta ditemenin, gw memutuskan untuk pindah kost ke tempat kost Ola dan Cita. Dan memang betul, setelah ngekost bareng, kesempatan untuk menggila bersama-sama terpampang lebar dan nyatahhhhh.

Kami bertiga termasuk wanita-wanita pekerja keras teladan. Ola kerjanya ngurusin pembangunan tower, Cita kerja sebagai marketing di perusahaan Jepang, dan gw? Kerjaan gw apa ya? Jangan dibahas lah.

Kalo soal kerjaan, peringkat nomor 1 dipegang oleh Ola, gw nyebut dia: maniak lembur. Karena at weekdays, Ola mirip bencong taman lawang, berangkat pagi, pulang juga pagi. Setiap hari tanpa absen. Menurut keterangan si Ola, dia ngejar lemburan karena dia suka banget B.E.L.A.N.J.A. Jadi kalo kerja ngga pake lembur, hobi dia yang satu itu bakal NGGAK tersalurkan. Karenanya lah, gw kesulitan cari temen main badminton saat weekend (sabtu pagi 05:00-13:00 adalah jadwal Ola molor tanpa gangguan).

Peringkat nomor 2 dipegang Cita. Jam pulang kerja Cita agak lumayan sore. Yah antara jam 7 malem sampe jam 9 malem lah. Itu pun gw selalu tau kalo dia pulang karena dia pasti mampir ke kamar gw yang mirip-mirip pelabuhan transit sangking strategisnya. Setiap kali gw buka pintu, selalu ada hal baru yang dibawa Si Cita, kadang bikin gw terkaget-kaget, kadang bikin gw malah ngakak kegirangan. “Mbak, tadi mobil gw nolongin orang kecelakaan! Berdarah-darah!”. “Mbak, tadi gw berantem ama orang Palembang!”. “Mbak, tadi ada penjarahan!”. “Mbak, gimana kabar mas Bimo? Cieee..”. “Mbak, kayaknya gw mau gila deh!”. “Mbaaak, kerjaan gw mbaaak!!!!”. Dan masih banyak lagi cerita-cerita Cita. Sama aja kayak Ola, karena hari Sabtu si Cita kerja setengah hari, gw kesulitan ngajak dia main badminton saat weekend.

Peringkat ke 3, ya jelas gw, siapa lagi? Kerjaan gw cuma dua: eksperimen sama bales imel boss gw. Gw pegang area satu sumbagselbabel untuk maintain sinyal 2G-3G salah satu operator baru nekat Indonesia. Gw nyebut gitu karena emang project ini disebut The Titan Project alias project para dewa. Kerusuhan terus setiap hari, karena area gw pegang 40% total revenue dari si Operator dengan logo angka 3 ini. Hahahaha. Tapi lha ya kok aneh, setiap hari gw masih bisa pulang jam 5 sore, trus sabtu minggu gw libur total. Kalaupun gw dicaci maki, difak-fakin boss, ya gw masih bisa ketawa ketiwi bahagia. Konsep kebahagian gw cuma satu, kalau sedih dan merasa duka lara, lihatlah slip gaji. Dijamin gw semangat 45 lagi.

Gw, Ola dan Cita sering menggila menghabiskan waktu dikala wiken dengan cara berbeda. Jarang kami menghabiskan waktu bertiga. Kadang cuma gw sama Ola, kadang cuma gw dan Cita. Kalaupun kami menghabiskan waktu bertiga, gw rasa Palembang bisa kerusuhan, karena we can talk about so many things in hours and the only thing can stop is: Ola atau Cita kehabisan rokok.

Kami bertiga sering banget punya ide gila tanpa terkendali. Misalnya aja, tiba-tiba pada suatu sabtu siang, Cita gedor-gedor kamar gw sambil bilang: “mbakkk!!! Gw streeeessss!! Gw mau liburan, ni kunci mobil, terserah elu deh mau bawa gw kemana, yang pasti gw harus keluar Palembang!!!!”. Setelah secara spontan melempar kunci mobil ke arah gw (lebih tepatnya: ke muka gw), Cita melemparkan dirinya ke tempat tidur gw yang serapih tempat tidur hotel. OMG she has no idea how hard it is to make those seprai lempeng, alus, dan super mulus.

Gw cuma tersenyum sambil geleng-geleng kepala ngeliat Cita menangkubkan mukanya ke bantal-bantal itu lalu berakting pura-pura mati. Cita udah kayak adek gw sendiri. Setelah itu seperti ritual umumnya, gw telpon dan mengajak serta Ola dan tau-tau kami bertiga sudah sampai Lampung, kadang Bengkulu, Lahat, Muara enim, atau cuma sampai Prabumulih.

Kadang kalo Cita sibuk, gw muter-muter berdua sama Ola ke Mall. Ola hobby banget ke Mall, dan gw dipaksa untuk nemenin dia. Karena gw tau, kalaupun Cita idle, Ola ngga akan mampu maksa Cita turut serta, karena Cita antipati sama Mall. Sedangkan gw, gw ngga pernah antipati sama siapapun kecuali boss gw si Ankit, indiahe edyan, dan semua cowok bajingan yang suka nipu dan nyepikin cewek-cewek lugu kayak gw. Ngapa curhat bukkkk..??

Biasanya kalo jalan-jalan sama Ola itu endingnya pasti setak di cafe atau restoran nggak jelas, lalu diskusi hal-hal yang sifatnya ngulik sejarah dan budaya. Lalu diskusinya agak mirip demo didepan kantor lurah dengan skala kecil, soalnya Ola kalo cerita suka agak-agak sambil gebrak meja dan teriak-teriak saat ngga setuju sama beberapa policy pemerintah. Kadang diskusi kami juga agak mirip rapat PKI akibat kebul asap rokok Ola yang sebal-sebul tanpa henti.

Beda lagi kalau gw ngobrol sama Cita. Obrolan Cita lebih ringan dan bebas kerutan (pada dahi). Yang Cita bahas lebih ke kondisi real pada lapangan untuk daerah Palembang dan sekitarnya. Karakter orang native Palembang emang kadang suka bikin kami terpingkal-pingkal geli ataupun bikin kami marah bukan main terutama untuk hal berlalu-lintas dijalan raya. Sampai si Bimo, pacar gw yang sundanese parah, kalo pengen nyetir serabutan, sering banget bilang: “Kela kela.. Di-Palembang-keun we lah..” (Bentar, kita nyetir pake cara Palembang aja..). Hahahaha.

Mereka-lah keluarga gw di Palembang. Dan mereka adalah satu dari dua hal yang bikin gw betah tinggal di Palembang (yang pertama pasti hahahaha slip gaji tadi. Hahahaha.)

Well, ternyata tinggal di Palembang nggak selamanya madesu dan miserable seperti kata orang-orang. Malah gw ngerasa hidup gw berwarna banget disini. Yah semoga aja gw betah terus deh ya.[]

Ditulis pada ketinggian 3500 kaki diatas permukaan laut.

Pria dan Puisi


“Jane, where are you?”

Membaca message dari lelaki itu di ponsel gw, detak di dada ini spontan terasa dialiri aliran listrik 15 juta Kilovolt. Suddenly stop beating, I feel very light and loose and I felt that there’s million sparkles around.

This man, sebut saja Bimo, has been so delicate, sympathetic, loyal, caring, untutored, gentle, and I am.. in love with him.

He’s the man I am looking for. Totally, head to toe. At least for current.

Senyum-senyum girang, gw mereply message dari dia: “Gw lagi di kosan bim, biasa lagi ngitung kancing, kira-kira siapa yang bakal traktir gw dinner malem ini”

Ngga lama ponsel gw kembali berbunyi: “kalo gitu gw aja yang traktir. Mau gw jemput atau.. Lo jemput gw?”

OMG. Another heart attack! He’s in town!

Gw berasa heng selama 10 menitan. Sambil berusaha mengumpulkan segenap jiwa raga gw yang tersisa, gw senam pernafasan sebentar, huffffttt. “Errrttt, Earth is calling Jane, errrtttt.. Please get back to earth.. Errrt, where the hell are you, Jane?!”. Gw pikir gw udah gilak. But it did happen. Gw beneran Heng!

I run crazily inside kostan gw sendiri! Padahal sempit lho kamar gw. Chaotic banget lah pokoknya. Bingung mau mandi apa nggak, mau pake minyak wangi yang kebuah-buahan atau yang keseksi-seksian, make warna alis coklat atau item, make kebaya kartini atau jeans+kaos aja, Ah I am too.. HAPPY!!
Sambil mengetuk-ngetukan jemari gw ke setir mobil, gw nunggu Bimo dideket tempat dia nginep. Rasanya resah. Kayak balon aer yang hampir pecah.

Gw bolak-balik nelen ludah sambil ngeliat kaca spion. Damn, it feels like forever for waiting him like this. Where is he? Is he okay? Does he know the road for getting to this parking lot? Is he really here? Is he still remember my car?

I can’t control my self. I fall for this guy. It’s been a while for I never met this kind of guy anymore, After ahmad, after Bilven, after I lost my Ahmad and my Bilven.

Dan gw akhirnya melihat siluetnya dari jauh. Still the same. Same old Bimo. Tinggi, Kurus, Ceking, dengan bahunya yang panjang dan lebar. Just wearing simple T-shirt and jeans. Of course, masih sama, megang rokok ditangan kiri. Yep, dia kidal.

Bimo mengetuk kaca jendela gw, “tuk-tuk”. Gw melirik sekilas. Pura-pura acuh. Kacamata Rayban Bimo, yang juga jadi kesayangan gw, tepat menempel dikaca dari sisi lainnya. Gw tersenyum sambil membuka kaca perlahan, “Lama nian, Tuan?”.

Bimo cuma tersenyum, menghisap rokoknya sekali, lalu membuangnya entah kemana. Dia memberi isyarat agar gw pindah dari posisi gw duduk. He’s taking the wheels.

Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya adalah seni. Tapi mana bisa ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang keramat, yang luhur, well.. segala yang indah dalam hidup ini buat gw adalah puisi.

Persis seperti Bimo. Bagi gw, dia adalah puisi. Dia seperti kata indah yang mendebarkan jiwa. Dia bak rima kalimat yang mampu melangutkan rasa.

Dia indah. Dia penjarah. Penjarah hati gua.
 
Gw ketemu Bimo secara nggak sengaja di kota yang berbeda. Bimo tinggal di Muara Enim, kerja di pertambangan batubara, sedangkan gw tinggal di Palembang yang jaraknya kurang lebih 8 jam via jalan darat. Biasalah, gw kenal Bimo karena ternyata dia adalah temennya temen gw. Setelah kenal lumayan akrab, kami kerap saling mengunjungi satu sama lain.

At first, I’m not paying so much attention to him. He’s just like ordinary guys with no special sparkle. Even Bimo betul-betul jadi makhluk extrateresterial buat gw. Until that day. The day that I have to be in his car for hours, stuck with him, only him. And we both did everything to kill the boredom.

We’re talking about politics, jokes, interests, hobby, routine activity, work, about shores and mountains. Listening U2 together for hours. Ugh, Gw menemukan orang yang betul-betul mampu berdialog dengan gw. Both way. Perfectly.

There are lots of ways to appreciate something. Can be appearance, can be substance. Bagi gw, isi dibalik krempengisme si Bimo adalah poetic. I fall for his substance. As we drifted to another place in time, this feeling of mine was so heady and sublime, I lost my heart to him.

Hari itu, Bimo juga cerita soal love lifenya dia. He is enggaged with a girl. And he loves her very much. They will get married next year. Pertamanya gw merasa kecewa. Tapi gw pikir, toh selama ini gw emang selalu jatuh cinta sama orang yang salah kok, makanya gw nggak ambil pusing. Gw nggak mengharapkan Bimo ngawinin gw jugak kan? Lagian, gw cuma seneng aja punya temen ngobrol di tempat asing kaya gini, Hahaha..
Bimo bagi gw adalah laki-laki bebas. Dia bisa menentukan langkah dan tujuan hidupnya dan dia konsisten dan persistent terhadap hal yang dia pilih. Ketabahannya itu yang bikin gw jatuh cinta sama dia.

