Beberapa malam kemarin, gw termenung. Lumayan lama, bahkan butiran detiknya bergulir tanpa gw ingat. Tau-tau, udah pagi aja. Malemnya gw baru chat sama Firza, temen Masjur (LPM kampus) dulu. Kata-kata dia malem itu bener-bener ngajak gw bernostalgila. Dari sekedar iseng nge BUzz, Nanya kabar, nanya koleksi Jazz Chill atau Lounge yang dia punya, eh, malah jadi ngobrolin masa lalu.
Masa lalu yang gila-gilaan banget di kampus.
Dari hanya sekedar nongkrong di gedung I. Melirik Pujaan hati, para senior aktivis kampus yang tiap detail kata-kata mereka gw catat dan gw rangkum dengan baik di note murahan gw. Lalu dijejali romantika murahan (puisi-puisi) senior LPM yang memendam cinta pada anak UKM sebelah. Belum lagi acara-acara diskusi malam (yang mirip rapat PKI) sambil keroncongan pake bass betot super gedenya Mas Ari.
Miara anjing putih lucu bersama Mas Kru yang kalo nggak salah nama anjingnya Rasyim, persis kaya nama puket III kami waktu itu. Pernah juga gw terpaksa jadi penyiar siaran Radio Revolta yang bikin kaki gw keseleo gara-gara buru-buru mo ngejar schedule.
Atau melakukan aktifitas dan kreasi malam hari di gedung kuliah kalo kita ingin protes atau sekedar bersuara. Paginya sudah pasti bikin stress orang-orang yang lalu lalang. Atau kadang juga ngebahas resensi Buku dan Film sama Mas Wahyu yang disudahi dengan latihan biola bareng sama Jimbo. Sampai pernah juga bikin acara nonton film indie gratis sama Firza. Atau bikin film beneran sama Icha, Bimo n mas Tirta.
Yang paling berkesan adalah acara ritual memandangi matahari senja diatas student centre (yang ini sendirian saja.. terkadang ditemani my Fariz).
Ah, Masjur.
Masjur yang kental dengan filosofi kopinya jauh sebelum dewi lestari menerbitkan novel berjudul sama. Masjur.. dengan iringan denting piano mas ody dan mas klentheng yang menghibur gw saat transisi identitas gw kambuh. Masjur.. dengan puisi-puisi mas Lilik dan mas Tirta yang bikin gw gemes dan bersemangat untuk nendangin mereka.
Gara-gara itu, gw yang biasa-biasa ini dibilang fenomenal tanpa harus menciptakan goyang ngebor ala inul. Gw jadi senyum-senyum sendiri waktu gw di kejar-kejar pake golok ama anak ’97, gara-gara sebait tulisan ekstrim. Atau gw juga pernah dimusuhin ama Bang Eddy, senior di himpunan, gara-gara karikatur-karikatur gw yang bikin gatel. Atau gw pernah diancam bakal dipreteli gara-gara mau ngebongkar skandal terselubung antara mahasiswi kampus gw dengan staff gedung dewa di kampus. Atau pernah juga di hujat sama anak masjid kampus, gara-gara bikin tulisan tentang betapa overactingnya mereka dalam hal mengurusi kehidupan pribadi kader-kadernya, bahkan sampai urusan pakai baru, ritual jodoh, sampai cara bergaul.
Gw kangen sama semua orang gila itu. Orang-orang gila yang bikin hidup gw jadi nggak datar, flat, dan absurd seperti perkiraan Bimo. Kami memang udah misah-misah. Kadang masih suka ngumpul di Plasa Semanggi. Cuma sekedar minum kopi, dan bercerita basa-basi tentang kilas hidup yang dijalani saat ini.[]