Dia bisa saklek sekaligus fleksibel dalam waktu yang bersamaan. Dia bisa basah dan kering dalam waktu yang bersamaan. Dia bisa jadi santa sekaligus jadi pit hitam berbarengan. Dia mampu menjadi tiada dalam suatu keadaan. Dualisme yang dia miliki bukan merupakan suatu ke’plin-plan’an buat gw, melainkan suatu hal yang sangat extra-ordinary dan poetic.
 
“Jane, U2 mau manggung di Bali..” katanya singkat.

“O really?” Jawab gw surprised.

Gw tatap matanya lekat-lekat. Ada ketenangan yang gw temukan disana. Bimo tertawa. Ada emosi yang tertanam juga disana.

“Jane, will you come to my wedding..?” katanya singkat.

“I will..” Jawab gw tenang.

Bimo mungkin tau tentang segala rasa yang berkibar di dada gua. Rasa itu terasa transparant sekali. But we both know, it’s impossible to continue our relationship to futher step. We both know it’s forbidden.

Malam itu, safely, gw anter dia ke tempat dia nginep. He say take care and good bye like usual. 
Diiringi Electrical Storm-nya U2, gw balik ke kosan. Rasanya lega sekali. It’s been a while gw nggak merasa jatuh cinta seperti ini.

Have you ever thought that you love a man so much that you will not be at peace until you see him? On the contrary, your sanity and sober mind take place. They keep telling you that actually it’s possible for you to make he loves you and no other can do that or should do that.

Ya ampun, it feels so complicated. Comme il fault, as it should be. Complicated.

“Innallaha ma ‘ashshabirin, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” Bathin gw sambil mengurut dada. Ya Allah, ada dua orang nggak ya, yang kayak Bimo? Kalau bisa yang idle ya? Aku mohon, ya Allah. Dan gw tertidur sambil tersenyum setelahnya.[]

If you want to ease the pain, you can lean from me, my love will still remain..
 

Ujian Tentang Kesombongan


Pada suatu hari, di sebuah antrian di Bandara Internasional, gw menemukan seorang ibu ibu pengusaha kaya (sepertinya begitu coz gw pernah liat jaketnya, berharga sekitar 2500 USD!! Beruntunglah gw suka windows shopping di mall-mall mahal, jadi ngerti, tapi nggak beli hahaha).

Ibu-ibu tadi mencak-mencak nggak karu-karuan gara-gara antriannya diselak oleh salah seorang TKW buruh migran asal negara kita tercinta.

“Heh! Pada tau aturan nggak sih? Nggak di Negara sendiri, nggak di Negara orang, kelakuan masih pada sama aja, kampungan! Antri dong!”

Para TKW yang diteriaki sempat kaget tapi setelahnya malah cekikikan bersama kawan-kawan se-gank mereka. Otomatis ibu-ibu kaya tadi tambah naik darah karena teriakannya nggak digubris. Hingga akhirnya ibu-ibu itu melaporkannya pada petugas bandara.

Gw nggak mau nerusin cerita tadi akhirnya kaya apa, yang jelas, some part of myself ngerasa ikut sebel ama kelakuan mbak-mbak TKW tadi. Karena pada hakekatnya, gw nggak gitu suka sama orang yang nggak menaati aturan umum. But anehnya, some other part of myself kok ngerasa kasihan ama mbak TKWnya, dibentak-bentak kaya gitu. Dan rasanya di gw kaya ada yang ngganjel, kaya ada yang nggak pas aja. But I don’t know what it is.

Beberapa waktu kemudian, ada kejadian yang mirip saat gw ngantri beli karcis commuter train di salah satu stasiun elit di daerah Sudirman. Bedanya, kali ini penyelaknya adalah seorang pekerja kantoran yang secara streotip: tampak terpelajar dan ngerti aturan-aturan dasar tentang bagaimana MENGANTRI TIKET secara baik. Tapi yo ngono, dia tetap aja nyelak antrian, walaupun dia diteriakin orang: “antri dong, mas! Ngga aturan banget sih?!”. Still for me, rasanya ada yang mengganjal. But I really don’t know why. Gw mencoba bertanya dalam hati: “Ya Allah, sebenarnya ada apa sikkk?”

Bulan demi bulan berlalu, sampai pada akhirnya gw melupakan kejadian itu.

Sampai beberapa hari kemarin. Hari dimana gw ketemu kawan lama gw, sebut saja Mia, disalah satu stasiun paling buluk se Jakarta, saat itu: Stasiun Palmerah.

Mia bekerja pada salah satu Bank BUMN terbesar di Indonesia. Dari setelan baju, jelas gw kalah jauh. Mia memakai blazer yang sangat kaku, begitu rapihnya hingga walaupun ada tsunami sekalipun, gw yakin itu blazer tetep akan jreng jreng kaku dan rapih seperti sedia kala.

Rupanya karena apes, kami berdua ketinggalan kereta, tepatnya ketinggalan kereta AC. Yups kereta AC yang berarti juga kereta dengan gerbong terisi angin dingin tanpa asep rokok.

Akhirnya, demi mengejar waktu, gw dan Mia menaiki kereta KRL ekonomi biasa. Tanpa AC. Dulu masih ada kereta macem gini. Banyak.

Didalam gerbong yang amat penuh, berdesakan, ada bapak-bapak, umurnya sekitar 45 tahunan. Merokok nggak karu-karuan. Asapnya ngebul kemana-mana. Ya ke muka gw, juga ke muka Mia. Mengalami nasip sial seperti itu, gw cuma pasrah menggeser-geser posisi duduk gw ke dekat jendela terbuka (well, tapi jendelanya emang kebuka semua sih hahahahahaha namanya juga kereta EKONOMI TANPA AC).

Mia ngedumel setengah mati, “susah ya emang, dasar orang kampung! nggak berpendidikan! nggak pada tau aturan, ngerokok di gerbong penuh begitu! Goblok!”

Kaget juga gw, ama omelannya si Mia. Ya gw emang sebel juga ama bapak-bapak tadi, tapi kok ya tumben gw nggak marah-marah. Malah gw ngebathin lagi, gw kenapa sik?

Padahal, for your information, gw itu biasanya selalu protes dan marah-marah, hobi ngomel deh pokoknya gw. Tapi kok sekarang kayaknya tumben aja gw nggak senewen. Apa karena faktor umur? Jiah gw makin wise gitu maksutnya? Halah.. nggak juga sih..

Well, lanjut. Sampai di stasiun tujuan, bau gw udah nggak jelas. Turun kereta, gw nyari bokap gw. Biasa deh bokap, selalu ngejemput anak kesayangannya saben malem di Stasiun dekat rumah. Rutinitas abadi. Bokap gw sambil nunggu gw, rupanya sambil ngopi. Kopi fave dia: Kopi jahe. Gw memutuskan untuk bergabung dan memesan segelas kopi hitam, tanpa jahe, dan hanya dengan sedikit gula.

Seruputan kopi pertama, panas, melonyot, membuat gw komat-kamit sebentar lalu membuka obrolan dan diskusi sama bokap gw soal perihal tadi. And, jawaban-jawaban yang terlontar dari bokap gw membuat gw mangap, nganga dan tercengang: Bahwa ini adalah ujian tentang kesombongan.

Jadi dulu, waktu gw nonton pilem “Passion of the Christ” sama bokap gw, gw inget ada penggalan adegan dimana Yesus berkata “Ampuni mereka Bapa, karena mereka tidak tahu..”. Padahal saat itu Yesus lagi disiksa, disalib, wah pokoknya adegannya: full-blood gitu lah, gw sampe ikut nangis.

Nah disitulah akhirnya bokap memberikan sedikit gambaran ke gw, jika “ketidaktahuan” akan kita membuat buta sekaligus membahayakan hidup kita.

Jadi untuk kasus TKW dan mas-mas kantoran yang kaga mao antri, serta untuk case bapak-bapak yang ngerokok di kereta api, sebenarnya sangat SIMPLE.

Mereka begitu karena mereka NGGAK TAU. “Nggak tau” berarti: maqam mereka terhadap sebuah pengetahuan tertentu: terbatas.

Dari situ, kata bokap gw, masalahnya bukan pada mereka, tetapi pada diri kita. Bahwasanya Allah sedang menguji seberapa jauh tingkat kesombongan kita terhadap segala ilmu yang telah Allah berikan kepada kita. Astagfirullah. Ini dia jawabannya.

Gw istighfar berkali-kali. Sekali lagi: rupanya ini ujian tentang kesombongan.

Karena itu seburuk apapun tampilan, sifat serta kelakuan seseorang, Allah tetap memberikan kemuliaan kepadanya. Entah apa. Itu bukan kita yang tahu dan bisa menilainya. Masya Allah.

Tanpa dibekali pengetahuan, kita betul-betul mirip ternak, yang tiap hari musti digiring kesana kemari tanpa mengetahui sebab musabab kenapa harus digirang-giring begitu.

Coba kalo semua ternak itu pintar, mestinya nggak akan perlu ada gembala ataupun dog shepperd dimana-mana. Ternak tentunya akan punya inisiatip sendiri-sendiri untuk mensinergiskan posisi mereka demi mengikuti keseimbangan perputaran jagad alam semesta raya ini.

Subhanallah.

Dan benar kata orang dulu, menuntut ilmu itu nggak cukup hanya sekedar sekolah disekolah mahal tanpa subsidi pemerintah, tapi juga harus kita cari di selipan tempat yang lain.

Kita cari di tempat orang bertumpuk berjejal bahkan berkeleweren di jalan-jalan. Di pasar. Di Warteg. Di Kantin. Di Belakang Mall. Di Mushola Sempit. Di Gang Senggol. Di tempat ibu-ibu bakul, bapak-bapak, anak-anak, orang-orang perkasa bekerja amat keras dan punya nyali besar untuk menghadapi kesengsaraan hidup.

Karena segala ikhwal kebaikan dan keluhuran budi pekerti, tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran. Dan bukan juga datang dari gedung-gedung sekolah yang memang dibangun untuk menyediakan prasarana elit, mahal, nomor satu, dan menginternasional. Bukan lagi juga datang dari jajaran laboratorium canggih yang diperuntukan agar kita menjadi orang pandai (dan TIDAK terutama agar kita menjadi orang yang baik).

Adapun hal-hal yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap sesama, kesadaran untuk meruwat keadilan dan kemuliaan, tidak merupakan urusan utama di dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan yang diajarkan di sekolah.

Sehingga kita selalu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali mengurusi kepentingan diri sendiri. Tangan dan kaki kita dilatih tidak untuk berbuat apa-apa kecuali untuk beringas memompa perut dan gengsi pribadi. Kita menjadi terdidik untuk tak paham kebersamaan. Dididik untuk menjadi segumpal keasingan, tidak untuk menjadi seseorang di tengah berbagai macam orang. Kita tidak diajarkan bisa kaya tanpa harta. Bisa makan tanpa sega. Puasa tanpa puasa. Dan beramal tanpa amal.

Dan gw sudah menemukan banyak sekali bukti, bahwa ternyata tingginya tingkat pendidikan dan luasnya ilmu seseorang, tidak membuat kasih sayang sosialnya meningkat. Karena pada hakikatnya, seperti kata Pramudya: tak ada orang terpelajar, dimanapun dia bertempat, akan melanggar hak-hak perseorangan.

dari pahitnya semua pengalaman itu, gw menyimpulkan, jika TERPELAJAR itu bukan berarti HANYA memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan memiliki perluasan ilmu yang cukup. TERPELAJAR juga berarti memiliki tingkat pengertian dan pemahaman khusus untuk mengejawantahkan jejak kehidupan. Sehingga hal itu memaksa kita untuk tunduk kepada kesombongan-kesombongan diri akibat ketidaktahuan dan kebutaan kita tentang bagaimana “tidak berdayanya” ilmu kita dimata Allah.

TERPELAJAR juga berarti mampu IQRA (membaca) kalamullah—ilmu-ilmu dari kitab Allah, yang terbentang minal masyriki ilal maghribi. Sehingga mampu membuat kita semakin paham dan mengerti lalu bersujud dan kembali merendahkan hati.[]

Tabrak Lari


Gw baru aja mengalami (almost) deadly experience: tabrak lari by mobil Yaris item. Selain sakit secara fisik, ternyata perasaan bingungnya lumayan bikin gw sempet bengong lamaaa banget. Mungkin ini yang namanya shock! Well I’m not pretty sure about that, but rasanya kaget, plain, blank, lemas, sesak, gemetar, geli, nyeri dan bingung yang tercampur baur.

Kejadiannya nggak kayak sinetron sih. Soalnya kalo di sinetron, yang nabrak pasti ganteng trus ntar endingnya si penabrak tadi bakal jadi pacar gw. Kepret, yang ada, abis gw sukses njungkel, si penabrak ya melakukan gerakan tancap gas alias kabur.

Dulu gw juga pernah mengalami kejadian nyaris mati, waktu masih jadi anak pesantren di jaman kuliah. Tapi, saat itu gw ngalaminnya nggak sendiri alias berdua sama mbak Otik, temen kosan gw. Waktu itu kami, kalo nggak salah, hampir ketiban truk fuso yang isinya full tanah merah galian.

Nah kan pas tuh! Kalaupun seandainya kami mati saat itu, orang-orang nggak perlu repot-repot ngubur lagi. Makanya, setelah tahu truknya normal alias nggak jadi jatuh ke arah kami, perut ini rasanya geliiiiiii banget, kayak naek jet coaster, sehingga malah memaksa kami untuk tertawa nggak ada habisnya.

Tapi saat dimana gw ditabrak si Yaris item itu, rasanya kok beda yah? Apa karena saat itu malam hari dan sedang hujan? Ah, I don’t know. I have noooo idea about that.

Gw ngebayangin, apa jadinya kalo gw mati disitu. Siapa yang nolongin gw? Siapa yang nelpon emak gw? Siapa yang nungguin gw di kamar mayat? Siapa yang nyolatin gw? Siapa aja yang ngelayat? Siapa yang gali kubur gw? Siapa yang paling sedih gw tinggalin? Siapa yang bakal jagain bokap nyokap gw saat gw nggak ada?

Terbayang juga pendaran wajah lelaki itu, ia tertawa dengan giginya yang gemerlapan, sangat mendebarkan dada. Tangan gw menggapai-gapai. Sempatkah gw berucap maaf untuk yang terakhir kalinya buat dia?

Semua pertanyaan itu terbungkus dalam satu flash yang melintas dan menjepit syaraf-syaraf di otak gw hanya dalam hitungan, well mungkin, millisecond. Hanya pertanyaan yang tanpa jawaban.

Ternyata begini rasanya nyaris mati.

Sebenarnya, mana yang lebih kita takuti dari kematian: kehilangan apa-apa yang kita miliki sekarang, atau ketidaktahuan kita pada apa yang akan kita hadapi setelahnya? tidak, gw nggak mau bertanya ataupun menjawab, gw telah menerimanya. Menerima untuk merasa tak memiliki siapa-siapa dan tak dimiliki siapa-siapa, berwujud pasrah, sebuah perasaan dengan titik terendah.

“Ya Rab-ku, cabut nyawaku sekarang jika memang Engkau menghendaki begitu, aku telah terpasang pasrah..”. Gw merasakan badan gw ringan dan basah.

“Neng?!!” Tersadarlah gw. Entah bagaimana, gw telah terkapar di trotoar yang basah dan licin, dengan payung yang entah terbang kemana, terguyur hujan, basah kuyup plus dikerumuni beberapa orang yang mengulangi frase kalimat asing yang tampak nggak begitu asing: “teu nanaon, neng?!”.

Doa-doa yang didaraskan oleh semua orang yang menyayangi gw membaluri seluruh jiwa dan raga gw. Masih utuh dan tak tersentuh. Betul adanya, dungone uwong tuwo iki mandhi. Doa orang tua itu manjurs. Begitu nyata gw rasakan mukzizat langit hari ini, badan gw lengkap, normal, nggak ada yang lecet, retak apalagi patah, gw masih bisa berdiri walaupun nyer-nyeran dan sempoyongan, semoga saja tak ada luka dalam.

Alhamdulillah, gw masih diberikan kesempatan untuk bertemu orang-orang yang gw sayangi, walaupun gw tau, kesempatan ini pun terbatas. []

Manusia dan Kemuliaan Status


Gw punya sahabat baik, let’s call her Manda. She’s perfect as a friend. Menyenangkan, cantik, pintar (sekaligus polos), dan luar biasa baik hati. Manda sangat gw sayangi, dan gw rasa semua orangpun begitu.

Tapi Manda punya satu masalah: Nyokapnya.

Nyokapnya Manda adalah tipikal seorang ibu-ibu pejabat golongan elit yang pernah tinggal lumayan lama diluar negeri. Well, masalahnya, setiap pembesar memang punya beberapa kecenderungan tertentu.

Misalnya saja merasa berbobot kalau sudah ngomong, lebih berbobot lagi kalau tak mendengarkan orang lain. Yang paling parah, asal menilai lalu memberi pembedaan perlakuan pada orang lain hanya berdasarkan atribut (baca kasta) yang melekat pada diri orang lain tersebut (contoh: bagaimana status keluarga, baca: lo datang dari keluarga tajir atau melarat.)

Untungnya, gw dateng dari keluarga Menengah. Kadang Tajir Kadang Melarat. Bokap gw nggak pernah jadi pejabat. Bokap gw nggak punya Villa di puncak-puncak bukit. Bokap gw nggak ngerokok cerutu import.

Karena bagi bokap gw, laki-laki nggak harus dinilai dari harta dan tahta, nilai dan tata krama yang sangat penting adalah bahwa laki-laki itu harus bertanggung jawab, laki-laki harus menghidupi. Itu saja.

Gw jadi merasa terlempar jauh ke masa lalu, saat hidup dan kebebasan masih terpasung, terkotak-kotak, dan paham feodalisme masih bercokol disetiap proses perjalanan hidup manusia. Dimana harta, tahta, status dan kebangsawanan darah itu sangat berarti, sedangkan tiada tempat lagi bagi kebangsawanan jiwa dan budi pekerti.

Gw kenal nyokapnya Manda, gara-gara suatu hari, beliau pernah telpon gw. Simple aja, cuma nanya gw lagi sama Manda apa nggak. Kebetulan waktu itu, gw pulang cepet dari tongkrongan, jadi gw nggak tau si Manda pergi kemana. Gw pikir that’s it, setelah gw bilang gw nggak tau Manda dimana, telpon bakal ditutup, dan pembicaraan bakal selese.

Ternyata gw salah, selain melakukan “underground-stalking” menanyakan Manda dan segala aktivitas Manda di luar rumah, nyokapnya Manda juga menanyakan secara mendetail tentang hal ikhwal siapa gw, tentang what I do for living, tentang pekerjaan orang tua gw, tentang kuliah gw dimana dan ngambil jurusan apa, dimana gw tinggal, gw punya pacar atau nggak, dsb dsb.

Semua pertanyaan itu, gw jawab dengan jujur. Dan dari situ lah Nyokapnya Manda tau latar belakang keluarga gw (yang ternyata bukan keluarga darah biru. Lha wong darah gw merah kok).

Well, mulanya gw agak risih dan bingung, Karena gw pikir, emang penting ya nanya bokap gw siapa dan pekerjaannya apa? tapi buru-buru gw tepis semua kekhawatiran dan prasangka jelek gw tentang itu. Yah namanya baru kenal, wajar jika ingin tahu lebih banyak.

Setiap nelpon gw, nyokapnya Manda selalu menekankan (atau lebih tepatnya mengancam) agar gw nggak ngasih tau Manda jika selama ini nyokapnya suka telpon gw. Karena, Manda bakal marah ke nyokapnya kalau aja nyokapnya ketauan mata-matain Manda dari belakang. Gw pun menurut, “Sendhiko Dawuh, Tante, aku janji nggak bilang Manda”.

However, mentang-mentang gw bukan berdarah pepsi blue, semakin lama, nyokapnya Manda semakin bersikap seenaknya dan tidak bisa mengontrol kata-kata dan intonasi bicaranya saat nelpon gw. Beliau selalu bicara dengan nada tinggi, membentak dan memberi perintah selayaknya bendoro ke babunya.

Namun, gw kok rasanya semakin yakin jika memang BETUL gw diperlakukan berbeda sama nyokapnya Manda. Karena secara nggak sengaja, kawan setongkrongan yang lain (sebut saja Lila) cerita bahwa dia juga ditelpon nyokapnya Manda, Sependapat, temen-temen tongkrongan gw yang lain juga begitu, ikut ditelpon sama nyokapnya Manda.

Bedanya, ke temen-temen gw yang lain Nyokapnya Manda begitu halus, lembut, baik, dan sangat sopan. Nah Lo. Bahkan pake kata-kata panggilan ‘Sayang’ segala.

Tadinya gara-gara itu, gw sempat berprasangka mungkin setiap nelpon gw, sampe pake otot dan marah-marah karena beliau lagi PMS atau senewen sama hal lain aja, trus kebawa ke gw. Yah, lagi apesnya gw aja.

Seminggu, dua minggu berlalu, sebulan pun lewat. Nyokapnya Manda udah jarang banget nelpon gw.

Nah, di suatu malam, gw nongkrong lagi sama temen-temen gw, Manda juga ikut. Kami ketawa-ketawa, Karaoke, cela-celaan sampai kelaperan. Setelah itu kami memutuskan untuk cari angkringan, makan dipinggiran jalan. Tanpa diduga, HP gw bunyi. Caller: Nyokapnya Manda.

Gw excited (campur panik). Gw pikir saat itu adalah kesempatan baik buat gw untuk ngerubah imej gw supaya akhirnya nyokapnya Manda bisa baik sama gw. At least worth to try. Nggak ada salahnya dicoba.

Namun hasilnya.. diluar ekspektasi gw.

“Udah deh!! Tante nggak bisa tahan lagi!!! Kamu dan teman-temanmu itu sudah keterlaluan dan semakin liar!!! Nggak bisa kontrol waktu dan nggak terkendali!!! Pokoknya..!! Tante mau Manda pulang sekarang!!!”.

Cuma itu kata terakhir yang gw inget dari nyokapnya Manda sebelum Beliau nutup telpon. Entahlah, saat itu, rasanya ada yang retak dihati gw. One simpel question: WHY ME??? Apa karena gw miskin trus dia boleh bersikap begitu sama gw?

Berusaha sabar, Gw inget-inget kata-kata temen gw, si Misro. Dia pernah memberi nasehat ke gw bahwa Tuhan mempunyai maksut tertentu dengan memberikan kita dua buah mata. Mata yang kanan untuk melihat kebaikan, yang kiri untuk melihat keburukan. Mata kanan untuk melihat Kebaikan pada orang lain dan Mata kiri untuk melihat Keburukan pada diri kita sendiri.

Amarah gw pun mereda. Karena ‘mata’ ini harus bisa melihat dengan benar secara fungsi yang dijelaskan diatas tadi. Ada hikmah yang harus diurai dibalik semua kejadian ini. Dan ada pelajaran yang Tuhan mau berikan ke gw.

Kata guru ngaji gw, manusia bukanlah makhluk mulia, namun manusia diberikan potensi kemuliaan. Manusia menjadi mulia ketika potensi kemuliaannya difungsikan, sebaliknya, manusia dapat menjadi hina ketika potensi kemuliaannya diabaikan.

Seseorang tidak menjadi terhormat karena ia seorang pejabat atau direktur, serta tidak menjadi rendah karena ia seorang sopir, satpam atau kuli bangunan. Kehormatan seseorang terletak pada bagaimana ia menyikapi posisinya, bagaimana ia berperilaku pada fungsinya.

Manusia yang paling beruntung adalah kalau ia punya jabatan tinggi sekaligus memiliki kesantunan dan kearifan kepada bawah-bawahannya. Dan manusia yang paling sial adalah kalau sebagai seorang kuli ia masih saja suka tidak jujur dalam pekerjaannya.

Ah, jika saja Nyokapnya Manda mampu mengingat bahwa dibalik semua kehormatan, mengintip kebinasaan, dibalik hidup adalah maut, dibalik kebesaran adalah kehancuran, dibalik persatuan adalah perpecahan, dibalik sembah adalah umpat, pasti beliau akan memperlakukan gw lebih baik lagi.

Semenjak itu, gw jadi autis menjelang tidur, lama terjaga dikegelapan kamar. Dan gw jadi merasa tenang saat menikmati indahnya cahaya lampu teras rumah yang masuk dan jatuh melewati kisi-kisi blindfolded jendela.

Semburat cahaya akan membentuk garis gelap-terang teratur ditembok kamar. Gelap lalu terang. Kemudian gelap dan terang kembali. Begitu sederhana, seperti halnya hidup. Karena memang tidak ada yang lebih sederhana dari hidup: lahir, makan, minum, tumbuh, beranak-pinak, dan berbuat kebajikan.

Ya, berbuat kebajikan. []

Menggali Keimanan di Negeri Terbuang

Plaza Senayan. 19:30. Gw clingak clinguk sendirian. Entah sudah berapa ratus kali jus berwarna merah centil didepan gw, gw aduk-aduk nggak karu-karuan. Pun setiap orang lewat, sepertinya, memandang haru ke gw. Well of course, that’s because I’m the one who’s sitting alone there. Tapi gw nggak resah, justru gw biasa aja. Gembira malah.

Sudah beberapa minggu ini gw hadir dan eksis kembali di Jakarta tercinta, yang sumpek, uyel-uyelan dan nggak kalah semrawut bin macet bak neraka, walaupun sebenernya gw belum pernah mampir kesana. Bukannya belagu, after all, gw ngerasa kehilangan sesuatu aja.

Gw mulai kangen temen-temen gw di negeri nun jauh disana. Juga kangen sama para BMI (Buruh Migran Indonesia) yang tiap minggu ngumpul di Victoria park. Ah, BMI, yang jumlahnya ribuan. Ribuan rakyat kecil yang pergi merantau menjual tenaga kasarnya, diusir oleh kemelaratannya sebagai warga dari suatu negara yang sebetulnya sangat kaya raya. Inilah gw, kelamaan kerja di Luar Negeri, alhasil gw jetlag dong di negara gw sendiri.
Kemaren, sumpah loh, gw kaya orang bego dipinggir jalan, gara-gara bingung, mau nyebrang, tapi nggak ada zebra cross, nggak ada traffic light buat pejalan kaki/pedesterian.

Jadi selama kurang lebih 15 menit gw diem aja dipojokan, gw asli nggak merasa aman, mobil disitu kenceng-kenceng semua, dan gw nggak tau, apakah nyebrang disini, pada dasarnya, boleh apa nggak. Sampe suatu ketika, ada anak SMA nyebrang aja dengan santai sambil SMS-an. My God! Puyeng gw liatnya.

Belum lagi rasa kangen gw sama burung-burung gereja yang imut-imut lagi nurut, yang nemplok seenaknya dimana-mana. Plus para burung dara yang bebas centil bermain ditaman-taman kota, tanpa harus takut disiksa, ditembak, digoreng, ataupun dibumbu kecap.

Tapi itu belum ada apa-apanya dibanding cerita gw yang berikut. Hahaha, beneran bikin gw geli sekaligus kesel soalnya.

Tiap hari, gw ngantor naik kereta. Kereta yang gw naiki cukup aman, ber-AC, tempat duduk empuk, yang naik wangi-wangi. Tapi meski wangi, mereka itu ya masih ada aja yang ndak beli tiket. Karena mekanisme/manajemen baik jadwal ataupun pentiketan di perkereta-apian kita masih jauh dari standar pemenuhan kata: “layak”.

Suatu Sore menjelang malam, disebuah kereta yang walaupun padat namun tak kunjung merayap, seorang Mbak berdandan Menor yang duduk disebelah gw colek-colek lalu bertanya: “eh, ini tiket keretanya berapa ya?”.

Gw jawab “lima ribu, mbak”. Kami diam kembali.

Beberapa saat kemudian, Mbak berdandan Menor itu tiba-tiba tanya lagi: “Kalo nanti kondekturnya lewat, kasih berapa ya biasanya? Saya lupa BELI karcis nih, tadi buru-buru.” (padahal gw juga buru-buru, tapi gw bela-belain beli tiket).

Ditanya begitu, gw gelagepan, tapi gimanapun, gw nggak mau bikin Mbak berdandan Menor itu panik, gw tetap berusaha adep silokromo, “ya kasih aja seikhlasnya, mbak. Biasanya sih sama, barangkali 5000 rupiah.” lalu gw tersenyum.

Eh tau-tau, si Mbak berdandan Menor tadi nyinyis, memandang gw dengan tatapan nanar, “Ih, saya sih jujur aja ya mbak, sudah biasa ikut prosedur (beli karcis), warga negara yang baik loh saya, jadi ngga biasa yang main-main belakang gitu, ini kan karena tadi buru-buru aja, makanya nggak beli karcis, lupa”, Mbak berdandan Menor itu membuang muka, seolah walaupun dia yang salah kaga beli karcis, tapi tetep ajeh gw yang jadi hinaaaaa banget (walaupun beli karcis), karena mengerti sisi gelap praktek kolusi ticketing terselubung diperkereta-apian Indonesia.

“Lah..! Slompret yak!”.

Meringis maksa, KZL. Well, as I recall, gw cuma bisa ngamuk didalam hati aja, walaupun sebenernya gw pingin banget nyeteples karcis kereta gw, dibulu mata palsu si Mbak berdandan Menor yang terpasang amburadul itu.

“Enak aja, Asal lo tau!! gw kaga pernah absen beli karcis!!”. Tapi ndilalah, cuma dalem hati doang. Susah memang kalo punya watak sumbadra kayak gw, ditindas terus! Hahaha.

Hm, jadinya kerasa bener banget kata-kata pak motivator di tipi: “bergaullah dengan orang-orang baik, agar kita mudah berperilaku dengan baik”. Mungkin Mbak berdandan Menor itu mainnya tau deh sama orang apa. Orang-orangan sawah kali, makanya sawan. Hehehe.

Well, life is just like taking picture, exposes for shadow and develop for highlight. Jadi karena kejadian-kejadian tadi, gw nggak lantas serta merta benci sama Jakarta, lalu mau ikut pindah ke negara yang jauh lebih civilized dari Jakarta (tanpa bermaksut menghina Jakarta tercinta).

Bagaimanapun beratnya, manusia tetap memiliki rahasia kemampuan dalam mengatasi alam. Apabila batasan rahasia itu terbuka, maka manusia bukan saja menjadi transendental atau bebas dari kungkungan alam, tapi juga sekaligus berarti ia menapak ke level yang lebih tinggi, yang semestinya memang ia tempuh.

Masih banyak yang bisa dijadikan pelajaran hidup disini, banyak orang-orang mulia yang hidup sederhana. Yang memulai hidup dan menggali keimanan mereka melalu titik terendah yang pernah mereka alami.
Makanya, gimanapun, gw tetap cinta Indonesia. Cintaaa banget..!

Dari sini gw bisa belajar arti sabar menunggu macet, syukur bisa disambi membuka dialog dengan Tuhan, ngobrol sendiri ngalor ngidul, dari hati ke hati yang bersifat pribadi.

Disini gw bisa belajar arti kewaspadaan dan keberanian untuk nyebrang jalan tanpa rambu/tanda apapun, syukur bisa disambi komat kamit menyebut (mengingat) nama Tuhan memohon keselamatan setiap kali melangkah nyebrang.

Disini gw juga bisa belajar mengkondisikan amarah sebagai inversi suatu joke kiriman Tuhan, syukur bisa disambi berpikir bahwa jika Tuhan maha humoris, kenapa kita tidak turut tertawa dan menerima rahmat tersebut dengan tangan terbuka yang selebar-lebarnya?

Tuh gimana negara kita tercinta Indonesia nggak ngangeni?

“drrrrrttt.. Drrrttttt..” Ponsel gw bergetar.

Jus merah centil didepan gw mulai mencair. Gw hentikan perputaran konstan sedotan ditangan yang sedari tadi seperti mengaduk-aduk segala angan.

“hallo?”
“hey, aku udah didepan McD, kamu dimana?”
“aku didepan tamani express”
“Coba kamu berdiri deh”

Gw pun dengan sigap berdiri. Melihat seorang laki-laki biasa dengan bola mata yang cahayanya mampu menenggelamkan dunia gua. Yang tiap tatapannya mampu menyusuri tiap mimpi-mimpi gw selama ini. Dia melambai dengan ceria.

Yang bikin kangen, udah dateng![]

The Breaking Windows

Zikhry, temen gw, dari tadi ketawa-ketawa aja disebelah. Trus dia cerita, dia lagi bikin rusuh disuatu milis, katanya, milis lagi seru ngebahas disahkan atau nggaknya si-RUU Pornografi. Dimilis itu ada seseorang yang nanggapi serius komentarnya Zik yang anti RUU. Ya walaupun gw juga anti RUU, tapi gw suka males ngebahas hal-hal nggak jelas lagi nggak berujung pangkal kayak gitu.

Entahlah, gw berasa makin judeg, makin masa bodo. Gimana nggak masa bodo, pusing guah, ngeliat orang yang lebih seneng berantem daripada adem ayem, ngeliat orang yang lebih memilih jadi apatis daripada mikir gimana mengeliminasi jurang perbedaan SARA secara lebih efektif dengan optimis.

Udah lumayan jamuran juga gw tinggal dinegara yang sumpah lo, bebas banget. Sangking bebasnya, lo boleh ngelakuin apa aja asal tidak merusak properti milik perseorangan ataupun pemerintah, dan tidak menyakiti orang lain (intinya nggak menyalahi aturan yang berlaku). Setidaknya gw sekarang mulai rada nggak perduli orang mau kayak gimana, mereka punya hak kok untuk itu, toh dia kagak nyenggol guah dalam merealisasikan hak-hak mereka itu.

Dulu, semisal gw punya temen sekantor yang udah tinggal bareng dan kasarnya berzina tiap hari, mungkin gw akan menjustifikasi secara negatif lalu pergi dari orang itu, walaupun pada kondisi sebenernya, nih orang innernya baik. 
Tapi sekarang gw udah mulai belagu, mulai sok barat. Hehehe.

Yang pasti, selama temen gw tadi masih bersikap baik sama gw, gw bakalan tetep baik juga sama dia. Perihal dia mo ngapain kek, itu urusan dia sama Tuhan.

Tapi lantas, gw tergugah, gw berpikir kalau masalah ini, ternyata nggak sesimple dan seliberal itu. Gw inget obrolan gw sama Zikhry tentang kasus “the breaking windows”. Intinya, moral cerita “the breaking windows” adalah ingin memberitahukan kita, jika sebuah kejahatan itu, minimal, selalu bermula dari ignorance (ketidakpedulian).

Cerita “the breaking windows” itu lengkapnya begini: jika ada seseorang, sebut saja Mastur. Mastur tiap hari lewat disebuah rumah. Rumah itu dilihatnya selalu kosong. Lalu karena tampak tak berpenghuni, timbul rasa iseng si Mastur. Ditimpuklah salah satu jendela rumah pake batu bata, PRANG!!! satu kaca pecah.

Keesokan harinya Mastur lewat lagi. Jendela yang bolong itu masih disana. Rasa iseng si Mastur muncul kembali. Didekatinya rumah kosong itu, lalu dipecahkan kembali kaca yang lain. Begitu seterusnya, sehingga rumah itu akhirnya dibakar oleh si Mastur.

Lalu, apa kaitannya dengan ketidakpedulian?

Hm, seandainya ada orang yang perduli saat itu, lalu mengganti kaca yang ditimpuk si Mastur, tentu Mastur akan berpikir lagi untuk melakukan aksi timpuk-menimpuk yang kedua. Pastinya Mastur mikir dong: Oh, rumah itu ada orangnya loh!

Toh, walaupun Mastur pecahkan lagi, dan seseorang yang perduli tadi kembali mengganti kaca yang pecah. Lama-kelamaan, percaya deh, Mastur capek dan nggak akan melakukan aksi anarkis itu lagi.

Hal ini juga kejadian di Amrik (apa dimana gitu, gw lupa). Jadi waktu itu tingkat kejahatan di stasiun kereta bawah tanah sangat tinggi. Sepele banget sebabnya, cuma gara-gara coret-coretan ditembok stasiun (wall-grafiti).

Kalo nggak salah, waktu itu dimulailah aksi anti-ignorance tadi. Para polisi kota itu, setiap hari (iya EVERYDAY) melakukan pengecatan tembok yang digambari grafiti. Walaupun malamnya akan timbul grafiti baru, tapi siang harinya, polisi akan mulai mengecat ulang lagi. Demikian seterusnya. Sehingga tingkat kejahatan di stasiun kereta bawah tanah kota itu betul-betul menurun drastis.

See? hanya dengan cara yang sangat sederhana (namun butuh kesabaran, animo tinggi, serta mental yang betul-betul sober and sane), kita akan betul-betul mampu menekan tingkat kriminalitas. Amazing!

Tapi yang terjadi sekarang apa? Masyarakat kita sudah betul-betul cuek bukan kepalang. Bagi gw, semua tindak diam (atau pura-pura nggak ngerti/nggak liat) terhadap semua kejahatan, baik yang mengatasnamakan Agama atau nggak, itu ibarat kecanduan ngerokok.

Lo bisa jadi sangat paham jika merokok itu berakibat buruk untuk kesehatan. Tapi semua efek samping buruk itu tetap nggak cukup untuk membuat lo berenti ngerokok. Karena secara nggak sadar, lo mulai menikmati ritualnya: the slender shape of cigarette, the way the tobacco smolders, the fragrant smoke curling around your fingers. ya kan?

Gw jadi inget, gw dulu suka banget sama satu film judulnya: se7en. Suka bukan gara-gara aktor yang maen ganteng (Brad Pitt), tapi gw demen banget ama penjahatnya, si serial killer: John Doe.

John Doe ini melakukan konsep pembunuhan berantai sesuai sama 7 list dosa besar yang harus dihindari: gluttony (kerakusan), greed (ketamakan), sloth (kemalasan), envy (iri), wrath (angkara murka), pride (kebanggaan), dan yang terakhir lust (nafsu birahi).

Suatu hari, John Doe ini menyerahkan diri begitu aja ke kantor polisi. Setelah diinterogasi, banyak kata-katanya yang kerasa mak njuss di bathin gw, dan itu membuat gw berpikir, bisa jadi si John Doe ini, walaupun pembunuh sadis, sebenarnya dia malaikat utusan Tuhan.

John Doe bilang: “We see a deadly sinner in the corner of the street, at home, and we tolerate it. We tolerate it because it’s common. It’s true (that) we tolerate it morning, noon, and night. Well, not anymore. I am shitting the example. And what I’ve done is gonna be puzzled over, and studied, and followed, forever.”

Gw pikir si John Doe ini benar. Kita terlalu biasa mentolerir segala dosa yang lewat depan mata kita demi sebuah kata: toleransi dan pengertian.

Yah walaupun gw juga ngerti, pada dasarnya kita juga nggak boleh memaksa penghapusan ketidakperdulian tadi melalui kekerasan!

Kalau kata orang intelejen: percuma menyiksa orang untuk mendapatkan keterangan penting, karena nantinya, melalui siksaan itu, orang tadi akan mengaku. Tapi mengaku dalam rangka untuk mengurangi rasa sakit akibat siksaan yang dia derita, bukan karena kebenaran yang ingin dia ungkap. Jadinya malah kebohongan kan yang didapat? Percuma dan sia-sia aja kalau gitu kan?

Gw tipikal orang yang sangat-sangat asertif (ya untuk ya, dan nggak untuk nggak). Tapi jujur, gw bingung. Gw sendiri belum menemukan titik penyeimbang antara harus jadi manusia yang memiliki sikap toleransi tinggi, atau jadi manusia yang sepenuhnya peduli dalam rangka menumpas kejahatan dimuka bumi (alakh..).

Kata pepatah kuno: Life without risk is a life unlived. So, sebenere gw nggak harus milih. Justru gw harus menyeimbangkan kadar dari keduanya: Manusia dengan toleransi tinggi namun peka dan peduli terhadap kondisi masyarakat tempat dimana dia bernaung. Nggak realistis memang, tapi gw akan berusaha kesana.

Yin dan Yang, harus ada keseimbangan. Itu yang paling penting.[]

Cara Mengkritik

Masih jam kantor. Gw usap-usap ujung jejari tangan gw. Jari gw pada lecet-lecet dan nyut-nyutan gara-gara motongin (setengah meteran) satu rol kabel CAT-5, trus di krempling satu-satu ke RJ45. Kalo satu rol ada sekitar 50 meter, gw ngerjain 100 kabel LAN berarti, duh.

Well, sebenernya asyik juga sih, secara gw terkadang suka mendadak autis. Sekalian lah dalam rangka nostalgia juga, ngerjain tugas prakarya kayak jaman SD.

Gw usap lagi pelan-pelan. Yah ujung jari gw jadi.. kasar. Hm, gw berpikir gila sejenak, amatlah sungguh malang laki-laki yang nanti seumur hidup menggandeng tangan gw, yang gw raba wajahnya saat dia lagi demam atau meriang, yang gw sentuh bahunya perlahan dengan maksut menguatkan untuk bangkit lalu menjalani hidup.

Ya tentu karena apa yang dia harapkan dari kecil (believe me, men always do), dapet seorang putri jelita yang tangannya halus putih gemulai bak sutra, eh ini malah dapet tangan gw: kasar-kasar dan rada gelap lagi. Hahaha.

Lagi asik-asik becanda ama pikiran gw sendiri, eh ponsel gw jumpalitan. Satu message di inbox. Hm, gw senyum senyum aja bacanya. Dari seorang teman, teman menggila gw (sebut saja mas Alang). Oh, rupanya mas Alang rada protes soal penilaian gw terhadap foto beliau di salah satu situs fotografi tanah air.

Sambil nyengir, gw taro lagi ponsel gw disamping tumpukan configurasi file yang sudah selesai gw kerjakan. .

Hidup ini tercermin dalam lingkaran dualisme, baik secara kebendaan ataupun secara sifat. Namun, manusia cenderung hanya mau menerima separuh dari lingkaran tersebut. Menerima kelahiran, tapi tidak kematian, menerima kemenangan tanpa menoleh pada kegagalan, meraih glamoritas dunia, bukan akhirat. Padahal the true liberation itself comes from appreciating the whole cycle (fully!). Dan bukan hanya sekedar berpegang pada separuh bagian, dimana kita merasa cocok dan nyaman disitu.

Jadi inget, sekitar hampir seminggu lalu, gw pernah bersitegang dengan seorang om-om, karena umurnya 44 tahun katanya. Gara-gara debat pada salah satu forum diskusi. Dia marah sekali dengan kritikan gw. Sampai dia perlu repot-repot mengirim mail dan menjelaskan panjang lebar tentang dirinya. Berasa HRD aja gw, pakek nerima CV segala. Hehehe.

Beliau menjelaskan nama, asal-usul, umur, profesi, tempat bekerja, jabatan, banyak anak buah yang dimiliki untuk saat ini, keadaan keluarga, anak, istri, serta nana dan nini yang lain. Gw cuma mengelus dada. Sambil nyengir tentunya.

Heran aja gw. Ternyata selama ini seorang manusia belum boleh dinilai dari cara berpikirnya tanpa melibatkan atribut yang melekat didirinya, dihargai dari ketenangan dan kebijaksanaan jiwanya bukan dari jabatan serta banyak anak buat yang dia miliki. Well, it¡¦s so much oldies sekali man! (bukan konservatif, karena ada kalanya konservatif itu baik).

Emosi timbul ketika seseorang mengkritik kita, mengacuhkan kita, menyepelekan kita atas sesuatu hal yang kita peroleh, dan diluar itu, sebenarnya kita nggak setuju, kita malah dengan angkuhnya beranggapan jika kita berhak mendapatkan lebih dari itu. Dan parahnya, orang kadang suke ketlisep (misuderstand) tentang pengertian mengkritik dan menghujat. Mengkritik itu walaupun pahit tapi tetap berbuah solusi. Tapi kalau menghujat, ya hanya berkoar-koar tanpa solusi, bahkan tanpa mengikuti norma-norma serta etika yang jelas.

Dari semula, kita memang bermasyarakat namun kurang memperhatikan estetika, karena kita tak pernah dididik untuk memiliki taste yang baik dalam bergaul, tidak dididik untuk beradab, tidak dididik untuk memperhatikan martabat, derajat, serta kemuliaan sebagai manusia.

Memang sih, gw akui, within each emotion there is always an element of judgement. Selalu tetap ada yang dinilai. Misalnya ada seseorang yang berpendapat: “gw kan temen lo, maka lo nggak boleh ngeritik gw”. Nggak gitu brur.

Suatu hari, gw juga pernah berantem sama Zikhry di subway. Gara-gara menurut Zik, gw selalu berkelakuan baik sama orang karena ada ekpektasi lebih. Maksutnya gini, gw baik sama orang, dan (gw berekspektasi) orang lain juga harus baik sama gw, tapi kalo pada kenyataannya orang itu nggak baik sama gw, ya gw bakal kecewa, dan itu menurut Zik nggak worthed aja, mending cuek, orang mau ngapain juga terserah.

Trus pada end line kalimatnya, klise, kata-kata yang sangat typical keluar dari seorag Zikhry, sebuah iklan: “kalo gw sih..”. I don’t care kalo elu. This is me, this is who I am.

Akhirnya saat itu dengan marah gw tereak “Lo sinis banget ya jadi orang?!”. Walaupun padahal tadinya gw hampir menerima kritikan Zik. Kalo aja dia nggak iklan.

Ah, mungkin Tuhan nggak (atu belum) mengizinkan gw untuk jadi orang cuek kayak Zik. Kami berdua sama-sama Aries, mungkin karena itu kerasnya sama. Yah tapi walaupun besoknya tetep biasa lagi, gosip-gosip lagi. Namanya kawan. Yasyuddu ba’dhuhum ba’dho, saling memperkuat satu sama lain. Kalau kata Recto Verso-nya Dee, ada keindahan di balik penderitaan, ada kegembiraan di balik penderitaan, semuanya ada dua sisi. Secara cuman Zik juga temen gw disini ya akhirnya ujung-ujungnya, walau manyun-manyun gw tetep baekan sama dia.

Balik lagi ke urusan emosi dan kritik tadi. Intinya, adalah diri kita sendiri sebagai makhluk, hanya sebatas makhluk, yang menciptakan ketakutan itu sendiri. Ketakutan terhadap neraka, surga, kekalahan, umur, kekecewaan, sakit hati, kebenaran, kejujuran. Seperti yang pernah gw diskusikan kepada seorang guru yang gw anggap ayah, bahwa jujur itu sulit, tapi menerima sebuah kejujuran itu jauh lebih sulit.

Apapun yang terjadi, kalau kita menciptakan destruksi, artinya jika kita melakukan perbuatan yang kita yakini benar, tapi dengan toriqoh, kafiyah, siasah, atau cara, yang ternyata menciptakan destruksi, itu tetap tidak lulus dalam teori kesalehan sosial. Menimbang definisi dari DR.H.Mohammad Sobary, kesalehan sosial adalah ketika perbuatan baik didalam ide dan gagasan kita itu baik serta diaplikasikan secara tidak menimbulkan masalah sosial.

Jadi jika kita baik, tapi dalam penerapannya menimbulkan satu masalah, ada orang yang menderita karena kebaikan kita, menjadi tidak sholeh. Sholeh adalah kita kebaikan kita lulus menjadi kemaslahatan sosial, rahmatan lil alamin untuk orang banyak.

Semoga lain kali kita semua dianugerahkan kesolehan serta kearifan budaya, sehingga kita mampu untuk mengkritik orang secara baik, lalu orang yang dikritik malah akan berterimakasih dan minta nambah (demi kebaikan dirinya sendiri). Amin.[]

Lelaki dan Kedangkalan Pikiran

Beberapa waktu kemarin gw mulai berani untuk membuka diri perihal memulai sebuah relationship. Tapi berangsur-angsur (untuk sekarang) keterbukaan itu kok rasanya pengen gw tutup lagi. Gw jadi parno ajeh gara-gara si Zikhry.

Kemarin di subway, Zikhry cerita, katanya kalo mau nikah itu, kita harus cek kesehatan. Gw cuma diem aja, gw yakin pasti cerita si Zikhry ini kelanjutannya aneh-aneh. Akhirnya bener dugaan gw, Zik cerita kalo temennya dia (sebut saja Bang Udel) nyaranin, kalo misalnya elo mau nikah, supaya nggak ada rasa was-was, penyesalan, penasaran, atau apa lah sebelum nikah, harus diadakan dialog terbuka untuk saling jujur.

Paling nggak alur dialognya ya seputar si cewek masih perawan atau nggak, si cowok udah pernah begituan belum, punya sejarah penyakit apa aja. Ya intinya, demi masa depan cemerlang gitu loh. Gw menganggap semua itu merupakan hal yang wajar, secara emang hidup gw lurus dan normal-normal aja, ya dialog kayak gini nggak jadi masalah buat gw. Ya ngga?

Tapi yang jadi concern mendasar gw (bahasa simple: bikin gw senewen) adalah sewaktu Bang Udel berstatement:

“Semisal dialog itu nggak berhasil, dan you masih belum percaya apakah tu calon bini lo jujur apa kaga, ya lo harus cek langsung, kalo perlu (ekstrimnya) lo suruh dia bugil (tuing tuing tuing). Supaya lo kagak kaya beli kucing dalem karung. Siapa tau bini lo toketnya gede sebelah atau bulu ketekan. Wajarlah, hanya sebatas cek up ala militer gitu. Ibaratnya kan, lo mau beli barang buat dipake seumur hidup, kalo tau-tau lo dapet barang apkiran hayo?! ntar bakal nyesel dah lu.”

Anjrit. Gw beneran tersinggung kali ini. For God’s sake, apa maksutnya barang apkiran? Barang second grade? Barang kw-2? Apa kabarnya kalo cewek itu juga manusia? Punya perasaan, nalar, naluri dan juga emosi. Edan cowok-cowok jaman sekarang!

“Tapi lo pikir lagi deh rum, bener juga kan? Loe realistis aja deh, kalo misalnya calon lo itu nggak perfect, gimana?” Kalimat terakhir dari Zikhry itu bener-bener nampol. Weh, dunia kayanya kejam banget terhadap kaum perempuan. Kenapa jadi kami yang musti telanjang? Kenapa juga jadi kami yang harus dites dan dibuktikan?

Kalo misalnya abis disuruh bugil ternyata nggak cocok? Tetep direject? Atau nggak jadi beli? Muke gile. Serius dah, sakit tau nggak mendengar kenyataan kalo ternyata jenis cowok kayak Bang Udel masih berkeliaran dimana-mana. Nyali gw jadi ciut lagi. Secara gw emang kagak percayaan ama cowok anaknya. Hilang deh semua khayalan gila gw about how we still can fall in love, but in a free way, even without any fear of being rejected.

Trus gw tanya ke Zikhry, kalo misalnya pacarnya dia sekarang memang apkir, alias kaga perawan, gimana? Zikhry njawab sambil cengar-cengir: “ya kan dia udah berani jujur. Mending jujur kayak gitu, setidaknya ya gw masih bisa terima, gw anggap itu karma gw ajah.”

Gw potong: “Kok gitu?”

“Ya iyalah, daripada gw menemukan ketidaksempurnaan itu sendiri? Hayoh, lebih sakit ati lah gw. Kalo udah gitu mah, paling ekstrimnya, gw.. kawin lagi..”

Hm, jadi kangen Zuber, laki-laki ini dulu selalu mensemangati gw kalo gw lagi mellow, dan selalu protes kalo gw selalu ngedumel soal kelakuan cowok yang nana dan nini. Kalo udah mentok, si zuber biasanya bilang: “kalo mau diterima apa adanya, ya harus bisa menerima apa adanya”. Dalem banget tuh kalimat.

Hm, hari dimana Zikhry ketawa-ketawa menceritakan semua hal tadi emang dah lama lewat. Tapi masih ada berasa pilu aja gw. Daripada manyun puasa-puasa, gw memutuskan untuk jalan-jalan sendiri pas wiken. Eh pas banget baru berapa meter dari kosan, hujan, mana gw nggak bawa payung, yah nasip.

Udah hampir seperempat jam gw berdiri mandangin hujan. Hujan kali ini terlalu basah untuk ditambah air mata. Yet for a serious seeker seperti gw, inspiration is everything. Jadi, mau bagaimanapun berasa gundah hati ini, tetap harus ada hikmah yang diambil.

Well, reality is not necessarily lethal, tetapi (at least) kudu mampu membuat kita berpikir satu dua kali untuk lebih waspada terhadap hidup dan tetep kembali pada jalur shirotol mustaqim (jalan yang lurus). Toh sekalipun misalnya jalan kita nggak lurus, Tuhan yang Maha Baik pasti akan tetap mengizinkan kita untuk berputar.

Kesempurnaan itu sendiri merupakan suatu identitas. Dan identitas tidak boleh dibentuk, identitas harus selalu terbentuk dari dalam. Karena ketika identitas hanya merupakan susunan orisinalitas yang notabenenya dibentuk maka kesempurnaan hanya akan menjadi kosmetik.

Lain halnya jika kesempurnaan itu terbentuk dari dalam, hal itu akan menjadi identitas yang matang. Dan identitas yang matang adalah identitas yang berguna bagi penyandangnya.

Like Buddha ever said once: Do not mingle (bercampur, bergaul), because you have different intentions, therefore your views are different and your actions will of course be different. Walah, mbuh lah. Ila allahi marji’ukum – Kepada Allah kembalimu semuanya.

Well, thinking that someone is beautiful is only a concept. But have you ever thought: what is beauty? We may say that it is in the eye of the beholder. Nah makanya didalam geraian rintik hujan, gw sedikitnya mulai dapet pencerahan, jika mungkin, someday, somehow, gw bakal nemu cowok yang cinta dan nerima apa adanya gw, tanpa harus nyuruh gw bugil. Jadi gw semestinya nggak boleh jiper cuman gara-gara Zikhry cerita hal konyol beginian.

These kind of problems are just like the sky, which has no end in space. Bisa jadi ini Cuma sekedar perihal yang ingin disampaikan Tuhan melalui bala tentara langitnya ke gw, bahwa sesungguhnya the real source of fear is ‘not knowing’. Kalo kata bokap gw: “Wes nrimo ae nduk, jo keakehan mikir, uwong ki wes ono dalane masing-masing”.[]

Tentang Sedekah

Semenjak puasa, gw jadi Narkoleptik (suka ngantuk berlebih kalo siang), dan percayalah, saat itu gw pengen bet bales dendam, jadi nanti abis teraweh gw bertekad mau langsung molor. Tapi pas udah jam abis teraweh, ngantuknya malah ilang. Asem. Ngajak berantem banget kan??

Tapi memang kalau malam, gw jadi jarang ngantuk. Mungkin karena pikiran gw suka mengambang kemana-mana, terlalu liar..! (Jangan mesum loh).

Coba deh lo bayangin, gimana gw kaga mikir? Ternyata masih aja ada orang macem gini. Orang yang dengan sangat entengnya mampu ngasih tips 50 dollar ke doorman untuk ngebukain pintu, sementara diwaktu yang lain orang ini masih maksa nawar kaos dipedagang kaki lima sampe abis-abisan, padahal kaos itu harganya cuma 15 dollar. Gila man! Itu seorang pedagang kaki lima yang ibaratnya banting tulang siang malem buat ngasih makan anak dan keluarganya gitu loh.

Well, gw tau, semua orang itu nggak sama. Tapi mbok ya’o.

Gw tanya sama temen sekantor gw, dengan harapan, mungkin cuma orang tadi aja yang begitu, “elo kalo ada orang minta-minta, lo kasih duit nggak dul”. Temen gw njawab “ya nggak lah, kebiasaan, duit tuh nyarinya pake keringet, pake kerja keras, enak aje”.

Lalu beberapa hari selanjutnya, gw tanya lagi, “kalo misalnya dia nggak ada kerjaan lain selain ngemis, lo masih nggak mau ngasih juga?”. Bisa ditebak, temen gw jawab “nggak lah!”.

Lalu beberapa hari setelah hari yang tadi, gw tanya lagi, “kalo misalnya dia bener-bener butuh, lo masih nggak mau ngasih juga?”. Temen gw jawab “nggak”.

Jika kita ingin pintu rezeki atas kita terbuka, maka kita harus membuka pintu rezeki dahulu bagi orang lain. Itu pepatah paling kuno yang selalu gw pegang. Bagaimana kamu mau memuliakan dirimu sendiri, jika kamu belum mampu untuk ikhlas bersedekah demi memuliakan orang lain?

Waktu kapan hari, di suatu ceramah, ustad gw cerita, sebut saja ada dua orang bernama Joni dan Paino. Dua orang ini ketemu sama pengamen jalanan, masih anak-anak. Karena kasihan, Joni merogoh sakunya, tapi Paino menahan tangan Joni.

Paino: “Aduh Jon, Plis deh, jangan daaah dikasih duit anak kecil itu. Nggak mendidik tauk!”

Joni: ” (menghela nafas sebel) Saya ndak bisa mendidik, bisanya ngasih!” Joni lantas memberikan uang kepada pengemis tadi, sembari melirik Paino, “Daripada ngasih enggak, mendidik juga enggak….”. Horotoyokono![]

Kesamaan Sosial

Weekend minggu lalu, seperti biasa, gw menjelajahi kota saat pagi menjelang siang. Ini nggak sekali-dua kali gw mampir ke bioskop paling rame di Mongkok (bukan Mangkok lho ya?). Tapi ya, waduw, baru sekali ini gw kedapetan apes. Haha A-P-E-S.

Pas lagi antri masuk ke bioskop (disini beli tiket diluar, nanti baru masuk ke dalem untuk nyari studionya). Tiba tiba aja gituh, ada pria tua, mungkin umurnya sekitar 45-50 taun lah. Ngeliatin gw, sinis banged (pake ‘d’ biar mantebh), dari ujung jempol kaki sampe ujung jidat. Trus tiba-tiba aja, dia marah-marah.

Karena marah-marahnya pake bahasa alien, ya gw lempeng dot kom. Mana gw tau artinya apa. Rupanya, semakin gw lempeng, dia makin marah. Lama-lama do’i sadar, gw kagak ngaruh kalo dimarahin pake bahasa die, lah emang gw ngga ngerti siy. So, akhirnya, dia marah-marah pake bahasa Inggris.

“Look people, look at her (nunjuk ke gw), is she not feeling hot? This summer! What a moron!”. MORON. Gw cuman diem bin mingkem. Ngeliat respon gw yang datar, dia makin heboh dong.

“Get cat over your tongue, kun yant? You are not supposed to scare people with your clothing style!”. KUN YANT = PEMBOKAT. Gw baru sadar, dia nggak suka liat gw panas-panas gini (summer) pake jilbab. Gw mah tetep cuek. Ndablegh aja.

Nah puncaknya pas mau masuk kedalem ruangan bioskop, dia (sengaja) nabrak pundak kanan gw dari belakang, kenceng banget sambil bilang: “Get move on!! You’re fvcking freak!!”. FVCKING FREAK. Masya Alloh. Mulai gerah juga gw.

Gw menghentikan langkah gw. Entahlah, yang bisa gw lakukan cuma istighfar. Berasa pasrah aja.

Gw sempet nangis pas udah duduk di korsi bioskop. Well, belakangan ini beban dipundak gw lagi banyak emang sih. Temen-temen gw lagi pada menjauh, disini gw sendiri, dan nggak ada satu orangpun yang tanya kabar gw. Yah jadi tambah mellow gituh. Saat itu gw sempet mbatin: “Apa dosa gw dah?”.

Tapi trus gw berasa di TAMPAR lagi. Gw keingetan ama nasehat temen gw, Isro: “Kalau sedang diuji, janganlah menguji”. Gw ini lagi diuji, ngapain juga gw nantangin Tuhan balik: “Apa dosa gw ya, Tuhan”.

Lah, dosa gw kan emang udah banyak. Ngapain pake nanya? Sungguh Dodol. Makanya begitu inget lagi diuji, sedikit demi sedikit, gw mulai terhibur dan nggak nangis lagi.

(Iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’in – Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan).

Trus nggak lama, mungkin 1-2 hari setelah kejadian itu, gw dapet pesen dari teman, sebut aja Mas’ud. Mas’ud curhat: “Yum, gw baru dapet treatment gak enak dari temen seruangan, ini orang yg sama yang memperlakukan gw sebagai second grade creature, just because I am ugly..”

Hm..Terserah lo mau percaya apa nggak, tapi bagi gw, Mas’ud ini nggak jelek. He’s a very special and unique human being. So special that I always admire how he’s speaking, they way he’s thinking. Well, his ideas is always been amazed me!

Why most people that have a different way of style, have different way of how they see, listen and understand about something were always considered as a freak?. We are so running out the appreciation of others for being special.

Lo liat deh, liat semua orang. Semua orang sekarang berusaha keras untuk sama. Labeled by Kenzo, LV, Gucci, Armani.

Kalo tetangga punya sejumlah x benda, lo harus punya, al least, x+1 benda seperti mereka.

Kalo temen lu berkata A, at least lo harus punya tendensi 75% setuju akan A (or else lo akan di marginalisasi, dikacangin, dianggep aneh, nggak ditegor lagi, baik langsung ataupun lewat YM).

Kalo sekarang summer and semua orang pake baju kurang bahan, lo juga harus pake bikini?? Atau? Lo akan dibilang Moron a.k.a Fvcking freak kaya gw.

Kalo lo nggak rapih, necis, bergaya borjuis kaya komunitas lo, lo bakal dibilang secondary creature, dibilang ugly. Kaya si Mas’ud.

Plis people, Lo melakukan sesuatu hal, bukan karena hal tersebut menyenangkan buat Lo, ataupun bukan karena secara politis memang lo harus gitu. Apa sih? Cuma demi sebait kata: S-A-M-A? Lalu lo nggak boleh being unique, dan lo nggak boleh look special.

WTF?

Ini semua simbol kesombongan. Dignity yang gw rasa nggak perlu ditonjolkan.

Kenapa sih orang nggak boleh berbeda? Kenapa kita harus meributkan perbedaan? Kenapa orang selalu gatel kalo ngeliat sesuatu yang beda? Kenapa orang jadi emosi kalo ada golongan yang lain yang nggak sama ama dia? Kenapa semua harus sama?

KENAPA?

Gw rasa bloody-crusade war which costing thousands of lives, juga terjadi karena adanya enforcing for the different visions of morality. Nah tetepkan? Gara-gara PERBEDAAN.

(sigh)

May God have mercy on us.

Gw pernah dengerin ceramah pendeta Buddha, pendeta itu punya cerita sederhana tentang teh. Katanya: Bagi kita, Tea is only leaves in a hot water. Tapi bagi pecinta teh yang betul-betul fanatik, ada teh yang dibuat dengan komposisi campuran khusus dan diolah dengan sangat special. Campuran special itu dikasih label: Iron Dragon. Trus dijual dengan harga menggila untuk sebungkus kecil saja. So, bagi para fanatik teh Iron Dragon, tea is not about a leaves in a hot water.

Kesimpulan: It is not the appearance that binds you, it’s the attachment to the appearance that binds you.

Jadi, janganlah menilai seseorang sebelah mata hanya karena dia berbeda. Pahamilah, mungkin dia punya alasan untuk berbeda. Bukan lantas kita menjadi apatis dengan nggak perduli atau lantas nggak protes akan perbedaan dia, bukan. Tapi justru karena kita menghargai perbedaan itu.

Pendeta itu juga bilang: When the self is full of pride, it manifests in countless ways: a narrow-mindedness, racism, fragility, fear of rejection, fear of getting hurt, insensitivity, etc. Semua keburukan itu bersumber dari ketidakpedulian.

Dan dengan diam dan berusaha mengerti, bukan berarti tak perduli. Karena ignorance is simply about not knowing the real facts, having the facts wrong or having incomplete knowledge.

Pendeta ini bijak banget. Gw ampe nggak perduli gw diliatin orang-orang karena gw satu-satunya muslim disitu.

Gw suka duduk aja sendirian di taman, memikirkan banyak hal. Ada kalanya gw berpikir, secara fundamental, people really like to have freedom only for theirselves but not for others. Padahal teorinya, as we liberate from our own fear, our presence will automatically liberate others. Yah namun, bagaimanapun, halah, namanya juga manusia.

Sebagai contoh, kita bisa aja marah, sangat marah, hanya karena: kita marah sedangkan orang lain nggak. Dan lo berpikir, orang lain itu harusnya marah juga.

Atau contoh lain, ada yang berpikir: “Arum tuh susah banget sih dibilangin, dasar kepala batu”. Sementara disisi lain, sebenernya gw bukan susah dibilangin, tapi gw lagi benar-benar berpikir, apakah dengan mengikuti pendapat lo, gw akan menyenangkan hati lo, padahal gw sendiri berbohong tentang apa yang sebenernya gw rasain.

Gw nggak mau lah jadi pembohong hanya demi kata: SAMA, Se-ide, nurut, dll. Called me: EXTREMELY impatient, selfish, short fuse, egotistical or whatever! (kata ramalan zodiak sih, gw gituh :p)

See? Orang lebih mau nerima kebohongan (atau hal yang SAMA ama pikiran dia) dibanding menerima kenyataan yang sebenarnya.

I am laughing so hard. Bukan menertawakan orang lain itu. Tapi I found that it’s really true, that emotions sometimes can be very childish. (I give another example: you might be upset one day because your partner is too possesive and the next day because he¡¦s not possesive enough. See? It just damn confusing, right?)

Gw berusaha keras menemukan integritas pribadi gw, karena melalui penelusuran karakter asli kita (lets called it integritas pribadi), kita bakal mampu untuk hidup sesuai dengan apa yang kita ketahui, apa yang kita nyatakan, dan apa yang kita lakukan.

Berkata benar, menepati janji, memberi teladan tentang apa yang kita yakini, dan memperlakukan orang lain dengan adil dan murah hati adalah beberapa langkah kongkritnya. Mungkin gw belum bisa sesempurna itu, setidaknya gw berusaha (sedang berusaha).

Mengambil kutipan Jack Welch: “Rasa percaya diri, berterus terang, dan kemauan sungguh-sungguh untuk menghadapi kenyataan, meskipun hal tersebut sangat menyakitkan adalah inti dari hidup dengan sadar”.[]

Menikah dan Keuzuran

Gw punya best friend (temen SMP), cewek, namanya Dara. Si Dara ini sering berkeluh kesah di status YM soal LDR (Long Distance Relationship)-nya dia. Gw liat Dara khawatir gitu sama hubungan dia ama pacarnya, padahal si pangeran ganteng dan baik hati itu udah minta Dara untuk nunggu 3 tahun lagi aja, karena si cowok ini masih ada di New York sekarang.

Well, segala sesuatu emang nggak pasti sih, tapi bagi gw, status si Dara udah lebih dari cukup. Kategori AMAN-lah. Nggak kayak gw, udah jomblo, kronis pula. Harusnya gw yang kebat kebit. Hahaha.

Ngomongin soal kawin gini, semalem gw yang sedang homesick dan sensitip serta suka marah-marah ini, ngakak sejeder-jedernya, gara-gara disuruh kawin.

Jadi ada temen, namanya Ipung. Nah nggak ada angin nggak ada ujan, si Ipung tiba-tiba aja nyuruh gw kawin, dengan alasan: ‘umur lo udah uzur!’

Jah, gw dibilang uzur. (~..~)v

Gw sih nimpalin sambil ngegaring aja, sampe pada satu moment si Ipung bilang, “Cepetan nikah lah yum. Hm, kalo berkenan, gw mau kok. Untuk menghindari lumuran DOSA yang tidak diinginkan. Karena pada hakikatnya, semakin lo uzur, ntar dosanya nambah kalo nggak nikah-nikah.”

BAH!

Asli, bukan lamarannya yang penting, tapi kata DOSAnya yang lebih nemplok di muka gw. Berasa pendosa banget kalo seumuran gw belon kawin. (sigh).

Even though we are perfect, but really, no one or nobody around us is perfect. Tetap aja, kerasa claustrophobic, kalo semakin banyak orang-orang (bahkan yang lo nggak kenal sekalipun) nyuru-nyuru lo nikah.

Baik sih, niatnya ngingetin, tapi kalo akhirnya bergunjing, nah ini yang gw kaga demen. Gw sendiri yang jalanin aja super santai trus kenapa orang-orang musti repot nana dan nini tentang ke-uzuran gw?

Tapi ini bukan ngebahas gw dan segala keuzuran gw kok. Gw cuma pengen ngasih tau para cowok aja, besok-besok kalo ngelamar cewek, yang jujur, apa adanya, nggak usah pake alasan pengen ngehindarin dosa.

Kalo ceweknya normal, ya kaga papa. Masalahnya cewek sekarang pinter-pinter, jadi rayuan lo musti dibikin lebih sadis, apalagi kalo ceweknya rada sableng kaya si Kanya temen gw ini, beuh, ati-ati aja yak?

————

“I can’t understand people who married for sex. Sex is not purpose but BONUS! Anything you shared with your beloved people is great, moreover, with S-E-X. Sex with unbeloved people can be FUN, but just.. NOT great”

Gw cuma mengangguk-angguk tanda mengerti. Gw ambil serauk kacang tanah gurih lagi asin favourit gw. Gw kupas dan kunyah-kunyah sambil terus konsentrasi mendengarkan ocehan si Kanya. Tanpa menyela.

“Gw jadi bisa ngerti, kenapa orang jaman sekarang jadi gampang banget memutuskan untuk cerai..” Kanya menghentikan kalimatnya, memberi kode dan mempersilahkan gw untuk menyanggah.

Gw cuma geleng-geleng kepala, menunjuk mulut gw yang penuh dengan kacang sambil naik-naikin alis yang secara implisit berarti meminta Kanya sendiri yang meneruskan kalimatnya.

“Kenapa coba? Kenapa orang cerai? KENAPA? That’s because they are not really falling in love at the beginning, Mereka pasti menikah karena sex, dan alasan paling KLISEnya: for AVOID sins. Gosh! It’s silly and stupid!”

Dan gw hampir keselek kacang bangkok (karena gendut banget kacangnya), saat Kanya memegang kedua pipi gw (setengah menampar kalo boleh curhat (T_T)v ) sambil bilang:

“So! My dearly friend, when a man comes to you and ask you for marriage and the reason is to AVOID sin, just leave him right away! Got it?!”. Sekali lagi kedua telapak tangan Kanya, berbarengan, menepok pipi gw. Kanan dan kiri. “PLAK!!!”.

Semprul bin sontoloyo. Sakit juga. Tapi gw cuma bisa mengangguk pelan, sambil berusaha menelan pelan-pelan kacang yang hampir masuk ke rongga pernafasan.

Kalo gw nggak sigap, bisa mati keselek guah!

Kalo jaman dulu, orang menikah memang hanya untuk menyalurkan hasrat yang satu itu (a.k.a = sex). Sex meant pleasure, which humans really crave. Tapi sekarang? Bicara diluar aspek religi, we can have this without marrying.

“Bullshit ngomongin soal menghindari dosa, kalo dibalik itu terselubung niat yang orientasinya cuma body, toket, dan seks juga.” Kanya menambahkan kalimat protesnya sambit mengikat rambut-nya yang sedari tadi tergerai lurus.

Sedangkan gw, masih mengupas dan mengunyah kacang-kacang malang itu.

Menurut Kanya, perempuan mustinya tersinggung, kalo diajak menikah hanya karena akan dijadikan sebagai objek pengeliminasi dosa, iya = D-O-S-A, instead of as a life time partner, or a lover, or a beloved wife, ataupun sebentuk subjek lain (bukan objek) yang setidaknya punya kesempatan juga untuk jadi pemeran aktif dalam suatu kehidupan pernikahan.

Setelah gw pikir-pikir, ya ada benernya juga sih. Alasan menghindari dosa tadi sepertinya bener-bener kekanak-kanakan. Mending tu cowok bilang yang lain gitu, misalnya:

“ayuk nikah, sunnah rosul”
“ayuk nikah, biar kita bisa nyicil rumah bareng”
“ayuk nikah, aku cinta banget sama kamu”
“ayuk nikah, ibuku udah nanyain terus tuh”
“ayuk nikah, tapi di KUA aja ya, miskin nih”
“ayuk nikah, sebelum dilangkahin adek-ku”
“ayuk nikah, sebelum aku dilamar orang”
“ayuk nikah, biar bapakku bisa nimang cucu taun depan”
“ayuk nikah, tapi kamu sabar nungguin aku pulang ya” (si Dara banget :p)
Gw rasa, akan terasa lebih jujur, lebih plong, lebih apa adanya. Ya nggak?

Versi gw pribadi sih, Pokoknya do NOT let marriage be your social alibi, do it because of love. Manis banget kan gw? Nggak pusing kaya si Kanya. (Hahaha. Digantung gw kalo dia baca tulisan ini).

Tapi tetep bagi gw, ke-uzuran gw akan bertambah parah aja nih. Karena gw percaya jika a person may love you, but avoid marrying you (or anybody else) if they somehow believe life with you will be difficult. Dan gw merasa, semua cowok akan kesusahan kalo hidup sama gw. Sigh. Mengutip apa kata Caca temen gw, “Cuma begundal gila aja yang berani nikahin elu, com. Hahaha!!”.

Baru selese mikar-mikir, gw dapet e-mail dari temen gw:

Aku bingung sekaligus salut sama kamu rum, rupanya kamu masih hobby pegang bola panas yang bergulir kencang, Hahaha..

eh Rum, bertahun tahun, aku memiliki pertanyaan yang belum kudapat jawabannya, Pacar mu siapa sie, atau kamu ga punya pacar? hehehe.. salam deh buat lelaki misterius mu itu.

-Qentang-

Sambil gigit-gigit apel ditangan, gw nyengir. Ngikik sendiri, siapa lelaki misterius lagi begundal gila itu ya? Ck ck ck¡K []

Hidup Tanpa Rasa Takut


‘Sevva’. Berkali-kali kening gw berkerut sebelum akhirnya pintu lift terbuka.

“Ding!”

Gw melirik lelaki disebelah gw ini. Tingginya sekitar 182 cm. Bahunya lebar. Matanya besar, dengan mongolian face-nya. Rambutnya mirip Bi Rain (penyanyi ganteng asal Korea itu loh).

Dia yang gw lirik hanya balas melirik, mengernyitkan hidungnya dengan konyol, lalu merubah wajahnya yang (tadinya) serius menjadi sangat kacau, nggak karuan. Setengah terkejut, akhirnya gw nyengir maksa, sama kacaunya.

“Let me allow you, please..” Cowok ini membungkuk, bergaya bak pemuda era Reinassance, di jaman revolusi Perancis dulu.

“O Chris, phhhulease..” gw menggeleng-geleng, taking a long sigh, trus pasang tampang jijay sambil tersenyum lalu melangkah lempeng dan nggak memperdulikan sang tentara kolonial. Sementara sang tentara hanya menggaruk-garuk kepalanya yang jelas nggak gatel itu.

“What did I do? I just want to be polite..” Teriaknya sambil menyusul langkah-langkah gw dan tertawa.

Gw kenal Chris udah hampir 3 bulanan ini. Tapi karena kami banyak banget punya kesamaan sifat (sama-sama anak tunggal yang rada sableng adalah salah satunya), kami seperti orang yang sudah kenal bertaun-taun gitu. Ditambah, sebenernya, Mamaknya si Chris ini emang asli orang Indonesia. Hahaha. Produk Blasteran.

Princes Building, lantai 25. Hm, dari atas sini, gw bisa liat antena Wi-Fi yang dikerjain (atau lebih tepatnya ngerjain) mati-matian ama si Zikhry (di Statue Square, taman persis disebelah gedung ini) secara jelas banget.

“Do you know that many of the stars that we romantically gaze at the night sky are already long gone? Actually we only enjoying its rays that expired a million years ago”. Chris memandang langit gelap itu. Tanpa henti.

“I beg your pardon?”, gw menatap Chris serius.

“Nope, nothing.” Chris menjawab pasti, sambil menatap gw tak henti.

Gw nggak lanjut bertanya. Gw berusaha mengerti kalau saat itu Chris nggak mau diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan simple yang diapun nggak tau bagaimana menjelaskannya.

Sebenernya gw ngerti, Chris lagi berusaha ngehibur gw, karena beberapa hari yang lalu, gw cerita ke dia, kalo gw dapet kabar tentang salah satu mantan gw yang getting married.

Dan gw sedih, sedih bukan karena ditinggal kawin, tapi sedih karena untuk beberapa saat kemaren, banyak banget hal di kehidupan gw yang berubah secara drastis. Dan sepertinya gw merasa kalo gw nggak siap untuk ngadepin semua perubahan itu. Gw ngerasa takut aja ama masa depan gw.

Dan dari situ Chris banyak cerita, ngasih pandangan ke gw. Dan gw ngerasa, dia tuh bener banget. Coz untuk usianya yang cuma terpaut satu tahun diatas gw, ini anak were totally.. wise.

Human always afraid of the ‘unknown’ (sesuatu yang kita nggak tau pasti ‘apa’ dan ‘bagaimana itu). Dan secara nggak sadar, kita selalu terus mencari konfirmasi atas ketidaktahuan itu. Why? Ya untuk bersiap-siap atas kemungkinan terburuk lah. Karena kita sebagai manusia normal, selalu nggak mau kedapetan hal jelek, must been always delightful things, no room for sorrow!

Dari diskusi bersama Chris, gw mengetahui bahwa: fearlessness is generated when you can appreciate uncertainty. When you have faith in the impossibility of these interconnected components remaining static and permanent, you will find your self, in a very true sense, preparing for the worst while allowing for the best.

Maksutnya gini, lo nggak bakalan ngerasa takut akan apapun, jika lo mampu mengerti bahwa semua itu emang sudah diatur. How? Ya dengan memahami jika ada sesuatu yang telah nunggu lo dibalik “tikungan”. Bahwa no matter what, mau kita hindari atau nggak, sesuatu itu akan tetap disana, dibalik tikungan itu.

Dengan menerima, TANPA memperhitungkan atau mencoba menerka bahwa sesuatu kejadian itu bakal terjadi atau nggak, itu akan membuat lo memiliki suatu pervasive awareness (gw artikan simple: perasaan nyantai coy), sehingga lo mampu merasa biasa aja terhadap apapun yang bakal terjadi dalam hidup lo, mao masalah nggak penting sampe masalah yang paling berat sekalipun. Why? Karena emang harus begitu kok. Wis, nrimo ae. Ya jalanin aja, brur.

Gw inget-inget, bokap gw juga pernah ceramah tentang hal serupa. Bokap kalo nggak salah menyebutnya: perihal beriman kepada takdir.

“So, there’s no reason to have fear for the future, because you begin to know, the things are not entirely under your control and never will be, so there’s no expectation for things to go according to your hopes and fears.” Chris menjelaskan sambil menunjuk muka gw setiap kali mengucap kata ‘you’.

Tuhan emang Maha Pemberi Rahmat dan Kebaikan tiada tara. Gila man! Gw dapet ilmu beginian bahkan bukan dari seorang kiayi, bukan ustad, bukan muslim pulak.

Yaa Allah, Tuhanku, you are so cool.

Lalu apa kabar dengan ‘berusaha dan berikhtiar’ dong?

In my sober mind (diartikan: waras; semoga juga bijak), ini semua berkorelasi kok. Gw bisa kasih contoh cerita dari Bokap tentang kisah si Mimin.

Sementara temen-temennya pada nyari gaji milyaran rupiah, Mimin begitu terhanyut dalam upayanya menghayati dan menjalani proses kerja sehari-hari dengan penuh nikmat dan rasa syukur, intinya Mimin percaya jika ‘sesuatu’ telah menunggunya ditikungan situ. Perihal entah itu baik atau buruk, Mimin nggak perduli. Pokoknya Mimin pasrah aja, dijalaninya bait demi bait kehidupan dengan penuh rasa ikhlas sambil berserah diri serta menerima seburuk apapun takdir yang akan datang menyapanya.

Lalu ternyata, akibat kepasrahan dan kerja kerasnya, lama-lama, Mimin secara nggak sengaja punya gaji yang jauuuh diatas orang-orang kebanyakan. So? Mimin terpaksa kaya deh. Iya, T-E-R-P-A-K-S-A, karena niat awal Mimin sebenernya bukan untuk kaya.

Inilah wujud kerja keras yang dibumbui dengan keimanan dan kepasrahan.

However, kerja keras yang dilandasi dengan sikap PASRAH, lain dengan kerja keras karena ngangsa. Kerja ngangsa dilandasi keinginan akan hasil besar secara kongkrit dibelakangan hari. Dengan kata lain, ada target. YANG kalau target tersebut tidak tercapai maka akan membuat kecewa.

NAH! Just capture its intencity, feel it. You feel it like I do, don’t u?

Semoga kawan, with fearlessness, you will find yourself. You become dignified and majestic. And this qualities are the secret ingredient to enhance your ability to do work, wage war, make peace, create a good family, and enjoy love and personal relationships. Ayo! yang semangaaaat! []

Some fall from grace because they are smoke but don’t inhale.

Sebakul Cinta


Cinta itu seperti pasir. Semakin digenggam erat, semakin dia akan pergi dari jari-jari kita. Kalau tidak dijaga, dia akan hilang terbawa angin. Dan ketika kita melepaskan genggaman pasir itu, selalu ada butir-butir yang tetap menempel di tangan.

Begitulah seduhan cinta yang gw rasakan setiap hari, memuncak disaat kepergian gw dalam rangka menjadi TKW di negeri antah berantah: setengah British setengah China yang jaraknya hanya sepenggalan galah.

Disaat yang benar-benar krusial dalam hidup ini, gw merasakan betapa sangat nyata pemberian cinta dari orang-orang sekitar gw yang sayang sama gw (well, tentunya yang gw sayangi balik juga).

Seperti contohnya, emak gw yang selalu menyemangati gw setelah beberapa kali gw ngeluh: “Mak, ranselnya jadi beraaaaat..”

Dan emak gw dengan santai bercanda, “Biar kamu semangat, kamu sambil gendong, keberatan, bilang aja: makanan, makanan, makanan, makanan.. kalo demi makanan kan jadi nggak berat..”. Sementara nyokap gw ngakak nggak karu-karuan, muka gw tetep lempeng.

Trus bokap gw juga, gw dibawain buanyak banged Incidal (obat alergi) karena bokap tau, gw gila banget ama seafood (FYI, disono: melimpah-ruah). Walaupun, in contrary, gw alergi minta ampyun sama makanan laut (kebayang nyiksanya kan?). Belum lagi masalah gw dibawain jahe segede gede jempol kaki, dengan pesan-pesan sponsor: “Ingat, jauhi Chivas dan Johnny Walker, wahai anakku.. Harom!!”

Dari temen kantor, Ideh, Sobat gw yang paling seksi, dia ngasih gw baju batik untuk menyadarkan gw tentang pentingnya rasa nasionalisme dan patriotisme walaupun gw menjadi TKW di negeri orang.

Ada lagi si Risma, Sobat di kantor, yang beliin gw sendok garpu yang lucu banget, dengan alasan “Buat di HK, kalo disana ghak iso sumpitan..”. Plus tambahan kalimat nyeleneh di kartunya, “Sori ya, aku nggak iso berpuisi, sikilku wes kesel muter-muter”. Tanpa ekspresi.

Ada juga Reza, yang dihari terakhir gw ngantor, dengan baiknya, bersedia nemenin gw sampe didetik terakhir. Lambaian tangan dalam diam-nya seolah berarti banget buat gw.

At least untuk saat ini, I know, gw nggak bakalan mati merana sebagai orang yg bukan siapa-siapa. I have friends, good friends of mine. Also have a lovable parents.

Well, pada hakikatnya, setiap orang, bagaimanapun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita. Dan gw dan segala keterbatasan gw, akan berusaha meraih semua cita-cita itu, demi orang-orang yang gw sayang.

I Love You All, guys.[]